30/01/14

Presiden dan Orang Miskin

Adji Suradji

WAJAH semringah para tokoh calon presiden 2014 yang tergambar di halaman pertama harian ini (8/1) membuat hati berbunga-bunga. Namun, ketika membaca Tajuk Rencana di halaman berikutnya, ”Jumlah Orang Miskin Bertambah”, kesedihan menyerang.

Apakah presiden Republik Indonesia sekarang—dan yang akan datang—betul-betul berniat memberantas kemiskinan?

Demografi Politik Pemilu 2014

Ribut Lupiyanto

SETIAP menjelang pemilu, daya tawar rakyat kian menguat. Partai politik dan  calon legislator akan berpacu demi memikat dan mengikat dukungan rakyat. Optimalisasi strategi dan pendekatan menjadi kunci agar kampanye berbuah kursi di parlemen.

Suara sebagai ukuran kemenangan pemilu sifatnya kuantitatif. Suara profesor nilainya sama dengan petani. Melihat kenyataan ini, ditambah pemberlakuan sistem suara terbanyak, dapat diprediksi siapa yang mampu mendapat kursi  adalah mereka yang memahami karakter rakyat. Caleg  mesti melek kondisi dan peta demografi politik.

Melepas Belenggu Partai

Adnan Pandu Praja

PADA era Orde Baru yang didominasi militer, Soeharto menentukan orang-orang yang duduk di DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Maka, segala keluaran yang akan dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut tentu berdasarkan pesanan rezim Soeharto.

Itulah yang akan terjadi jika kewenangan didominasi tangan besi eksekutif: sama sekali mengabaikan check and balances dan menafikan hak-hak rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Bertumbuhnya Ideologi Kebencian

Todung Mulya Lubis

SEJAK kanak-kanak, saya selalu bangga dengan persatuan Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan kita sebagai bangsa.

Saya menghafal penjelasan guru sekolah yang mengatakan bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, suku, etnisitas, agama, dan latar belakang budaya serta ideologi. Semua itu diikat oleh semangat ”satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”.

Nasib Nagari di Sumbar

Mochtar Naim

DENGAN diratifikasinya Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Desa menjadi UU pada Desember lalu, maka nasib Nagari di Minangkabau dan Sumatera Barat khususnya dalam konteks NKRI jelas sudah.

Karena Negara Kesatuan Republik Republik Indonesia (NKRI) dasarnya adalah unitarisme, satu kesatuan sistem administrasi pemerintahan yang seragam dari atas sampai ke bawah untuk seluruh Indonesia, Nagari tidak punya pilihan lain kecuali melebur diri kembali jadi desa seperti di Jawa, sesuai UU Desa yang baru itu.
Maka cerita pun berulang seperti masa Orde Baru ketika Nagari dan semua sistem lokal yang beragam di Nusantara diwajibkan mengikuti cara di desa di Jawa.

29/01/14

Fikih Sosial Kiai Sahal

Sholahuddin            
“Kiai Sahal Mahfudh adalah kiai yang berani menyeberang dari tradisinya sendiri.”  (Azyumardi Azra)
UMAT nahdliyin dan umat Islam Indonesia berduka terkait wafatnya Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh, Jumat (24/1) dini hari lalu. Kiai Sahal adalah sosok kiai yang alim ilmu ushul fiqih dan menjadi pencetus gagasan fikih sosial. Sejumlah karangan bunga ungkapan belasungkawa datang dari Presiden RI, pejabat, tokoh ormas Islam dan NU sendiri.

Sebagai seorang kiai-intelektual, Kiai Sahal memiliki penguasaan khazanah klasik Islam yang tidak perlu diragukan lagi. Kepakarannya dalam bidang fikih mampu mengantarkan kiai yang santun ini mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Penyelundupan Anggaran Pemilu

Reza Syawawi

TAK ada yang menduga apa yang sedang dipikirkan pemerintah ketika mengalokasikan anggaran pengawasan pemilu untuk membiayai saksi partai politik di tempat pemungutan suara. Seolah-olah tanpa beban, anggaran sekitar Rp 600 miliar akan digelontorkan untuk membiayai para saksi.

Semasih sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan ”mencuri” anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali ”dirampok” untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.

Membenahi G-20

Tony Abbott

WALAUPUN  pemulihan krisis keuangan global berlangsung lambat, keadaan dunia sebenarnya lebih baik dari yang kita sering yakini.

Dengan bergulirnya tahun 2014, menjadi lebih mudah optimistis. Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai hampir 3 persen dengan terciptanya satu juta lapangan kerja tahun lalu. Di China, pertumbuhan sedikit menurun, tetapi kemungkinan besar akan tetap di atas 7 persen. Eropa pada akhirnya menikmati pertumbuhan lagi. Tentu saja pemulihan masih rapuh dan pengurangan pembelian obligasi oleh AS akan memerlukan manajemen yang cerdas.

Ubah Fokus Pendidikan

JC Tukiman Taruna

SEKURANG-kurangnya tiga alasan mengapa fokus pendidikan kita harus ”balik kanan” 180 derajat. Akan tetapi, kita harus menunggu pergantian rezim, mengingat penguasa saat ini ingin zona nyaman dan programnya tidak diganggu gugat.

Analisis ini dapat  dipandang tak etis, tetapi mungkin saja justru sangat etis. Bertens (2000) menegaskan bahwa untuk menentukan sesuatu etis atau tidak etis, orang harus mempertimbangkan tiga tolok ukur moral: hati nurani, kaidah emas, dan audit sosial. Perihal hati nurani, jelas bahwa setiap orang menggunakannya bergantung pada tingkat ketajaman masing-masing.

Pilihan Strategis Hapus Dua Tiongkok

Rene L Pattiradjawane

ADA perkembangan penting dalam hubungan Tiongkok-Taiwan, rencana pertemuan pejabat pemerintahan masing-masing di Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu, Tiongkok timur. Menurut rencana, Ketua Dewan Urusan Masalah Daratan Tiongkok Wang Yu-chi akan bertemu dengan Ketua Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara Tiongkok (kabinet) Zhang Zhijun dua pekan menjelang perayaan Cap Go Meh bulan depan.

Pertemuan yang pertama kali kedua pejabat negara ini jadi penting bukan hanya mencari solusi damai kedua pihak yang secara teknis masih dalam kondisi perang saudara, melainkan juga akan mengubah konstelasi geopolitik di kawasan Asia Timur. Tak disebutkan agenda pembahasan Wang-Zhang ini. Pihak Taiwan dalam percakapan dengan Kompas, pekan lalu, menyebutkan salah satunya adalah mencoba mencari modalitas bagi Presiden Taiwan Ma Ying-jeou untuk bisa berkunjung ke daratan Tiongkok di sela-sela pertemuan APEC akhir tahun ini.

28/01/14

Analisis Pendidikan Wapres

Muchlas Samani

AKHIR tahun lalu, di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Australia, Wakil Presiden Boediono mengakui, pendidikan di Indonesia tertinggal. Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan Indonesia: kekurangan guru bermutu, fasilitas pendidikan, dan materi ajar.

Kalaupun ada guru bermutu, mereka tidak terdistribusi dengan baik. Fasilitas pendidikan di daerah terpencil juga minim dan penyampaian materi ajar tidak sesuai dengan standar.

Spektrum Otonomi Kekhususan

Irfan Ridwan Maksum

POLITIK yang memanas pada 2014 ini diperkirakan dibarengi dengan pergeseran hubungan pusat-daerah.

Pergeseran pola hubungan itu telah berulang kali terjadi. Perpindahan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan lalu bergeser ke masa demokrasi liberal, kemudian dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin, dari demokrasi terpimpin ke masa Soeharto, hingga yang terakhir ini dari masa Soeharto ke masa Reformasi selalu ditandai dengan pergeseran pola hubungan pusat-daerah.

Mengevaluasi Kurikulum 2013

Ki Supriyoko

SEORANG mahasiswa program magister pada satu perguruan tinggi mengajukan judul tesis tentang evaluasi implementasi Kurikulum 2013 di wilayah kabupaten tertentu.

Sang dosen calon pembimbing pun memberi arahan: topik tersebut tak layak diteliti, apalagi jadi tesis sebagai simbol keberhasilan studi pascasarjana. Argumentasinya, Kurikulum 2013 baru efektif diberlakukan satu semester tak layak dievaluasi. Kalaupun dipaksakan, hasilnya pasti buruk; proses dan produknya.

Media Meliput Bencana

Ignatius Haryanto

SEJAK awal 2014 kita menyaksikan sejumlah bencana alam terjadi di banyak wilayah Indonesia. Jakarta diterjang banjir tiap tahun. Lalu kita pun menyaksikan Manado tiba-tiba disergap banjir, longsor. Di sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah pun mengalami longsor. Kita pun disuguhi berita meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara.

Media adalah alat yang memungkinkan kita mengetahui perkembangan yang ada. Dan dengan peliputan yang intensif, kita mengetahui perkembangan bencana tersebut dari menit ke menit, jam per jam. Di antara sejumlah liputan tersebut, terkadang kita masih melihat bagaimana media kadang kala terasa kurang pas dalam peliputan terhadap bencana seperti ini.

Media Sosial dan Keberadaan Kita

Agus Sudibyo

MEDIA sosial dalam berbagai bentuknya memainkan peranan yang semakin diperhitungkan dalam wacana publik di Indonesia dewasa ini.

Hampir tak ada perkembangan sosial politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial. Hampir tidak ada isu aktual yang tak digunjingkan melalui ruang media sosial. Semua pihak—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas, aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan media sosial, mempertimbangkannya sebagai saluran komunikasi dan informasi yang cukup menentukan.

Indonesia Raya

Sukardi Rinakit

DI akhir acara yang dipandunya, Najwa Shihab bertanya kepada Megawati Soekarnoputri mengenai keinginan, cita-cita, dan mata hatinya. Dengan menahan air mata, Megawati menjawab, ”Indonesia Raya.” Saya tertegun mendengar itu.

Anda boleh tidak setuju dengan pendapat penulis. Kini, sulit sekali mencari pemimpin politik seperti Megawati. Selain kaya pengalaman dan matang secara politik, dia juga meletakkan seluruh hatinya untuk Republik. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa di antara para kandidat presiden yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu 2014 yang akan menjawab dengan spontan ”Indonesia Raya” jika kepada mereka ditanyakan cita-citanya.

Gagap Elitisme dan Ilusi Otonomi

Pamungkas A Dewanto

PEMILU Presiden 2014 menjadi menarik karena penyegaran dalam aspek ketokohan dan dinamika pasang-surut partai politik yang terbangun dalam empat tahun terakhir. Penyegaran ketokohan ditandai dengan munculnya figur-figur baru dari kalangan eksekutif daerah, intelektual, dan pebisnis.

Biarpun menarik, masyarakat lupa dengan pelajaran terpenting yang tersirat dalam perjalanan demokrasi kita, yakni spirit elitisme. Gejala elitisme ini menjamur dalam perpolitikan kita, bahkan merasuk dalam kelompok masyarakat madani, termasuk dalam menyikapi pemilu.

Pertama, semangat kolektif yang bersifat sentralistik tetap merajai dengan masyarakat yang kian mengarusutamakan politik nasional ketimbang pembangunan daerah.

Baru saja pesta demokrasi fenomenal di Jakarta yang memenangkan Jokowi, kini rakyat telah melangkah mendesak Jokowi kembali mempertimbangkan perannya di kancah nasional. Fenomena ini muncul karena masyarakat meletakkan skala nasional lebih penting ketimbang daerah.

Kedua, peran media mendorong isu ”Jakarta” mengesampingkan dinamika politik dan pembangunan di daerah lainnya.

Masyarakat yang sehari-hari bergantung pada biaya bahan pokok, misalnya, diajak untuk lebih peduli pada kasus kecelakaan di Jalan Tol Jagorawi yang melibatkan artis Ibu Kota ketimbang perkembangan kebijakan stabilisasi harga pangan.

Ketiga, kolaborasi organisasi non-pemerintah dan media, mendorong lahirnya masyarakat yang peduli-Jakarta ketimbang daerah lain yang memerlukan perhatian khusus. Apalagi di era kini, kinerja pemerintah sangat didorong oleh desakan kolaboratif dua pihak ini.

Akibatnya tak heran jika pemerintah lebih fokus membenahi kebijakan yang diawasi ketat di Jakarta dibandingkan dengan eksesnya di daerah.

Sorotan terhadap isu penegakan hukum, misalnya, masih terfokus pada kasus-kasus kakap (elitis) dan belum berimbang. Keberanian masyarakat madani dalam mendorong kasus korupsi non-elitis masih dibatasi tembok inpopularitas.

Padahal, budaya sentralistik kita terbukti gagal mengubah paradigma berpikir masyarakat umum.
Di sisi lain, korupsi administratif yang lebih mengakar, seperti kepengurusan dokumen, tilang, dan surat izin, terus berlangsung hingga pada level terbawah.

Kasus lain terkait pangan, naiknya harga kedelai misalnya, lebih direspons secara sentralistik dengan menghapus biaya impor daripada melihat daerah penghasil kedelai mana saja yang memerlukan inovasi teknologi pertanian berkelanjutan.

Akibatnya, produsen tempe-tahu kini menuntut proteksi barang impor dengan cara subsidi kedelai impor, bukannya menuntut peningkatan produksi pertanian negeri yang tanahnya subur ini.

Kooptasi nilai

Budaya sentralistik ini bersumber dari era kolonial. Belanda sejak tahun 1800 menjadikan Jawa sebagai sentra transportasi dan produksi bahan pertanian, mengesampingkan Ternate dan kawasan perairan timur Sumatera yang berkembang ratusan tahun sebelumnya.

Muncul dikotomi ”Jawa” dan ”luar-Jawa” yang membangkitkan dilema definisi Indonesia yang terbatas Jakarta.

Kini, pemikiran ini masih mendengung di telinga kita. Padahal, konstruksi ini melanggengkan paradigma sentral-pinggiran (core-periphery), yang secara filosofis tidak mengizinkan kita memiliki Indonesia dengan komposisi kepulauan yang berdiri sama tegak dan sama maju.

Hambatan utama negeri ini bukan berada di hilir (pusat), tetapi di hulu (daerah). Kesulitan daerah memahami bahasa peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kerangka berpikir serba sentralistik, akhirnya melahirkan peraturan-peraturan daerah baru yang memungkinkan daerah melenggang bebas mengontrol sumber-sumber ekonomi di daerah.

Apalagi, budaya perekrutan yang masif melahirkan birokrasi gemuk dan inefektif (Bureaucratic parkinsonization). Otonomi daerah belum maksimal karena paradigma sentralistik juga masih mengakar di daerah. Ketergantungan pemerintah daerah untuk mendapatkan gelontoran anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, menjadikan daerah kurang inovatif dan mengutamakan aktivitas lobi kepada pusat dibandingkan melahirkan sebaran pertumbuhan baru.

Namun perlu diakui pula, banyak pemimpin visioner yang lahir karena lulus menghadapi tantangan otonomi ini. Belakangan kita mendengar testimoni warga Labuan Bajo atas ketidaksesuaian laporan dan kenyataan (window dressing) pelaksanaan Sail Komodo.

Sebagian besar kegagalan terjadi karena ideologi ”asal bapak senang” yang dipelihara sejak Orde Baru. Kepuasan pusat terhadap daerah dapat dengan mudah diciptakan dengan laporan yang mengada-ada, jauh dari kenyataan di lapangan.

Kita dihadapkan pada suatu fakta di mana reformasi elitis sudah terbukti tidak cukup berhasil dalam 15 tahun terakhir.

Oleh karena itu paradigma sentralistik harus diubah menjadi konsentrik di mana pusat hanya berperan sebagai poros dan lingkaran terluar tentunya memiliki ”keliling” (baca: tanggung jawab) yang lebih besar. Di sinilah pentingnya untuk penguatan pelayanan dalam lingkup daerah, termasuk pengawasannya. Oleh karena itu, ketimbang mendorong Jokowi duduk di poros kekuasaan, lebih baik berkonsentrasi mengawasi para kepala daerah agar lahir Jokowi-Jokowi baru.

Pemimpin dengan skala kecil akan lebih realistis dalam melakukan kalkulasi eksekusi kekuasaannya ketimbang dalam lingkup yang luas, termasuk pengawasannya. Meski demikian, semua terpulang pada budaya berpikir kita, apakah kita mampu membebaskan diri dari jerat elitisme yang masih bersarang di benak kita masing-masing.

Pamungkas A Dewanto, Mahasiswa Graduate School of International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto

27/01/14

Semiotika Sosial 2014

Acep Iwan Saidi

TAHUN politik. Demikian predikat yang dilekatkan kepada tahun 2014.

Dalam perspektif semiotika, predikat ini penanda yang refe- rennya  taksa. Ia mengirim pesan yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan: memberi harapan, tetapi pada saat yang sama menimbulkan kecemasan.

24/01/14

Salah Paham Pemilu Serentak

Didik Supriyanto

MAHKAMAH  Konstitusi akhirnya membuat keputusan bersejarah. Mulai Pemilu 2019, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan serentak. Namun, sejauh ini masih ada kesalahpahaman terkait konsep pelaksanaan pemilu serentak tersebut.

Salah paham pertama adalah anggapan bahwa pemilu serentak merupakan pemilu untuk memilih beberapa jabatan yang dilaksanakan bersamaan waktunya. Maksudnya, ketika memasuki bilik suara, pemilih membawa dua atau lebih surat suara, dan setiap surat suara menunjukkan adanya satu jabatan yang hendak dipilih.

Banalitas Demokrasi Kita

Masdar Hilmy

AKANKAH demokrasi menjadi business as usual, ataukah terjadi peningkatan cukup signifikan dalam hal kematangan dan kualitasnya, merupakan teka-teki yang tak mudah dijawab di ”tahun politik” 2014.

Harus diakui derap demokrasi kita selama 15 tahun di era reformasi berjalan sangat lamban. Meski demikian, apa yang telah dicapai oleh bangsa ini semestinya menjadi semacam tonggak dalam mengidentifikasi dan menyempurnakan celah-celah kelemahan demokrasi kita.

Bencana dan Kebodohan Politik

Donny Gahral Adian

MEMBACA judul artikel ini, siapa saja pasti bertanya, ”apa hubungannya bencana dan politik?” Bencana adalah sesuatu yang natural, sementara politik sebaliknya. Padahal, sejatinya tidak ada lagi yang natural  di kolong langit ini. Kadar toksin di air minum kita adalah akibat kebijakan politik yang ngawur. Banjir menahun yang melanda republik ini juga tak ada bedanya.

Politik dan bencana tak dapat  dipisahkan. Politik, bagi saya,  memiliki tingkat kecerdasannya sendiri. Pemberian sembako, perahu karet, dan selimut memang membantu, tetapi bukan sesuatu yang cerdas. Bencana harus dihentikan dari hulu. Persoalannya, hulu bencana tidak pernah diatasi secara cerdas oleh politik.

Amuk Ekologi

Hefni Effendi 

DI awal 2014 ini berlaksa bencana menghunjam Bumi Pertiwi. Gunung memuntahkan lahar, tanah longsor, topan dan badai, tumpahan hujan tiada henti membanjiri Nusantara, hingga gelombang tinggi. Semua itu menyisakan pilu dan nestapa bagi segenap warga negara yang tertimpa bencana.

Seakan-akan alam mulai jenuh berkompromi dengan manusia yang menunggang bumi di luar batas kemampuan alam penopangnya. Katastrofe dan anomali alam menyebar ke seluruh jagat.  Terperangah kita menyaksikan snow on the desert di Arab Saudi dan suhu rendah ekstrem di Michigan, AS, yang membekukan air terjun Niagara yang sedang mengalir ke bawah.

23/01/14

Perdagangan Karbon dan Perangkap Komodifikasi

Andri G Wibisana

PERTEMUAN tahunan perubahan iklim menyisakan berbagai ketidakpastian tentang masa depan perjanjian pengganti Protokol Kyoto. Meski demikian, Sekretaris Eksekutif Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres memastikan bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) dan penurunan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan (REDD+) memiliki peluang besar untuk dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut.

Banyak pihak mungkin menyambut perkembangan ini sebagai hal yang mengutungkan Indonesia. Saya lebih memilih untuk bersikap hati-hati terutama jika CDM dan REDD+ diletakkan dalam kerangka perdagangan karbon.

Demokrasi Kusir Delman

Radhar Panca Dahana

PERSOALAN utama dalam hidup bersama sebenarnya sederhana saja. Baiklah kita gunakan istilah ilmu sosial, khususnya ekonomi—yang pertama kali termaktub dalam Declaration of Independence Amerika Serikat—sebagai pursuit of happiness. Kita semua hidup di atas bumi ini untuk mencari dan meraih apa pun hal yang membuat hidup kita nyaman, bahagia.

Dalam pandangan saya, semangat atau usaha dasar manusia itu jadi fundamen filosofis dari perkembangan peradaban dunia di fase kedua setelah manusia berkutat lebih pada usaha mempertahankan (daya) hidup subspesiesnya menghadapi tantangan alam yang luar biasa. Dalam fase kedua peradaban manusia inilah dilahirkan agama, filsafat, ideologi, dan ilmu-ilmu dasar di semua bidang.

Korupsi Kekuasaan

R William Liddle
                                                                                               
MASYARAKAT Amerika sedang dihebohkan oleh ulah Chris Christie, Gubernur Negara Bagian New Jersey serta pentolan Partai Republik untuk pemilihan presiden AS 2016.

Menjelang pemilihan kembali gubernur tahun lalu, deputi kepala stafnya menyuruh penyempitan akses kepada George Washington Bridge, jembatan yang menghubungkan New Jersey dengan New York City. Saya tentu teringat pada kasus Indonesia yang mirip: pemblokiran Bandara Turelelo Soa, Bajawa, Nusa Tenggara Timur, oleh Bupati Ngada Marianus Sae.

Pemilu “Wani Piro”

Donal Fariz

HASIL survei yang dilakukan Polling Center menunjukkan bahwa lebih dari separuh (52,1 persen) pemilih akan menerima uang dan barang dari kandidat dalam pemilihan umum. Apakah uang akan (lagi) berkuasa pada Pemilihan Umum 2014 yang akan datang ini?

Dalam pemilu, politik dan uang merupakan pasangan tak terpisahkan. Uang penting untuk membiayai kampanye karena kampanye berpengaruh pada hasil pemilu. Kampanye tidak akan berjalan tanpa uang meski uang tidak merupakan faktor satu-satunya untuk memperoleh keberhasilan.

Masa Depan Mesir Pascareferendum

Mohamad Guntur Romli

RAKYAT Mesir baru selesai memberikan pilihan atas konstitusi baru yang diajukan dalam referendum, 14-15 Januari lalu.

Menurut KPU Mesir melalui website resmi  (www.elections.eg), sebanyak 98,1 persen rakyat Mesir memilih muwafiq (setuju), sedangkan sisanya menolak. Partisipasi pemilih hanya 38,6 persen atau 20 juta lebih yang memberikan suaranya dari 53 juta pemilih yang terdaftar (18/1).

22/01/14

Membangun Industri Nasional

Davy Hendri

ANJLOKNYA neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah serius. Gara-gara terlena terus mengandalkan ekspor produk primer, neraca perdagangan Indonesia defisit sejak 2012 begitu harga komoditas anjlok dipukul krisis ekonomi global. Hal ini ditengarai lewat tekanan defisit transaksi berjalan di Indonesia yang lebih bersifat struktural.

Booming ekspor komoditas menyebabkan pemerintah lalai meningkatkan kapasitas industri dalam negeri untuk menghasilkan bahan baku.

Dari catatan data investasi asing yang masuk, sebagian besar menerjuni industri manufaktur barang akhir yang produknya dipasarkan di dalam negeri, sementara bahan bakunya didatangkan dari luar negeri karena manufakturnya tidak dibangun di sini.

16/01/14

Diskriminasi Masyarakat Adat

Sukirno

HINGGA akhir tahun 2013, kehidupan masyarakat adat tidak kunjung lepas dari diskriminasi. Salah satunya menimpa suku Anak Dalam Bathin IX pada empat desa di Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi, yang kehilangan 600 rumah dan pondokan karena digusur aparat polisi dan keamanan perusahaan lantaran masuk dalam area HGU PT AMS. Kendati sudah menginap seminggu di kompleks Kantor Gubernur Jambi  untuk mengadukan nasib mereka, ternyata tak mendapat respons positif dari pemerintah dan DPRD setempat. Bahkan, Pemerintah Provinsi Jambi berniat memulangkan mereka dan meminta Pemerintah Kabupaten Batanghari agar bertanggung jawab mengurusnya (Kompas, 24/12/2013).

Peristiwa yang menimpa suku Anak Dalam ini bukan kejadian satu-satunya di Indonesia. Menurut catatan Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto, sepanjang tahun 2013 telah terjadi konflik sosial melibatkan 150 masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Konflik serupa terjadi di Kalimantan, melibatkan 96 komunitas lokal di Kalimantan Timur, 94 komunitas di Kalimantan Barat , dan 56 komunitas di Kalimantan Tengah (Kompas, 23/12/2013).

Demokrasi Simbolik

Syarif Hidayat

KIRANYA cukup relevan menggunakan terminologi ”demokrasi simbolik” dalam menjelaskan  realitas bias demokrasi yang terjadi di Tanah Air saat ini. Realitas ini ditandai oleh adanya perluasan arena dan penguatan institusi demokrasi, tetapi minus kapasitas demokrasi.

Data Indeks Demokrasi Indonesia yang dipublikasikan Bappenas, BPS, dan Kemenko Polhukam  bekerja sama dengan UNDP sangat jelas memperlihatkan tiga tahun terakhir (2010-2012) tren capaian indeks nasional (rata-rata 33 provinsi) untuk aspek Kebebasan Sipil selalu di atas angka 75. Lebih spesifik, capaian indeks aspek Kebebasan Sipil tahun 2010-2012 masing-masing  82,53; 80,79; dan 77,94.

Bonus Demografi Meleset

Sonny Harry B Harmadi                                                                       

DALAM sejumlah kesempatan, banyak pejabat publik di negeri ini mengungkapkan adanya potensi bonus demografi sebagai peluang yang harus dimanfaatkan guna mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) saat ini yang diikuti penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) menyebabkan penurunan rasio ketergantungan.

Ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh lebih cepat dan terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia. Manfaat ekonomi yang terjadi akibat menurunnya rasio ketergantungan (angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk usia nonprodukif dan jumlah penduduk usia produktif) inilah yang disebut dengan bonus demografi.

15/01/14

Demokrasi Gerutu

Rene L Pattiradjawane

MENDIANG PM Inggris Margareth Thatcher mungkin benar ketika mengatakan, ”In politics, if you want anything said, ask a man. If you want it done, ask a woman.” Dan ini dibuktikan Thatcher, PM Golda Meir dari Israel, Kanselir Angela Merkel dari Jerman, Eva Perón dari Argentina, atau mendiang Indira Gandhi dari India. Di Asia Tenggara fenomena ini hampir benar, ketika para wanita dipercaya memimpin negara seperti Megawati Soekarnoputri, Gloria Macapagal dari Filipina, Presiden Korsel Park Geun-hye, atau PM Thailand Yingluck Shinawatra.

Di Thailand mungkin menjadi berbeda ketika kelompok oposisi menjadi keras kepala menolak semua tawaran politik yang diajukan pemerintah berkuasa. Berbagai tuduhan saling dilempar oleh Partai Demokrat yang menguasai jalan-jalan di Bangkok, dan Thailand mengalami fase ketidakpuasan demokrasi dan mulai kehilangan kepercayaan atas demokrasi yang membentuk berbagai pemerintahan berkuasa.

KPK dan SBY dalam Buku Anas Tahun 2009

J Osdar

MENULIS buku itu perlu pertimbangan masak-masak. Apa yang tertulis itu menembus batasan ruang dan waktu. Apa yang tertulis akan tetap tertulis. Coba kita baca dua pepatah kuno berbahasa Latin di bawah ini.

Nescit vox missa reverti, arti harfiahnya ’kata yang telah dilontarkan tidak dapat ditarik kembali’. Kemudian pepatah kedua, vox audita perit, littera scripta manet, ’suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal’. Kalimat yang tertulis di dalam buku dan dibaca banyak orang di berbagai tempat akan selalu diingat dari generasi ke generasi.

Menggugat Partai Politik

Reza Syawawi

MUNGKIN hanya terjadi di Indonesia, partai politik seolah menjadi entitas yang tak tersentuh hukum. Tidak menjadi masalah ketika para politikus berbondong-bondong menjadi pesakitan karena didakwa korupsi.

Termasuk hal yang lumrah juga ketika partai politik tidak disiplin terkait dengan pelaporan keuangannya. Padahal, pendanaan partai politik menjadi kunci utama untuk melihat sejauh mana partai menggunakan sumber pendanaan yang ”halal”.

Menuju Realisasi Integrasi HAM

Munafrizal Manan

DALAM perspektif hak asasi manusia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai implementasi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional berkaitan erat dengan hak-hak sosial warga negara dan negara wajib memenuhinya.

Berlakunya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak 1 Januari 2014, akan diikuti oleh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015, merupakan momentum mulai memosisikan hak-hak sosial—dan seharusnya juga hak ekonomi dan budaya—sejajar dengan hak-hak sipil dan politik.

Distorsi Kekuasaan Demokratis

Novri Susan

SELAMA 2013, demokrasi Indonesia masih terdistorsi, antara lain ditandai dengan korupsi akut, kualitas pelayanan publik rendah, dan masalah kemiskinan.

Pemimpin politik—pusat dan daerah—merupakan penanggung jawab paling depan. Sebab mereka memiliki sumber daya kekuasaan, yaitu kewenangan dan struktur pemerintahan untuk mengorganisasi berbagai kebijakan. Sumber daya kekuasaan itu semestinya didistribusikan berbasis pada prinsip demokrasi, seperti transparansi, kompetensi, dan penegakan hukum.

Menari atas Kendang Orang Lain

Sri-Edi Swasono

KITA patut bangga, ramai di media sosial, sliwar-sliwer melalui SMS dan internet, anak-anak muda kita mampu membenarkan sikap keras India yang membela kepentingan nasionalnya pada Konferensi WTO di Bali baru-baru ini.

Kesepakatan-kesepakatan berupa kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreements) sebagai kelanjutan dari Kesepakatan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) serta kemudian Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) adalah derivat-derivat dari ideologi persaingan pasar-bebas.

13/01/14

Merindukan Pemimpin Merakyat

Achmad Fauzi

DALAM hikayat Kerajaan Demak, amukan banteng yang meneror rakyat memunculkan tokoh Jaka Tingkir. Ia menjadi juru selamat, membuat Sultan Demak mengangkatnya menjadi lurah prajurit tamtama, dan akhir-nya menikah dengan putrinya. Jaka Tingkir pun menjadi pemimpin.

Dalam kisah republik ini, suksesi pemilihan presiden pada 2014 akan segera berlangsung. Partai politik mulai sibuk mengusung tokoh yang bisa memikat rakyat. Rakyat tentu saja menginginkan tokoh yang jelas rekam jejaknya dan merintis aksi nyata untuk perubahan bangsa. Namun, banyak tokoh karbitan yang serba tiba-tiba: tiba-tiba rajin blusukan menemui rakyat dan seolah peduli kesulitan mereka.

Impor Ternak dan Risiko PMK

Tri Satya Puri Naipospos


MENTERI Pertanian telah menyatakan keinginannya membuka peluang impor dari dua negara pengekspor utama ternak dan daging sapi, Brasil dan India. Hal ini karena khawatir terjadi monopoli perdagangan mengingat pasokan hanya dibatasi pada dua negara: Australia dan Selandia Baru.

Pernyataan ini kemudian diperkuat Menteri Perdagangan, dipicu kasus penyadapan oleh Australia. Mulai awal tahun 2014, pemerintah akan mencari alternatif pemasok ternak hidup dan daging sapi, selain Australia.  Rencana itu sah-sah saja dilihat dari kacamata ekonomi, tetapi dampak kesehatan hewan tak bisa begitu saja diabaikan.

ADIZ China dan Risiko Perang Pasifik Jilid II

Budhi Achmadi
                                                                    
BELUM lama ini media dunia menyoroti semakin memanasnya suhu politik di kawasan Asia Timur.

Kondisi ini bermula dari klaim sepihak China: sejak 23 November 2013 telah memberlakukan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Laut China Timur yang memasukkan wilayah udara Kepulauan Senkaku atau Diaoyu yang masih berstatus sengketa. Pemerintah AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Uni Eropa pun secara resmi mengecam manuver politik China itu. Namun, China masih bergeming hingga saat ini, bahkan menyatakan bahwa ADIZ Laut China Timur adalah sekadar defensive emergency measures bagi kepentingan negaranya.

Akses Bagi Orang Miskin

Ivan A Hadar

DALAM dua kali pemerintahannya, Presiden SBY mengusung salah satu kebijakan yang ditunggu mayoritas rakyat, yaitu keberpihakan terhadap orang miskin.

Sayangnya, data terakhir terkait kemiskinan di Indonesia belum mencerminkan hal tersebut. Penurunan angka kemiskinan di negeri ini ternyata relatif lambat. Maret 2007-Maret 2013, misalnya, rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin hanya 0,87 persen per tahun. Bahkan pada tahun terakhir, hanya 0,59 persen.

Kebijakan demi Kualitas Pertumbuhan

A Prasetyantoko

BARU-baru ini, Jim O’Neill, mantan ekonom dan petinggi Goldman Sachs, datang ke Jakarta dan kembali mengeluarkan ramalan tentang masa depan Indonesia melalui konsep MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki). Keempat negara ini dianggap akan menggantikan posisi Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). O’Neill pula yang pertama kali pada 2001 memopulerkan istilah BRIC.

Setelah berhasil menggagas konsep BRIC, O’Neill sebenarnya juga mengeluarkan konsep N-11 atau kelompok 11 negara yang prospektif (the next 11 countries) dan kemudian konsep MIKT (Meksiko, Indonesia, Korea, dan Turki). Kedua konsep ini tak begitu banyak mendapat tanggapan publik. Sekarang ia kembali mengeluarkan singkatan MINT. Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara, dengan catatan mampu mengatasi persoalan infrastruktur dan daya saing ekonomi di luar sektor komoditas. Tak ada hal yang baru dan kita semua sudah paham dengan masalah itu.

Mandela dan Religiositas

Ignas Kleden

RICHARD Stengel yang membantu Nelson Mandela menulis otobiografinya, Long Walk to Freedom, mengenang kembali persahabatannya dengan almarhum dalam laporan utama Time Nomor 26, 2013.

Di antara berbagai catatannya, ada pernyataan yang kiranya menarik perhatian pembaca. Dia menulis: ”Tidak sekali pun saya mendengar dia (Mandela, IK) menyebut Tuhan, surga, atau sesuatu yang berhubungan dengan akhirat. Nelson Mandela percaya akan keadilan dalam masa hidupnya di dunia ini.”

12/01/14

Membongkar Akar Mata Uang Dunia

Rene L Pattiradjawane

Sepanjang tahun 2014 akan ada fenomena baru menarik, berdampak pada perubahan struktur ekonomi global dan menghadirkan model baru transaksi ekonomi dan perdagangan yang belum ada presedennya. Ketika mata uang digital menjadi impian selama dua dekade sejak ledakan eksponensial internet terjadi, Bitcoin yang dimulai pada tahun 2009 memperoleh momentumnya ketika lembaga tradisional perbankan di berbagai negara mulai melirik fenomena ini.

Tahun 1999, seorang anak muda Shawn Fanning berusia 18 tahun, berhasil mengubah industri musik selamanya ketika mengembangkan jasa digital pertukaran musik disebut Napster. Teknologi yang disebut peer-to-peerini memungkinkan orang memperoleh musik digital dalam kualitas sama produksi label secara gratis, memorakporandakan keseluruhan industri musik, walaupun akhirnya kalah di pengadilan pada tahun 2001.

Kota Lama

Bre Redana

Kota kelahiran saya, pernahkah saya benar-benar memperhatikan perubahannya? Ibu meninggal di pengujung tahun 2013. Seiring dikebumikannya jasad Ibu, mendadak saya merasa, dikebumikan pula kota lama yang sekarang sudah sangat jauh berubah, yang teramati detailnya selama beberapa hari saya pulang dan tinggal di situ.

Peta kota berubah. Dulu, jalan cukup penting adalah jalan-jalan yang menghubungkan pusat kota dengan desa-desa sekitar. Melalui jalan-jalan itu, orang-orang desa menyuplai kebutuhan kota dengan hasil bumi. Hubungan kami dengan bumi yang menghidupi kami konkret, termanifestasi dalam sosok para penjual sayur-mayur, buah, bunga, yang setiap pagi masuk kota dan meninggalkannya siang atau petang hari. Khusus ternak, ada hari pasar, jatuh pada penanggalan Jawa, Legi. Tanpa melihat kalender, kalau tampak orang-orang membawa sapi atau kambing ke kota pasti itu Legi.

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Faisal Kamandobat                                                                        

Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.

Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski dipuja tetapi tak cukup didengar.

11/01/14

Akhir Sejarah Ikhwanul Muslimin

Zuhairi Misrawi

AKHIRNYA, Pemerintah Mesir menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris (25/12/2013). Keputusan tersebut diambil sehari setelah aksi bom bunuh diri di Provinsi Mansoura, yang menewaskan 16 orang dan melukai 130 orang.

Dalam rilis resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Mesir, setidaknya ada tiga alasan utama di balik keputusan menggemparkan tersebut. Pertama, IM dianggap telah menempuh cara-cara kekerasan dalam mencapai ambisi dan tujuan politiknya. Langkah tersebut diambil karena IM menolak pelengseran atas Presiden Muhammad Mursi, yang terpilih secara demokratis pascarevolusi.

Politik Pesisir 2014

Arif Satria

DI pengujung 2013 akhirnya revisi UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disahkan.

Pro-kontra menyertai proses revisi tersebut. Melanjutkan tulisan saya (Kompas, 16/11/ 2013), ada sejumlah catatan terkait pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU tersebut dan bagaimana implementasinya pada 2014.

Panacea untuk Partai Politik

Hajriyanto Y Thohari

BAGAIMANA kita membaca maraknya konvensi calon presiden di luar partai politik? Juga kian menguatnya kelompok penekan terhadap beberapa partai untuk mengajukan calon presiden tertentu akhir-akhir ini? Atau uji materi terhadap UU Pilpres yang menyangkut ambang batas kepresidenan 20 persen serta tekanan untuk diperbolehkannya calon perseorangan atau independen dan gagasan calon presiden alternatif?
Pertanyaan itu penting, bahkan sangat penting, dalam era demokrasi langsung dan deliberatif sekarang ini. Pasalnya, gejala seperti itu baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah pemilu presiden (pilpres) di Indonesia dan justru berlangsung pada saat konstitusi secara eksplisit menetapkan satu-satunya institusi politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden (dan calon wakil presiden) dalam pemilu adalah dan hanyalah partai atau gabungan partai. Fatalnya, partai-partai politik abai terhadap gejala ini.

Merajut Optimisme Pemilu 2014

Syamsuddin Haris

PERTANYAAN besar yang menggantung di langit-langit pikiran kita memasuki 2014 adalah apakah pemilu legislatif dan pemilu presiden menjanjikan perubahan politik yang bermakna bagi bangsa ini ke depan?

Pertanyaan semacam ini sangat wajar diajukan mengingat pengalaman pahit dan memalukan bangsa kita pada ”tahun politik” 2013. Betapa tidak, tahun politik yang semestinya lebih mengedepankan etika berpolitik dan kebajikan berpemerintahan justru diwarnai korupsi dan persekongkolan politik hampir tiada tara.

Golkar Bersaing dalam Satu Ceruk

Bestian Nainggolan

DALAM kurun waktu setahun terakhir, penetrasi politik Partai Golkar pada massa pemilih melambat. Namun, dibandingkan dengan partai lain, hanya Golkar yang menghasilkan paling banyak calon presiden, yang kini satu sama lain bersaing ketat.

Survei pemilih Kompas menunjukkan kecenderungan stagnasi dukungan kepada Golkar. Jika pada Desember 2012 Golkar masih menguasai posisi puncak, dengan dukungan 15,4 persen pemilih, belakangan mulai tersalip Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ini, dukungan terhadap Golkar diperkirakan 16,5 persen.

Kota Air Berkelanjutan

Nirwono Joga

MUSIM hujan datang banjir, itu biasa. Mencari metode efektif ramah lingkungan untuk mengatasi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau baru luar biasa. Salah satunya adalah metode daerah tangkapan air hujan dan kemudian mengalirkannya ke sungai atau kolam penampung, seperti waduk, situ, danau, atau embung. Air tampungan menjadi cadangan kebutuhan air bersih sepanjang tahun sekaligus mengisi cadangan air tanah.

Kolam penampung air bisa dibangun di taman atau hutan kota, terutama di kawasan rentan banjir, di bagian tengah dan hulu kiri-kanan alur sungai, hingga tepi pantai. Kolam penampung air berfungsi mengurangi debit air hujan yang masuk ke sungai sehingga volume air sungai yang membelah kota berkurang secara signifikan.

Geliat Demokrat

Budiarto Shambazy

APA yang terjadi pada Partai Demokrat sepanjang tahun ini menarik diamati. Inilah partai yang bergantung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemilu 2004, PD belum berkuasa meski SBY terpilih menjadi presiden.

Pada Pemilu 2009, perolehan suara PD meningkat sekitar tiga kali lipat. Ini rekor yang belum pernah terjadi dalam sejarah politik dunia di sebuah negara demokratis. Namun, di satu pihak citra PD terpuruk karena berbagai kasus korupsi elite partai. Di pihak lain popularitas SBY juga terus menurun.

10/01/14

Konvensi Belum Mendongkrak Demokrat

Bambang Setiawan

PARTAI Demokrat, sementara ini, tak lagi menjadi partai yang populer untuk dipilih seperti pada Pemilu 2009. Konvensi pun belum mampu menahan laju kemerosotan. Mengapa?

Suara Partai Demokrat diperkirakan turun cukup jauh dibandingkan dengan pada Pemilu 2009. Pada pemilu sebelumnya itu, Demokrat tercatat sebagai partai fenomenal. Suaranya terus melesat, dari partai papan menengah yang meraih 7,45 persen pada Pemilu 2004 kemudian menduduki posisi puncak perolehan suara dengan 20,85 persen dukungan pada Pemilu 2009.

09/01/14

Selamat Tahun Akhir, Tuan!

Radhar Panca Dahana

TAK bisa saya bayangkan, apa yang dibayangkan remaja desa yang tenteram di Tremas, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur—sekitar 40 kilometer dari Desa Badegan, Ponorogo, tempat ibu saya lahir—tentang dirinya sendiri di masa depan.

Yang mengisi ruang imajinasi saya hanya figur seorang remaja bertubuh cukup, yang penuh percaya diri karena kemampuannya di banyak hal: dari sekolah hingga olahraga, dari pergaulan hingga kesenian. Remaja itu seperti berhasil mewujudkan harapan ayahnya sebagai anak yang berkelakuan (sila) baik (su) dan tampaknya akan bisa menyempurnakan harapan di keseluruhan namanya, ”ksatria sejati (berperilaku baik” atau well behaved knight alias Susilo Bambang Yudhoyono).

08/01/14

Peta Dukungan Capres Berubah

SURVEI KOMPAS (1)
Bestian Nainggolan

SETAHUN menduduki puncak popularitas, laju dukungan terhadap Joko Widodo sebagai calon presiden masih deras mengalir. Kali ini, pesonanya tidak hanya menarik kalangan yang belum memiliki sosok presiden pilihan. Ia juga berhasil mengalihkan dukungan mereka yang sebelumnya sudah memiliki calon presiden idaman.

Yang mencuri perhatian justru Wiranto. Perubahannya sangat signifikan. Jika dua hasil survei sebelumnya masih menempatkan Wiranto pada posisi bawah perolehan dukungan, kali ini dia melesat.

02/01/14

Menghitung UMK Pekerja Nonformal

Sjamsoe’oed Sadjad

HARIAN Kompas, November 2013 lalu, memuat penetapan upah minimum kabupaten/kota, dikenal sebagai UMK−, di sejumlah daerah. UMK untuk Surabaya, misalnya, diusulkan Rp 2,2 juta, sedangkan di Bali ditetapkanRp 1,325 juta. Katakan itu upah sebulan kerja, upah per hari di Surabaya yang diharapkan adalah Rp 70.000 dan di Bali Rp 40.000.

Kalau batas garis kemiskinan 2 dollar AS per hari atau sekitar Rp 20.000, UMK di dua daerah itu telah menunjukkan upaya pengentasan orang miskin. Namun, sektor nonformal mungkin belum terjangkau UMK. Katakan upah minimum pekerja di rumah tangga atau pekerja tani.

Saatnya Mengonsolidasikan “Orang Baik”

Tim Kompas

KEBANGGAAN menjadi anggota DPR kini telah berangsur surut, bahkan bagi sebagian anggota Dewan, dirasa sudah sirna dengan banyaknya rekan mereka yang terseret kasus korupsi. Meskipun demikian, di tengah wajah buram DPR itu, masih ada harapan besar di ujung sana karena masih ada yang ingin terus berjuang memperbaikinya.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang terjadi, dunia internasional juga masih menghargai perkembangan demokrasi yang terjadi di negeri ini. Dunia memandang Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Inilah yang menjadi tantangan proses demokrasi Indonesia ke depan.

Mencegah “Perampokan” Jelang Pemilu

Tim Kompas

DALAM penggeledahan di sebuah percetakan milik seseorang yang terkait perkara suap, formulir C1 palsu ditemukan. Padahal, formulir C1 ini merupakan alat konfirmasi yang menentukan untuk penentuan perolehan suara baik di pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum.

Ketika sistem politik mendorong partai berubah menjadi sangat pragmatis dan ideologi tidak lagi menjadi penentu arah perjuangan, pemilu bisa berubah hanya menjadi ajang masing-masing kontestan untuk berlomba meraup sebanyak-banyaknya suara untuk kepentingan sesaat. Cara-cara ilegal pun akhirnya dihalalkan.

Biaya Politik yang Menjebak

Tim Kompas

BIAYA politik tinggi dianggap menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan menurunnya kualitas lembaga DPR. Hal tersebut membuat mereka tidak lagi berjuang untuk rakyat, tetapi hanya berkantor di Senayan untuk mengeruk uang negara guna mengembalikan miliaran rupiah yang telah dikeluarkan untuk berkampanye. Rekor tertinggi, konon, ada yang menyentuh angka Rp 22 miliar.

Biaya politik yang luar biasa jorjoran. Bayangkan, dengan modal dana Rp 22 miliar itu, setidaknya bisa menjalankan 44 unit usaha minimarket. Uang sebesar itu juga bisa digunakan untuk membeli kebun kelapa sawit di Kalimantan hingga 2.200 hektar.

Quo Vadis DPR Bersih dan Prorakyat

Tim Kompas
Pengantar Redaksi:
Dalam sebuah negara demokrasi, kehadiran lembaga legislatif yang dipercaya adalah keniscayaan. Hal itu juga yang diharapkan rakyat saat menggulirkan reformasi. Sayangnya, setelah 15 tahun berjalan dan tiga pemilu dilewati, yang terjadi justru sebaliknya. DPR yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat dalam mengawasi pemerintahan justru tidak sedikit yang bersekongkol ”merampok” uang rakyat. Kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR pun pupus. Pemilu 2014 ini merupakan momentum untuk memperbaikinya. Untuk itu, harian ”Kompas” menggelar diskusi terbatas bertema ”Qua Vadis DPR Bersih dan Prorakyat”. Sebagai panelis: Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, anggota Komisi I Ahmad Muzani, anggota Komisi II Nurul Arifin, serta Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, dan sejumlah peserta aktif. Laporan hasil diskusi disajikan di rubrik ”Indonesia Satu” halaman 25, 26, 27, dan 28, ditulis Sutta Dharmasaputra, M Hernowo, Khaeruddin, dan Haryo Damardono.

SUATU hari, di tahun 1998, seorang ibu tua berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki mendatangi posko logistik pergerakan mahasiswa di Gedung DPR. Ia menyerahkan satu set rantang berisi makanan sederhana: nasi putih dan sayur labu. Sebagai buruh cuci harian, ia hanya berpesan singkat, ”Ini sumbangan kecil saya untuk anak mahasiswa. Kalau berhasil, mudah-mudahan hidup saya lebih baik.”

Itulah kenangan ketika mencoba mengingat bagaimana awal era Reformasi bergulir. Kini, ibu itu entah masih hidup atau sudah tiada. Yang pasti, harapan itu belum bisa dipenuhi lembaga DPR.

Demokrasi Lima Menit

Franz Magnis Suseno

KRITIK tajam Bung Radhar Panca Dahana terhadap kelas politik yang menguasai demokrasi kita (Kompas, 12/12/2013) sulit disangkal. Bahwa elite politik memanfaatkan dengan rakus akses istimewa mereka terhadap aset-aset negara, tanpa merasa malu, amat kuat diyakini oleh masyarakat. Bahwa mereka seharusnya menjadi wakil kebersamaan kita hampir menguap.

Persepsi ini mengancam masa depan bangsa Indonesia dan karena itu perlu diekspos terus-menerus. Namun, kalau lantas demokrasi kita didegradasi seakan-akan dia tidak lebih dari ”demokrasi lima menit”, saya berhenti mengerti.

Kebangsaan Harus Diperjuangkan

Sayidiman Suryohadiprojo

TERBUKTI globalisasi dan segala macam internasionalisme tidak dapat meniadakan eksistensi bangsa dalam kehidupan umat manusia.

Sebab itu, bangsa Indonesia yang lahir dalam Sumpah Pemuda 1928 dan dinyatakan kemerdekaan dan kedaulatannya pada 17 Agustus 1945 harus selalu kita bina eksistensinya melalui perjuangan kebangsaan yang penuh semangat. Kebangsaan Indonesia tidak dapat lepas dari Dasar Negara Pancasila yang juga jati diri bangsa.

Presiden, GBHN, dan Masa Depan

Jannus TH Siahaan

DAPATKAH seseorang menentukan masa depan orang lain? Dapatkah seorang presiden menentukan masa depan bangsanya?

Beberapa orang butuh alasan teologis untuk menjawab pertanyaan di atas, tetapi beberapa lainnya melihat masa depan sebagai keniscayaan hidup. Kepercayaan kepada ketetapan Tuhan yang absolut adalah alasan teologis kenapa seseorang tak dapat menentukan masa depan orang lain. Karena kepercayaan akan adanya kehendak bebas Tuhan, maka manusia bisa ambil bagian menentukan masa depan.

NU 30 Tahun Menerima Pancasila

Salahuddin Wahid
                                                                                                                     
DALAM persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 29 April-22 Juni 1945, sudah timbul pertentangan antara kelompok yang menginginkan Islam jadi dasar negara dan kelompok yang menginginkan dasar negara adalah Pancasila.

Titik temunya Piagam Jakarta yang membuat rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, yang akan mengesahkan UUD,  pada 17 Agustus sore ada sejumlah anak muda yang mengaku wakil umat Kristen dari Indonesia timur menemui Bung Hatta. Mereka menyatakan, kalau tujuh kata Piagam Jakarta tidak dihapus dari Mukadimah UUD, umat Kristen tidak akan bergabung ke dalam Republik Indonesia.