Munafrizal Manan
Berlakunya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak 1 Januari 2014, akan diikuti oleh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015, merupakan momentum mulai memosisikan hak-hak sosial—dan seharusnya juga hak ekonomi dan budaya—sejajar dengan hak-hak sipil dan politik.
Pengalaman panjang dibelenggu oleh rezim otoriter agaknya telah membentuk kesadaran kolektif bangsa kita untuk lebih memprioritaskan hak-hak sipil dan politik daripada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Sesudah berakhirnya rezim otoriter, prioritas pertama tampaknya diberikan pada pemulihan hak-hak sipil dan politik, baru kemudian diikuti oleh hak-hak ekosob. Pengalaman seperti ini juga terjadi di banyak negara lain pasca-rezim otoriter.
Dua faktor penyebab
Anggaran Rp 19,93 triliun telah dialokasikan dalam APBN 2014 untuk pembiayaan BPJS Kesehatan dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk menjamin kesehatan sebanyak 86,4 juta warga yang sangat miskin, miskin, dan rentan miskin. Meskipun kita belum tahu pasti hasil akhirnya, dan sering dinilai buruk dalam soal implementasi, ini adalah terobosan yang layak diapresiasi. Jika implementasinya sukses, tentu rakyat akan menuai manfaat nyata meningkatkan standar kualitas hidup mereka.
Bandingkan dengan berapa banyak anggaran negara telah digelontorkan sejak era reformasi untuk pemenuhan hak-hak politik. Contoh paling mencolok adalah pembiayaan pemilihan umum (pemilu) nasional. Meskipun tidak menemukan data resmi yang akurat, dari sumber media daring disebutkan bahwa biaya untuk Pemilu 1999 mencapai Rp 1,3 triliun, Pemilu 2004 sekitar Rp 6 triliun, Pemilu 2009 Rp 8,5 triliun, dan Pemilu 2014 Rp 16,2 triliun.
Biaya pemenuhan hak-hak politik ternyata sangat mahal dan selalu meningkat setiap pemilu. Ini belum termasuk biaya-biaya lain yang legal maupun ilegal, yang terkait dengan pesta demokrasi itu. Belum pula termasuk biaya pemilihan kepala daerah yang berserak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten seluruh Indonesia. Kini saatnya dibuat terobosan kebijakan/hukum menyusutkan biaya hak-hak politik tanpa mengurangi substansi pemenuhan hak asasinya.
Sedikitnya ada dua faktor penyebab munculnya persepsi hak sipil dan politik lebih penting didahulukan ketimbang hak-hak ekosob. Pertama, diadopsinya dua kovenan HAM internasional secara terpisah pada tahun 1966 dan mulai berlaku tahun 1976, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Pemisahan ini seolah menjustifikasi adanya ketegangan intrinsik dan dikotomik di antara dua kategori hak asasi manusia (HAM) tersebut.
Padahal, jika dilihat konteks historis perumusan dua kovenan ini, pemisahan terjadi lebih dipicu oleh perseteruan politis dan ideologis Perang Dingin saat itu. Akibatnya, sebagian negara lebih mementingkan hak-hak sipil dan politik, sebagian lain lebih mengutamakan hak-hak ekosob. Namun, dalam sejarah HAM dunia, hak-hak ekosob cenderung mendapat perhatian sedikit dibandingkan hak sipil dan politik.
Menurut Martin Scheinin, instrumen HAM internasional umumnya tidak disusun secara dikotomik, memisahkan hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekosob, tetapi mencakup semua kategori hak-hak asasi ini dalam satu instrumen HAM yang sama. Contohnya adalah International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979), Convention on the Rights of the Child (1989), dan Convention on the Right of Person with Disabilities (2006) (dalam Krause dan Scheinin, 2012: 23).
Kedua, pengarusutamaan hak-hak sipil dan politik daripada hak-hak asasi lainnya seolah mendapat pembenaran melalui argumentasi Karel Vasak tentang klasifikasi periodisasi perkembangan HAM yang dicetuskan tahun 1979. Vasak, yang ikut berkontribusi merumuskan Deklarasi Universal HAM 1948, membagi sejarah perkembangan HAM menjadi tiga periode secara berurut: periode hak-hak sipil dan politik; periode hak ekonomi, sosial, dan budaya; serta periode hak-hak kelompok atau kolektif. Klasifikasi periodisasi HAM seperti ini secara keliru sering diartikan mengutamakan pemenuhan hak-hak sipil dan politik dahulu, baru kemudian diikuti oleh hak-hak asasi lainnya.
Cara pandang di atas problematik dan mendistrosi realisasi HAM secara integratif. Maka Konferensi HAM Dunia di Vienna tahun 1993 kemudian menegaskan bahwa HAM bersifat saling bergantung (interdependent) dan tidak dapat dibagi (indivisible).
Antonio A CanÇado Trindade, Wakil Presiden Mahkamah HAM Inter-American dan profesor hukum internasional, menekankan pentingnya konsepsi integral untuk promosi dan proteksi totalitas hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosob (1998: 515). Amartya Sen melalui buku Development as Freedom (1999) berargumen, dikotomi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosob dalam praktik sebetulnya tidak relevan karena keduanya sama-sama penting.
Mesti integral dan simultan
John Peters Humphrey, penulis draf pertama Deklarasi Universal HAM 1948, mengakui, tanpa hak-hak ekosob, maka hak-hak sipil dan politik hanya bermakna sedikit bagi banyak orang (1973: 101). Apa maknanya hak sipil jika manusia hidup dalam kondisi subhuman? Apa pula maknanya hak politik jika manusia meregang nyawa karena kelaparan atau tak mampu berobat?
Kini semakin diyakini, penghormatan (respect), perlindungan (protec), dan pemenuhan (fulfil) hak-hak sipil dan politik harus dilakukan secara integral dan simultan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Semoga peresmian BPJS Kesehatan dan peluncuran program JKN sebagai komitmen tulus menuju realisasi integrasi HAM bukan sebagai tunggangan politik untuk kepentingan Pemilu 2014.
Munafrizal Manan, Alumnus University of Melbourne, Australia; Mahasiswa Utrecht University School of Law, Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar