Zuhairi Misrawi
Dalam rilis resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Mesir, setidaknya ada tiga alasan utama di balik keputusan menggemparkan tersebut. Pertama, IM dianggap telah menempuh cara-cara kekerasan dalam mencapai ambisi dan tujuan politiknya. Langkah tersebut diambil karena IM menolak pelengseran atas Presiden Muhammad Mursi, yang terpilih secara demokratis pascarevolusi.
Hampir setiap hari mereka mengerahkan massa dalam jumlah yang relatif besar dengan tujuan menciptakan instabilitas politik. Setelah pimpinan elite IM ditangkap dan dipenjara, mereka kini mengerahkan kaum muda untuk menghentikan dan mengacaukan aktivitas perkuliahan di sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas Al Azhar, Universitas Kairo, dan Universitas Mansoura. Akibatnya, jadwal perkuliahan dan ujian semester tertunda. Puncaknya, sejumlah aksi bom bunuh diri di Sinai, Nasr City, dan Mansouraditengarai sebagai ulah kelompok yang berafiliasi kepada IM.
Kedua, IM dianggap sebagai aktor di balik pembakaran dan perusakan terhadap sejumlah gereja di seantero Mesir. Lebih kurang 42 gereja dirusak sejak jatuhnya Mursi. Menurut Rifat Saeed, apa yang dilakukan IM dapat dikonfirmasi karena fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh IM sama sekali tidak bersahabat pada gereja (www.almasryalyoum.com, 20/12/2013).
Setelah berkuasa pascarevolusi, IM sebenarnya telah memulai langkah besar saat mengeluarkan keputusan penting untuk menghadiri perayaan Natal di gereja. Bahkan, mereka menampung para aktivis politik dari kalangan Koptik untuk masuk dalam kepengurusan Partai Kebebasan dan Keadilan. Namun, langkah tersebut tercemari kembali pasca-jatuhnya Mursi karena mereka menjadikan gereja sebagai sasaran utama untuk melampiaskan kemarahan.
Ketiga, IM dianggap dengan sengaja mengganggu peta jalan (kharithat al-thariq) yang digariskan oleh pemerintahan baru yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusi serta akan menyelenggarakan referendum dan pemilu. IM telah menggunakan segala cara untuk menghentikan peta jalan tersebut. Langkah tersebut dipandang pemerintah sebagai rintangan dalam upaya membangun negara demokratis, adil, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Secara de jure, keputusan Pemerintah Mesir dengan menetapkan IM sebagai organisasi teroris mempunyai dampak serius. Karena secara hukum, IM akan mendapatkan sanksi yang sangat berat sebagaimana tertera Pasal 88 KUHP Mesir.
Mereka yang tercatat, terlibat, dan mendanai organisasi IM akan dipenjara sedikitnya lima tahun. Polisi dan militer mendapatkan mandat untuk melakukan pengamanan dari sejumlah aksi aktivis IM. Begitu pula, sejumlah aktivis IM yang eksodus ke beberapa negara Arab dapat diberikan sanksi berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani para pemimpin Arab pada tahun 1998.
Versus negara
Apa yang menimpa IM saat ini sebenarnya hanya pengulangan dari episode kelam di masa lalu. Sejarah membuktikan bahwa perlawanan IM terhadap pemerintah selalu berakhir dengan pembubaran. Pada tahun 1940-an, IM melalui sayap khusus (tandzim khas) yang dikenal kerap menggunakan kekerasan telah melakukan aksi pembunuhan terhadap Perdana Menteri Fahmi Naqrasyi, Hakim Agung Khazandar, dan merusak sejumlah fasilitas umum milik pemerintah. Hal ini menyebabkan pemerintah melakukan larangan secara resmi terhadap IM.
Pada tahun 1950-an, Gamal Abd Nasser juga melakukan pembubaran karena IM dianggap telah berusaha melakukan upaya pembunuhan terhadap Nasser. Pada tahun 1960-an, Sayyed Qutb ditangkap dan akhirnya dihukum gantung karena melancarkan sejumlah rencana besar untuk melakukan pembunuhan dan perusakan atas fasilitas umum. Pada tahun 1980-an, IM kembali memasuki ketegangan dengan pemerintah, yang berakhir dengan tewasnya Presiden Anwar Sadat.
Hosni Mubarak melanjutkan kebijakan para pendahulunya dengan menetapkan IM sebagai organisasi terlarang. Para aktivis IM dipenjara sembari melakukan pendekatan keamanan yang sangat ketat terhadap mereka. Meskipun demikian, IM diam-diam dapat menggalang kekuatan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mempunyai jaringan luas di tingkat akar rumput.
Harus diakui, sebagai organisasi sosial-masyarakat dengan ideologi islamismenya, IM mempunyai dukungan yang kuat dari akar rumput. Hal tersebut terlihat saat pemilu paling demokratis digelar pasca-jatuhnya Mubarak. IM mendapatkan suara yang meyakinkan, yaitu memenangi pemilu legislatif dan pemilu presiden. IM adalah satu-satunya organisasi sosial yang paling rapi dan disiplin dalam menggerakkan massa.
Namun, belajar dari sejarah dan fakta mutakhir, IM mempunyai masalah serius dalam membangun relasi dan kesepahaman dengan negara. IM cenderung menjadikan dirinya sebagai ”negara” dalam negara. Sikap tersebut menyebabkan IM kerap kali mengalami benturan serius dengan negara. Menurut Muhammad Habib, mantan aktivis IM, organisasi yang sudah berusia 86 tahun tersebut kerap memilih ”jalan buntu” tatkala berhadapan dengan negara. IM tidak mau membangun rekonsiliasi dan kesepahaman dengan negara. Karena itu, banyak pihak memandang IM pada hakikatnya hendak membangun ”Negara IM” di Mesir.
Keputusan mutakhir pemerintah dengan menetapkan IM sebagai organisasi teroris (tandzim irhabi) merupakan keputusan yang disayangkan oleh banyak pihak. Keputusan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika IM mau bersama-sama terlibat dalam peta jalan masa depan sebagaimana digariskan oleh seluruh kekuatan politik, militer, termasuk Al Azhar dan Koptik.
IM bisa belajar dari AKP di Turki dan Ennahda di Tunisia yang memilih untuk menjadi bagian dari negara, bahkan memimpin negara untuk memastikan demokrasi dapat melindungi seluruh kelompok. Karena bernegara pada hakikatnya membangun konsensus yang menjamin hak individu dan hak semua kelompok terlindungi, dengan konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pilar demokrasi.
Masa depan Ikhwanul Muslimin
Terus terang, masa depan IM masih sangat suram karena hingga saat ini belum ada indikasi kuat di dalam internal IM untuk melakukan reformasi. Mulai muncul gerakan ”IM tanpa kekerasan” yang diprakarsai kaum reformis dan kaum muda di dalam IM, tetapi suara mereka tidak direspons positif oleh elite IM.
Sebagai sebuah organisasi, IM bisa dibubarkan dan dilarang Pemerintah Mesir, tetapi ideologi IM yang mapan tentu tidak mudah dilenyapkan. Mereka bisa jadi lebih keras sebagaimana sudah terbukti dalam bentangan sejarah IM. Jika ini terjadi, yang rugi adalah IM dan negara.
Maka dari itu, Pemerintah Mesir mempunyai tugas yang sangat berat dalam rangka melakukan dialog intensif dengan aktivis dan kaum muda IM. Al Azhar yang sudah terbukti membangun sikap moderat dan cinta negara-bangsa perlu dilibatkan untuk melakukan pencerahan dan pembaruan di dalam internal IM. Tujuan utamanya adalah mengajak kembali IM agar menjadi bagian dari negara yang harus menjaga harmoni dan melanjutkan transisi demokrasi ke arah yang lebih mencerminkan keadilan dan kemanusiaan.
Zuhairi Misrawi, Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah di The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar