24/01/14

Bencana dan Kebodohan Politik

Donny Gahral Adian

MEMBACA judul artikel ini, siapa saja pasti bertanya, ”apa hubungannya bencana dan politik?” Bencana adalah sesuatu yang natural, sementara politik sebaliknya. Padahal, sejatinya tidak ada lagi yang natural  di kolong langit ini. Kadar toksin di air minum kita adalah akibat kebijakan politik yang ngawur. Banjir menahun yang melanda republik ini juga tak ada bedanya.

Politik dan bencana tak dapat  dipisahkan. Politik, bagi saya,  memiliki tingkat kecerdasannya sendiri. Pemberian sembako, perahu karet, dan selimut memang membantu, tetapi bukan sesuatu yang cerdas. Bencana harus dihentikan dari hulu. Persoalannya, hulu bencana tidak pernah diatasi secara cerdas oleh politik.

Politik ”asjadut”

Politik bukan semata urusan perebutan kekuasaan. Lebih substansial dari itu, politik adalah seni memakai kekuasaan demi kepentingan umum. Saya harus menggunakan bahasa terang. Tingkat kecerdasan politik kita masih beredar pada level ”asjadut” alias ”asal jadi duit”. Politik semacam inilah yang memberi izin pembangunan rumah peristirahatan di daerah resapan, membiarkan alih fungsi lahan  tanpa kendali, meloloskan pembalak liar, dan menutup mata terhadap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) demi kas negara.

Politik ”asjadut” mungkin memompa pertumbuhan ekonomi. Program mobil murah, misalnya, membuka lapangan pekerjaan di sektor otomotif. Namun, peningkatan polusi yang ditimbulkan tak ada di kalkulator para politisi ”asjadut”.  Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada industri perkebunan jelas positif bagi ekonomi lokal. Akan tetapi, konsekuensi ekologisnya diserahkan begitu saja pada teka-teki masa depan.

Politik ”asjadut” bukan kelakuan pemerintah kita saja. Pada kurun waktu 1970-1980, Pemerintah Brasil mendukung pembakaran hutan tadah hujan demi lahan peternakan sapi. Ini disebabkan kenaikan permintaan daging sapi oleh resto-resto cepat saji di Amerika Serikat. Politik ”asjadut” di Brasil ini juga dikenal dengan sebutan ”hamburgerisasi hutan tadah hujan”.

Meski begitu, politik ”asjadut” tetap dapat dibela secara akademis.  Sebagian akademisi berargumen bahwa jalan tercepat menuju penyelamatan lingkungan adalah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pendapatan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa non-material atau semi-material sekaligus kualitas lingkungan yang baik.

Beckerman (1992) menyebutkan, dalam jangka panjang, cara paling tepat untuk meningkatkan kualitas lingkungan adalah menjadi kaya. Argumen yang lebih ekstrem menyatakan betapa regulasi lingkungan yang menurunkan pertumbuhan ekonomi justru mendegradasi kualitas lingkungan.

Politik ”asjadut” dapat dibenarkan. Kenaikan pendapatan akibat dibangunnya pabrik sepatu di lahan pertanian berdampak positif terhadap lingkungan. Kuznets (1966) menyebutkan bahwa pada saat pendapatan per kapita mencapai titik tertentu maka terjadi perubahan struktural, yakni peralihan ke industri berbasis informasi, teknologi yang lebih efisien, dan peningkatan permintaan terhadap kualitas lingkungan.

Persoalannya, logika ”asjadut” semacam itu terbentur beberapa persoalan krusial. Pertama, pada pendapatan per kapita berapakah perubahan terjadi. Kedua, berapa besar kerusakan sudah terjadi sebelum kita mencapai tingkat pendapatan per kapita tersebut. Ketiga, apakah ambang batas ekologis sudah terlanggar dan kerusakan yang tak dapat diperbaiki sudah kadung terjadi sebelum kualitas lingkungan membaik akibat pertumbuhan ekonomi. Keempat, korelasi antara perbaikan kualitas lingkungan dan pertumbuhan ekonomi tidak otomatis sebab mensyaratkan reformasi institusional dan kebijakan.

Politik kehati-hatian

Hulu bencana adalah politik yang tidak cerdas secara ekologis (politik ”asjadut”). Saya yakin sampai kiamat pun persoalan bencana alam di republik ini tidak akan tuntas sebelum cara berpikir politik ”asjadut” dirombak total.

Logika ”asjadut” bersandar pada antropologi purba ilmu ekonomi. Ekonomi mematok manusia sebagai dia yang memuaskan nafsu dengan cara-cara yang efisien. Akal sehat bertugas memilih cara yang paling tepat untuk memuaskan nafsunya. Akal dikendalikan dan bukan mengendalikan nafsu.

Seseorang tahu kalau dia hanya boleh minum segelas kopi sehari karena alasan kesehatan. Namun, nafsu mampu membuat keputusan akalnya menjadi tidak sehat. Dia akan berpikir, ”minum segelas kopi lagi tidak akan berdampak serius”.
Akal yang dirasuki nafsu cenderung mendiskon masa depan. Teori keputusan (decision theory) menyebutnya diskon hiperbolis. Artinya, seorang cenderung memilih keuntungan kecil yang didapat  dalam jangka pendek ketimbang keuntungan besar dalam jangka panjang.

Ini menjelaskan mengapa orang tidak mengatur pola makannya sehingga mengidap obesitas. Ini juga menjelaskan mengapa pemerintah cenderung membiarkan alih fungsi lahan untuk industri manufaktur demi terbukanya lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak berpikir panjang tentang dampak ekologis yang akan merugikan di masa yang akan datang.

Pemerintah semacam itu menjalankan politik secara serampangan. Itu pun kalau tidak boleh dibilang bodoh. Buat apa pertumbuhan ekonomi jika sebagian orang terpaksa menggunakan air hujan untuk memasak? Kesejahteraan tidak semata-mata diukur dari berapa uang yang ada di kantong. Uang banyak tidak ada artinya jika kualitas hidup terus melorot tiap tahunnya karena lingkungan yang tak layak huni?

Pemerintah dapat berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi secara otomatis memperbaiki tingkat pendidikan, yang pada gilirannya membuat orang sensitif terhadap isu lingkungan. Kenyataannya, banjir terjadi di kota-kota besar yang disesaki kelas menengah terdidik.

Demi mencegat bencana dari hulunya, kebodohan politik yang dilakukan pemerintah saat ini harus dihentikan.  Alih fungsi lahan harus ditinjau ulang. Hak pengusahaan hutan jangan dibagikan layaknya permen untuk anak kecil. Analisis mengenai dampak lingkungan mutlak diberlakukan secara ketat dan konsisten. Kebijakan mobil murah harus dihentikan. Rumah-rumah peristirahatan yang menempati daerah resapan air harus diratakan. Dan, ini kalau berani, kawasan rawan banjir menjadi daerah terlarang bagi pembangunan properti, apa pun bentuknya. Sudah saatnya hutan beton ditebangi sementara  hutan kota diperluas.

Sebagian orang mungkin menyanggah, ”belum tentu alih fungsi lahan adalah penyebab bencana yang selama ini terjadi”. Atau, ”belum ada bukti-bukti ilmiah yang mengaitkan antara pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan berbagai bencana yang terjadi”.

Politik ”asjadut” akan berpegang pada argumen: ”tanpa bukti-bukti yang mencukupi,  segala regulasi untuk mengurangi risiko tidak perlu diberlakukan”. Padahal, politik dewasa ini sudah lebih cerdas dari sebelumnya. Politik dewasa ini menganut apa yang disebut ”prinsip kehati-hatian”. Prinsip ini berbunyi, ”saat dihadapkan pada peluang katastrofi, absennya bukti-bukti ilmiah tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membatalkan kebijakan yang mencegah degradasi ekologis”.

Politik yang cerdas berpikir, ”lebih baik selamat ketimbang menyesal kemudian”. Sebaliknya, politik ”asjadut” semata-mata berpikir, ”lebih baik menyesal ketimbang selamat kemudian”. Semoga kita semua dijauhkan dari kebodohan politik semacam itu. Amin.

Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Universitas Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar