24/01/14

Amuk Ekologi

Hefni Effendi 

DI awal 2014 ini berlaksa bencana menghunjam Bumi Pertiwi. Gunung memuntahkan lahar, tanah longsor, topan dan badai, tumpahan hujan tiada henti membanjiri Nusantara, hingga gelombang tinggi. Semua itu menyisakan pilu dan nestapa bagi segenap warga negara yang tertimpa bencana.

Seakan-akan alam mulai jenuh berkompromi dengan manusia yang menunggang bumi di luar batas kemampuan alam penopangnya. Katastrofe dan anomali alam menyebar ke seluruh jagat.  Terperangah kita menyaksikan snow on the desert di Arab Saudi dan suhu rendah ekstrem di Michigan, AS, yang membekukan air terjun Niagara yang sedang mengalir ke bawah.

Kita terlalu rakus menguras sumber daya alam.  Resiliensi alam berupa kapasitas bertahan, beradaptasi, dan memperbaiki diri setelah gangguan mulai tidak berada pada bandul keseimbangannya.  Demikian pula dengan daya tahan alam berupa kemampuan bertahan, kapasitas merasakan, dan kesiapan beradaptasi terhadap perubahan juga telah terkikis.

Berbagai asumsi dibangun untuk mengelaborasi keganjilan alam yang di luar normal ini. Semua berujung pada mengambinghitamkan perubahan iklim akibat pemanasan global yang bersumber dari penggunaan tak bijak bahan bakar fosil.   Selain itu, perilaku tamak dan tak arif memperlakukan alam juga memantik amuk ekologis.

Misalnya, mempersempit ruang bagi alam untuk menuntaskan siklus alaminya. Ruang infiltrasi siklus hidrologi dirampas melalui hilangnya daerah resapan air: hutan, ruang terbuka hijau, danau. Ini menghambat kecepatan air menuju titik terendah karena saluran air tersumbat oleh sampah.

Sejak tahun 1800-an, bahan bakar fosil jadi lokomotif penghela pertumbuhan ekonomi negara industri dunia di belahan barat.  Belakangan batubara mulai digunakan secara masif di China dan India. Pembakaran bahan bakar fosil ini salah satunya menghasilkan CO2, gas rumah kaca penyebab pemanasan global.  Memang ironis!

Ketika negara industri maju telah sampai pada level sejahtera dan berkemampuan andal mengelola bencana bermodalkan bahan bakar fosil sejak Revolusi Industri, Barat mulai mengintroduksi skema baru mereduksi emisi karbon.

Daripada mengurangi emisi CO2 yang berimbas pada pemangkasan tenaga kerja industri, diperkenalkanlah dengan cerdik metode perdagangan karbon dengan memberi kompensasi kepada negara tropis yang berhutan sebagai penyerap karbon melalui mekanisme REDD.

Etika lingkungan

Bob Doppelt (2010) dalam The Power of Sustainable Thinking mengelaborasi sistem take-make-waste.  Manusia mengambil sumber daya alam seperti mineral, ikan, kayu, batubara, minyak, gas, lalu menggunakannya untuk membangkitkan ekonomi dengan mengolah bahan itu menjadi barang konsumsi dan jasa untuk dinikmati.  Hasil sampingnya adalah limbah yang dilepas ke alam dalam bentuk gas penyebab efek rumah kaca, pencemaran air, pencemaran tanah, dan limbah beracun.  Produktivitas industri dinilai dengan peningkatan kuantitas bahan produk, tak peduli di sana tersua limbah.

Pergeseran paradigma dalam mengejar kesejahteraan ekonomi menjadi borrow-use-return, yakni bahan mentah yang diekstraksi dari alam. Material dan energi dikonversi menjadi barang dan jasa, kemudian dikembalikan ke alam berupa nutrien untuk pertumbuhan selanjutnya tanpa melampaui kemampuan alam melakukan asimilasi dan purifikasi. Itulah close-loop system melalui pemanfaatan energi terbarukan (matahari, angin, gelombang, biomassa, serta bahan baku dan proses yang ramah lingkungan).
Paradigma pengejaran kesejahteraan seyogianya menganut close-loop system ini.  Eliminasi jauh take-make-waste secara nyata saat ini menyengsarakan umat manusia.

Paham lain yang menguras sumber daya alam adalah utilitarianism (Mill, 1861) yang disimplifikasi sebagai ends-based-thinking (Kidder, 1995). Pemanfaatan sumber daya alam demikian berfokus pada hasil terbaik yang dinikmati banyak orang tanpa memikirkan kerusakan dan kesempatan generasi mendatang menikmatinya.

Prinsip lain dalam pemanfaatan sumber daya secara bijak dielaborasi dalam care-base-thinking (Kidder, 1995) dengan slogan love your neighbour as yourself. Pemanfaatan sumber daya alam berlebihan mesti memikirkan konsekuensinya dan kemungkinan habisnya hingga tak dinikmati generasi penerus.  Paham ini sebetulnya telah diadopsi pada ideologi  pembangunan berkelanjutan.

De jure kita menganut pembangunan berkelanjutan (UU No 32/2009), tetapi de facto paham tersebut terus dilabrak. Perambahan hutan lindung, penambangan terbuka di kawasan lindung, alih fungsi daerah resapan air, pembuangan limbah tak diolah ke lingkungan, hingga pembuangan sampah ke sungai. Juga pembangunan infrastruktur yang tak mengindahkan lingkungan, penumpukan industri pada suatu wilayah tanpa peduli daya dukung dan daya tampung, hingga pelanggaran tata ruang, pemberian izin eksploitasi sumber daya alam yang tak memperhatikan peruntukan kawasan.

Kementerian Kehutanan menemukan 150 perusahaan pemegang izin kuasa pertambangan (KP) yang proyeknya menyerempet dan masuk dalam kawasan hutan lindung. Bahkan, sebagian masuk hutan konservasi. Di Kaltim dan Kalsel terdapat 1.900 KP yang bersinggungan dengan hutan lindung. Ombudsman (2012) mencatat 62 konflik yang dilaporkan terkait pelanggaran tata ruang.

Pada era reformasi ini para gubernur dan bupati perlu diberikan penyegaran tentang makna pembangunan berkelanjutan karena tak jarang mereka menggadaikan sumber daya alam sebagai komoditas politik tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan survei (2006), sekitar 9 persen kepala daerah tidak peduli lingkungan, 47 persen peduli, 37 persen cukup peduli, dan hanya 7 persen yang sangat peduli.

Hiruk pikuk reaksi alam berupa amuk ekologi tak pandang bulu dirasakan oleh pencinta dan pendosa lingkungan seperti yang terjadi sekarang.

Hefni Effendi, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB 

3 komentar:

  1. Benar sekali pak Hefni, itu yang kita rasakan sekarang, ibarat kita tertimpa karma dari apa yg dilakukan umat manusia. Ketidakpedulian kita sangat luar biasa, nampak dari sebagian besar kebijakan tak-memihak-lingkungan yg dikeluarkan oleh para penguasa, khususnya di era Otda. Kita semua terjebak dlm hedonisme, mengagungkan materi untuk kepentingan sesaat. Sungguh memprihatinkan....

    BalasHapus