tag:blogger.com,1999:blog-58784810660454742602024-02-07T19:43:04.017+07:00Kumpulan Opini KompasMedia Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.comBlogger768125tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-39980014438363905482015-09-30T09:39:00.000+07:002015-09-30T09:39:00.609+07:00Sikap Warga NU terhadap PKI<div style="text-align: center;">
<b>Salahuddin Wahid</b></div>
<br />
Tahun 1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.<br />
<br />
Saya bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri.<br />
<br />
<a name='more'></a>Penjelasan ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain.<br />
<br />
Beberapa tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang kata-kata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.<br />
<br />
<b>Sikap Gus Dur</b><br />
<br />
Kami sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965.<br />
<br />
Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya?<br />
<br />
Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu.<br />
<br />
Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa.<br />
<br />
Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas.<br />
<br />
Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.<br />
<br />
Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.<br />
<br />
Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak.<br />
<br />
<b>Rekonsiliasi</b><br />
<br />
Pada awal 2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.<br />
<br />
Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.<br />
<br />
Upaya rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.<br />
<br />
Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak.<br />
<br />
Komnas HAM pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.<br />
<br />
Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu.<br />
<br />
<b>Sikap warga NU kini</b><br />
<br />
Bagaimana sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU.<br />
<br />
Kedua, kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka.<br />
<br />
Ketiga, mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan lagi.<br />
<br />
Kelompok terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang ”berperang” dengan TNI dan partai-partai, lawan termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Salahuddin Wahid; <i>Pengasuh Pesantren Tebuireng</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-64633023728035119802015-09-30T09:36:00.000+07:002015-09-30T09:36:48.343+07:00Membersihkan Dosa Kolektif G30S<div style="text-align: center;">
<b>Franz Magnis-Suseno</b></div>
<br />
Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September (sebutan ini akan saya pakai selanjutnya) membunuh enam jenderal dan Kapten Pierre Tendean serta membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi (di Yogyakarta juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono).<br />
<br />
Tak berlebihan, peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling traumatik dalam sejarah Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu—yang menjadi permulaan dari berakhirnya kepresidenan Soekarno—lepas suatu dinamika yang bermuara dalam suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa yang akan termasuk salah satu kejahatan genosidal paling mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu kita diperingatkan—dan saya sependapat—pembicaraan harus bijaksana dan hati-hati kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus membicarakannya. Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur.<br />
<br />
<a name='more'></a>Kita harus bertanya, bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif—Soekarno menyebutnya gotong royong—yang perlu untuk menghadapi masa depan penuh tantangan kalau kita tak berani menghadapi masa lampau.<br />
<br />
Masalahnya bukan apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S) itu atau tidak (mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak meragukan keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain). Masalahnya: mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja? Mengapa sejuta rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno menolak tindakan terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah tak berdaya sama sekali.<br />
<br />
Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota, mulai dari Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik disisir. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung dieksekusi; ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada malam hari, dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang terlalu besar). Padahal, pembunuhan-pembunuhan itu bukan pengeroyokan spontan oleh masyarakat yang emosional, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan persiapan administratif!<br />
<br />
Lebih banyak lagi yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang). Mereka dikategorikan ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke pengadilan), golongan B (yang dianggap orang penting, tetapi karena tak melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehidupan normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan peraturan dan ”kebijakan” yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta saudara/ saudari kita ”terlibat” atau ”tidak bersih lingkungan”. Di masyarakat, mereka dicap ”PKI” dan diasingkan dari pergaulan normal dengan tanda ”ET” (eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi mereka, yang pegawai negeri dipecat.<br />
<br />
Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh tahun tanpa proses pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan saudara-saudari kita itu hancur secara sosial.<br />
<br />
Melepaskan kebohongan<br />
<br />
Mari kita berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu kasar dan luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila dan cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945—yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru—bisa melakukan sesuatu yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60 tahun terakhir? Bahwa pembunuhan ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965 oleh G30S harus ditindak tegas dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersedia menerima omongan yang sampai sekarang masih dapat didengar bahwa karena ”PKI membunuh jenderal-jenderal”, maka jutaan saudara dan saudari sebangsa yang sedikit pun tak terlibat dalam pembunuhan itu diburu seperti binatang, ditangkap, disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya karena mereka secara politik berpihak pada PKI?<br />
<br />
Maka, sebaiknya kita tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongan-kebohongan seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly wrong dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita sendiri.<br />
<br />
Peringatan 50 tahun G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani menghadapi apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan beberapa LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita bersama-sama dapat membersihkan hati kita. Kebanyakan mereka yang terlibat genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan.<br />
<br />
Maka, kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur, terbuka, dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong oleh pemerintah. Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan, universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S mempersatukan dan bukan malah memecahbelahkan kita.<br />
<b><br /></b>
<b>Pembubaran PKI</b><br />
<br />
Agar kebersamaan itu mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui bahwa seharusnya pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi terhadap saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh menuntutnya, tetapi tuntutan itu bersifat politis dan jangan dicampuradukkan dengan tuntutan kemanusiaan dan etika bahwa para korban pelanggaran berat HAM akhirnya mendapat keadilan.<br />
<br />
Justru di luar negeri sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua tuntutan itu. Seakan-akan pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak asasi para korban pembersihan pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan terhadap PKI dan perannya menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat mendukung pembubaran PKI.<br />
<br />
Pertimbangan ideologis: PKI secara resmi mendasarkan diri atas marxisme-leninisme (PKI tak pernah menganggap diri semacam ”komunis ala Indonesia”, tetapi komunis tulen, jadi memang marxis-leninis). Namun, marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan ateisme, yang oleh PKI memang tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno bahwa PKI dalam kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan bersedia menjadi hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia tak sesuai ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya komunislah yang berkuasa.<br />
<br />
Secara politis, tahun 1965, bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua. Adalah terutama PKI yang dengan bahasanya yang keras-konfrontatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner dan musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai ”tujuh setan desa” dan ”kafir” yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan (antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa yang kasar sekali), dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang Presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI.<br />
<br />
Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20 koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu itu, mereka yang tak termasuk kubu ”progresif-revolusioner” itu diliputi ketakutan. Orang ingat akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat dibicarakan.<br />
<br />
Saya berpendapat bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965 diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin ditampung lagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia tradisional. Itu yang lalu terungkap sebagai ”mereka atau kami” (kekhawatiran bahwa komunis akan kembali berkuasa masih terasa sampai 1966 dan saya masih ingat betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto pada 12 Maret 1966 kami rasakan seperti ada beban berat diambil dari hati kami, suatu perasaan yang sekarang pun masih ada pada saya). Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap ”terlibat” sesudah G30S, pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya, bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh dan dihancurkan.<br />
<br />
Dari kita betul-betul dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi pasca G30S sama sekali keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para korban perlu diakui sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka sebagai pengkhianat atau simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan ketidakadilan besar. Kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka perlu diakui kembali sepenuhnya. Itu langkah paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan korban sebagai korban hanya jujur kalau mereka, dalam batas-batas kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan suatu ganti rugi (dan kepada mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri perlu ditawarkan kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan birokratis). Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita boleh minta maaf.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Franz Magnis-Suseno; <i>Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-9293825005015101792015-09-29T09:43:00.000+07:002015-09-30T16:37:55.197+07:00Menenun Kebaikan<div style="text-align: center;">
<b>Iwan Pranoto</b></div>
<br />
Memang tak adil menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan. Meski demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada bahan serta cara ajar yang justru menyemai kejahatan seperti kebencian terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang berbeda? Negara dan rakyat perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat.<br />
<br />
<b>Kejuangan semu</b><br />
<br />
Pendidikan pada hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam hakikat pendidikan dan diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya, sistem pendidikan berperan sebagai salah satu sumber kebaikan dan pembangun keteraturan sosial.<br />
<br />
<a name='more'></a>Pada praktiknya di beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain ditempatkan sebagai pihak yang salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak. Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis dan formal, ”kebencian” terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada anak akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses bernalar.<br />
<br />
Bagaimana pula mata pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia senantiasa dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara terprogram pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap liyan melalui mata pelajaran yang umumnya diasumsikan agung dan digadang-gadang sebagai sumber moral.<br />
<br />
Melalui buku Education and Social Order (1932, pp 92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand Russell sudah tegas menyatakan kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era kolonial. Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya Britania Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah jajahan. Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah wilayah lain. Kejuangan jadi identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos mencederai nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi bahan transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi.<br />
<br />
Dengan mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang sebagai suatu kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan pemikiran tak baik lambat laun jadi ”kebenaran”. Keadaan ini akan menyokong kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai menyakiti kelompok berkeyakinan lain jadi bukan saja ”masuk akal” dan wajar, melainkan juga baik, bahkan dipuji.<br />
<br />
Jika anggapan ”kebenaran” ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan fisik, agama, dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu keteraturan sosial. Kini saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan subur bagi kebaikan bertumbuh di dalam kelas.<br />
<br />
Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain. Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok berkeyakinan lain. Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat penting. Ini dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti membangun hasrat mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya.<br />
<br />
<b>Dua unsur penting</b><br />
<br />
Guna memungkinkan persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya membenahi dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.<br />
<br />
Untuk unsur pertama, dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan 1920-an menggagas Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar kita bernalar tak kalah dibandingkan kegagahan mengangkat senjata. Mengulas sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan membuat pelajaran Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan.<br />
<br />
Kemudian, juga perlu diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau bagaimana transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu sekitar perebutan kekuasaan, kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya menyangkut semua kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang.<br />
<br />
Unsur kedua, cara ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus lagi, anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai perspektif atau sudut pandang. Anak menerampilkan diri dalam sekali-kali menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam mengkaji topik, kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998).<br />
<br />
Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar dengan mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai tiap anak. Dalam hal ini Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi. Guru tidak dilatih atau diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif belajar dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih. Jika diinginkan anak percaya diri, guru pun perlu pula percaya diri.<br />
<br />
Dalam daftar kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif ini pula, evaluasi pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara lebih utuh dan andal.<br />
<br />
Dengan pembenahan dua hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya kecakapan bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis kejuangan semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Iwan Pranoto; <i>Guru Besar Matematika ITB</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-61433520957993178962015-09-29T09:42:00.000+07:002015-09-30T16:37:33.389+07:00Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi<div style="text-align: center;">
<b>Azyumardi Azra</b></div>
<br />
Ketika musibah datang sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M—robohnya mesin derek (<i>crane</i>) di Masjidil Haram, Mekkah, dan tabrakan antaranggota jemaah (stampede) di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal—ada di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi yang segera menyatakan: ”Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah syahid (martir)”.<br />
<br />
Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.<br />
<br />
<a name='more'></a>Jika sementara tidak melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke Mekkah.<br />
<br />
Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama.<br />
<br />
Kedua, dalam gelombang jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar.<br />
<br />
Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan kekhusyukan beribadah.<br />
<br />
Memandang berbagai penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.<br />
<br />
Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah ’al-khadim al-haramayn—pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah).<br />
<br />
Bagi Arab Saudi, penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah—yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah—sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à-vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain.<br />
<br />
Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia Belanda.<br />
<br />
Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI).<br />
<br />
Melalui OKI dan Rabitah ’Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.<br />
<br />
Seperti dicatat Robert R Bianchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini—Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria—yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.<br />
<br />
Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang ”internasionalisasi” tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain.<br />
<br />
Namun, gagasan Iran ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.<br />
<br />
Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia.<br />
<br />
Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Azyumardi Azra, <i>Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020)</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-14602005769799989452015-07-08T21:25:00.000+07:002015-07-08T21:42:31.640+07:00Sulitnya Melenyapkan Perilaku Korupsi<div style="text-align: center;">
<b>TOPAN YUNIARTO</b></div>
<br />
Ibarat virus, korupsi termasuk gampang-gampang susah dimusnahkan. Belum ada vaksin anti korupsi yang sanggup meredam penyebaran virus tersebut sampai ke akar-akarnya. Lembaga superbodi sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum mampu menghentikan budaya korupsi.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNWBcB4ioS23d66Kdf3GKcEeZdQQ_ph5wBBF4_hsQ_Vfb4zfeVOK73O8aNoK93Vabd63a2ZpkU6rYn7bTHNtNnN_3W4gb0t-yvhWsb3jZag7hmj178DhHRHrO7h1_v6K_Awfn65Nqk13WL/s1600/%2523SaveKPK-opini-kompas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNWBcB4ioS23d66Kdf3GKcEeZdQQ_ph5wBBF4_hsQ_Vfb4zfeVOK73O8aNoK93Vabd63a2ZpkU6rYn7bTHNtNnN_3W4gb0t-yvhWsb3jZag7hmj178DhHRHrO7h1_v6K_Awfn65Nqk13WL/s400/%2523SaveKPK-opini-kompas.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan dianggap wajar oleh masyarakat. Tindakan memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri, bahkan keluarganya, sebagai imbal jasa sebuah pelayanan dipandang lumrah sebagai bagian dari budaya ketimuran.<br />
<br />
<a name='more'></a>Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UU itu dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lahir sebelum negara ini merdeka.<br />
<br />
Jika merujuk UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif, yang selama ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pemberian gratifikasi atau pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi.<br />
<br />
<b>Langkah Presiden</b><br />
<br />
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam inpres itu, terdapat 96 butir aksi yang harus dilaksanakan selama tahun 2015.<br />
<br />
Inpres yang ditujukan kepada kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah itu dimaksudkan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan membentengi kebijakan dari tindak pidana korupsi. Terkait hal itu, presiden berharap agar aksi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tak sekadar formalitas. Melalui inpres itu, presiden juga meminta dihilangkannya pungutan liar dan birokrasi yang berbelit.<br />
<br />
Persoalannya sederhana, korupsi sudah ada sejak republik ini berdiri. Perilaku koruptor sudah sangat sulit dilenyapkan karena telah mendarah daging berpuluh tahun. Mereka (koruptor) memiliki beribu modus operandi untuk menggangsir uang negara. Laiknya tindak pidana umum, pelaku korupsi selalu berada selangkah di depan penegak hukum.<br />
<br />
Korupsi, menurut Philip (1997), adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi, seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor publik.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia2zeQC_5ejwXyfnQVc80raekp06nJ2Wo3xNLP58nnWeYvNEjl3XvoerpS-5V27eUESDF6xw-74AFbvoRtbL__CHiMj86MmxpWEOF01y71JhxiMFmpdgDS6M8CDMDZdfBFnc4OAsio4zyE/s1600/infografik-tindak-pidana-korupsi-opini-kompas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia2zeQC_5ejwXyfnQVc80raekp06nJ2Wo3xNLP58nnWeYvNEjl3XvoerpS-5V27eUESDF6xw-74AFbvoRtbL__CHiMj86MmxpWEOF01y71JhxiMFmpdgDS6M8CDMDZdfBFnc4OAsio4zyE/s400/infografik-tindak-pidana-korupsi-opini-kompas.jpg" width="355" /></a></div>
<br />
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (<i>public interest centered</i>). Dikatakan, korupsi telah terjadi apabila seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk orang-orang yang akan memberikan imbalan, baik itu uang atau materi lain, sehingga merusak kedudukan dan kepentingan publik.<br />
<br />
Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki, dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kiri ke kanan) saat menyampaikan keterangan pers seusai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri lainnya di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (19/6). Rapat membahas strategi nasional untuk mencegah dan memberantas korupsi.<br />
<br />
Pengertian korupsi ketiga menurut Philip adalah yang berpusat pada pasar (market centered), yang diambil dari hasil analisis tentang korupsi yang dikaji menggunakan teori pilihan publik dan sosial serta pendekatan ekonomi dalam kerangka analisis politik bahwa pengertian korupsi adalah kegiatan atau aktivitas oleh lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu ataupun kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Kemudian dilanjutkan bahwa pengertian korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik.<br />
<br />
Inilah yang kerap menjebak seseorang yang masuk ke dunia politik. Dalam ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya tak sedikit untuk "membeli" kendaraan politik, ongkos kampanye hingga politik uang. Pertanyaannya, dari mana seorang kepala daerah bisa mengembalikan investasi yang sudah dibenamkan saat pencalonan. Setelah menjabat, mau tak mau, ia harus kreatif mengatur proyek-proyek APBD di daerahnya. Memang, ada beberapa kepala daerah yang relatif bersih dan enggan menggerogoti keuangan negara, tetapi jumlahnya tidak banyak.<br />
<br />
Banyak hal yang membuat republik ini subur dengan korupsi kendati terdapat tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan kejaksaan, yang memiliki kewenangan memberantas korupsi. Meski demikian, efek jera yang ditimbulkan ketiganya hingga kini belum begitu terasa. Bahkan, sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), koruptor masih mendapat perlakuan khusus. Mulai dari tingkat penyidikan, vonis pengadilan, hingga saat menyandang status sebagai narapidana, mereka tetap memperoleh perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan pelaku tindak pidana khusus lainnya.<br />
<br />
Jadi, jangan bermimpi vaksin anti korupsi akan mampu membasmi virus korupsi yang telanjur menggerogoti sel, darah, dan daging. Negara ini membutuhkan kesanggupan berbagai pihak untuk membentuk sistem, budaya, dan watak generasi yang benar-benar bersih agar virus korupsi tidak menjangkit.<br />
<div style="text-align: center;">
<b><br /></b></div>
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: right;">
<b>(LITBANG KOMPAS)</b></div>
</div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-8341312842669180662015-07-08T21:14:00.000+07:002015-07-08T21:14:18.468+07:00Jabatan Komisioner KPK<div style="text-align: center;">
<b>EDDY OS HIARIEJ</b></div>
<br />
Saat ini, Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.<br />
<br />
Secara eksplisit pasal tersebut menyatakan, ”Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 32 Ayat (2) undang-undang ini cukup rentan terhadap siapa pun yang menjabat komisioner KPK untuk dicari-dicari kesalahannya.<br />
<br />
<a name='more'></a>Heijder dalam <i>Kritieke Zones In De Strafrechtswetenschappen menulis</i>, antara lain, bahwa metodologi dari ilmu hukum modern harus memiliki perhatian yang besar untuk hal-hal yang nyata ada. Salah satu fase pemikiran hukum pidana yang sangat fundamental, kata Heijder, adalah refleksi filsafati. Fase pemikiran ini menjadi penting dalam rangka penyusunan dan pembentukan suatu aturan hukum agar tidak menyimpang dari tujuan dan fungsi aturan hukum itu sendiri.<br />
<br />
<b>Konsep perlindungan hukum</b><br />
<br />
Pembentukan suatu ketentuan pidana secara mutatis mutandis harus bersinergi dengan tujuan dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Tujuan hukum pidana, selain melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara, juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat <i>le salut du people est la supreme loi</i> yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan. Sementara fungsi hukum pidana, selain melindungi kepentingan hukum, juga memberi keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum.<br />
<br />
Konsep perlindungan hukum dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara <i>in abstracto</i> dan <i>in concreto</i>. Perlindungan in abstracto mengandung makna substansi suatu kaidah hukum haruslah memberikan perlindungan. Sementara perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum harus memberikan perlindungan.<br />
<br />
Paling tidak ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum. Kedua, apakah suatu norma bersifat diskriminatif. Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara <i>in abstracto</i>.<br />
<br />
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 tidaklah memberikan perlindungan hukum secara in abstracto terhadap komisioner KPK karena tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Dasar argumentasinya adalah, pertama, penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP hanyalah berdasarkan bukti permulaan. Oleh karena itu, komisioner yang berstatus sebagai tersangka harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila seseorang komisioner sebagai tersangka harus diberhentikan dari jabatannya, hal ini melanggar asas praduga tidak bersalah. Terlebih jika penetapan komisioner sebagai tersangka itu dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut menjadi pimpinan KPK.<br />
<br />
Kedua, masih berkaitan dengan kepastian hukum, seyogianya pasal ini ditafsirkan secara restriktif bahwa pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya jika dan hanya jika kejahatan tersebut dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai pimpinan KPK. Interpretasi yang demikian adalah logis-sistematis-historikal, sebab untuk menjabat pimpinan KPK melalui seleksi berjenjang yang sangat ketat dengan melibatkan partisipasi publik. Tentunya rekam jejak orang tersebut juga ditelusuri. Jika orang tersebut memiliki masalah hukum, semestinya panitia seleksi dan DPR tidak memilih yang bersangkutan sebagai pimpinan KPK.<br />
<br />
Ketiga, anak kalimat yang menyatakan, ”...menjadi tersangka tindak pidana kejahatan...” dalam pasal ini bersifat diskriminatif jika dibandingkan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberhentian terhadap pejabat publik yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tak ada pembatasan terkait tindak pidana kejahatan dalam pasal ini membawa konsekuensi tindak pidana kejahatan apa pun yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.<br />
<br />
Sebagai misal, kalau seorang pimpinan KPK tidak memberi makan hewan piaraannya secara wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 KUHP, dan kemudian dijadikan tersangka, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari pimpinan KPK karena Pasal 302 KUHP tersebut terdapat dalam Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana kejahatan meskipun hanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.<br />
<br />
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur secara rinci kualifikasi tindak pidana yang dapat digunakan untuk memberhentikan seorang presiden dan wakil presiden, yakni hanya tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Demikian pula ketentuan terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan anggota Komisi Yudisial yang diberhentikan karena melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Perbedaan lain juga jelas terlihat dalam UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan kepala daerah diberhentikan sementara jika yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. Perbedaan pengaturan demikian menunjukkan adanya diskriminasi karena tidak ada perlakuan yang sama di hadapan hukum.<br />
<br />
Seyogianya harus ada pembatasan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan. Lazimnya hanya sebatas tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia dan narkotika. Hal ini karena kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan luar biasa yang memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan internasional. Pembatasan lain juga dapat ditujukan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. Hal ini memperlihatkan tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut. Dalam konteks KUHP, tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 10 tahun adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan tindak pidana kejahatan terhadap nyawa.<br />
<br />
Keempat, diskriminasi lainnya adalah bahwa dalam pasal ini tidak diatur mengenai tindakan pemolisian. Hal ini berbeda dengan sejumlah ketentuan UU terkait tindakan pemolisian terhadap pejabat publik. Tindakan pemolisian terhadap hakim agung, hakim konstitusi, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan anggota Komisi Yudisial dilakukan dengan perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden. Prosedur yang demikian tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana.<br />
<br />
<b>Perlu ada pembatasan</b><br />
<br />
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap komisioner KPK yang akan datang, seyogianya Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 dibatasi dalam tiga hal. Pertama, tindak pidana kejahatan harus dipersempit hanya kejahatan korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran berat HAM, dan tindak pidana yang diancam pidana lebih dari 10 tahun penjara.<br />
<br />
Kedua, komisioner KPK diberhentikan sementara dari jabatannya jika yang bersangkutan sebagai tersangka terhadap tindak pidana kejahatan sebagaimana yang disebut di atas dan jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan dalam masa jabatannya.<br />
<br />
Ketiga, jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai komisioner KPK, maka proses hukum terhadapnya dilakukan setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai komisioner KPK. Hal ini dapat dilakukan dengan mekanisme rusten atau pembantaran daluwarsa dalam hukum pidana, dengan maksud agar yang bersangkutan masih tetap dapat diproses secara hukum setelah tidak lagi menjabat. Mekanisme rusten adalah untuk mencegah daluwarsanya penuntutan pidana dan tidak memberikan imunitas terhadap siapa pun.<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Eddy OS Hiariej; <i>Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM</i></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-54979102747435602522015-07-08T21:09:00.000+07:002015-07-08T21:09:06.784+07:00Mengukur Kapal Ikan<div style="text-align: center;">
<b>M RIZA DAMANIK</b></div>
<br />
"Bener nanging ora pener” (Benar tetapi tidak tepat), begitu kelakar seorang nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, mencermati perkembangan kebijakan perikanan Indonesia di era Poros Maritim.<br />
<br />
”Bener” dianalogikan sebagai sebuah terobosan baik dan orisinal dari Kabinet Kerja untuk membenahi tata kelola perikanan nasional, termasuk prestasi mengungkap maraknya praktik pengurangan tonase kapal ikan. Kapal-kapal itu di antaranya memiliki tonase di atas 60 GT, tetapi selama bertahun-tahun punya izin menangkap ikan dalam kapasitasnya kurang dari 30 GT. Temuan ini jadi salah satu dasar pemerintah tidak memperpanjang izin kapal-kapal tersebut.<br />
<br />
<a name='more'></a>Sementara ”ora pener” adalah akibat ketiadaan solusi komprehensif dari pemerintah untuk mengantarkan aktivitas perikanan rakyat beranjak dari persoalan menahun tadi.<br />
<br />
Hasil studi Badan Kebijakan Fiskal (2013) memperkirakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2014 dari sektor perikanan dapat mencapai Rp 1,52 triliun. Celakanya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, PNBP 2014 masih kurang dari Rp 250 miliar.<br />
<br />
Berdasarkan PP No 19/2006 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), diketahui sederet faktor penentu besar-kecilnya pungutan hasil perikanan. Berturut-turut: ukuran tonase kapal, jenis bahan, kekuatan mesin kapal, jenis alat penangkap ikan, jumlah trip operasi penangkapan ikan per tahun, kemampuan tangkap rata-rata per trip, dan wilayah penangkapan ikan. Itu sebabnya ketakakuratan ukuran tonase kapal ikan telah berdampak langsung terhadap rendahnya penerimaan negara dari tahun ke tahun.<br />
<br />
Tantangan lain justru disebabkan rendahnya alokasi izin kapal ikan yang tercatat di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). Merujuk KKP dalam Angka 2014, diketahui sebanyak 226.520 kapal atau lebih dari 98 persen dari total armada ikan Indonesia memegang izin operasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Sementara di ZEEI, jumlahnya hanya 4.230 kapal atau tak mencapai 2 persen. Persoalannya menjadi jauh lebih rumit setelah KKP melakukan uji petik.<br />
<br />
Hasilnya, 80 persen dari 226 sampel kapal ikan didapati melakukan manipulasi tonase kapal jadi kurang dari 30 GT. Temuan ini sekaligus memunculkan spekulasi baru: sekurang-kurangnya ada 6.000 kapal ikan Indonesia mengantongi izin dari pemerintah daerah, tetapi beroperasi di perairan ZEEI.<br />
<br />
<b>Komprehensif</b><br />
<br />
Penegakan hukum di laut berupa penangkapan hingga penenggelaman kapal pencuri ikan telah memberi penjelasan awal bahwa kita bukanlah bangsa pandir, yang terus-menerus membiarkan bangsa lain mencuri kekayaan ikannya, sementara nelayannya sendiri dibiarkan menonton dan miskin. Pengelolaan perikanan ke depan membutuhkan solusi komprehensif.<br />
<br />
Pertama dan paling utama, Kementerian Perhubungan perlu menuntaskan pengukuran ulang seluruh armada ikan nasional sebelum KKP mengalokasikan penambahan armada ataupun izin baru di perairan Indonesia. Khusus pada 2015, pemerintah dapat memberi insentif kepada pelaku usaha perikanan berupa pembebasan biaya pengukuran tonase kapal ikan, termasuk biaya perizinan penangkapan ikan. Diharapkan akurasi antara alokasi perizinan dengan ketersediaan sumber daya ikan dan target pendapatan negara jadi lebih baik; sejalan dengan tingginya partisipasi nelayan dan pelaku usaha mendaftarkan ulang kapalnya.<br />
<br />
Kedua, mentransformasikan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI jadi satuan Otoritas Pengelolaan Perikanan. Sebab, perairan Indonesia tidak saja luas, karakternya juga beragam dan dinamis. Otoritas ini nantinya dapat memberi pertimbangan periodik kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menentukan: alokasi izin penangkapan, jenis alat tangkap yang boleh digunakan, spesies dan volume ikan yang boleh ditangkap, hingga menyiapkan dan mengawal keberlanjutan sistem logistik ikan nasional. Karena itu, perlu ada wakil organisasi nelayan dan masyarakat adat, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah di dalamnya.<br />
<br />
Apabila keduanya disegerakan, pengelolaan perikanan Indonesia menjadi lebih berkelanjutan, kapal-kapal berbendera Merah-Putih semakin berdaulat, kesejahteraan nelayan kecil dan buruh perikanan berpeluang lebih baik, bahkan aksi pencurian ikan dengan mudah ditumpas.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
M Riza Damanik; <i>Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia</i></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-44593060431368952692015-07-08T21:00:00.000+07:002015-07-08T21:00:05.681+07:00Waspadai Pemerintah oleh Parlemen<div style="text-align: center;">
<b>W RIAWAN TJANDRA</b></div>
<br />
Diskursus dan tarik ulur penganggaran dana aspirasi oleh DPR dengan kisaran jumlah anggaran Rp 11,2 triliun, akumulasi dari jumlah alokasi anggaran untuk tiap anggotaDPR Rp 15-20 miliar per tahun, memperlihatkan adanya sejumlah paradoks dalam kebijakan penganggaran. Dana aspirasi telah mengubah konsep pemisahan kekuasaan (trias politica).<br />
<br />
Paradoks pertama terlihat dari landasan hukum tak memadai dalam usulan dana aspirasi. Kebijakan dana aspirasi akan menabrak sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mewajibkan mekanisme penganggaran harus melewati mekanisme perencanaan secara bottom up melalui musyawarah perencanaan pembangunan sejak dari desa, daerah (kabupaten/kota dan provinsi) yang berpuncak pada kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Teknis/Sektoral.<br />
<br />
<a name='more'></a>Alasan sebagian anggota DPR bahwa dana aspirasi memiliki landasan hukum adalah anggota DPR harus memperjuangkan kepentingan daerah pemilihan masing-masing sebagaimana diatur dalam UU No 17/2014 tentang MD3, jelas telah menginterpretasikan UU secara salah.<br />
<br />
Interpretasi atas perjuangan dapil dalam UU MD3 harus dikembalikan kepada tiga fungsi DPR di ranah legislasi, penganggaran, dan pengawasan, yang tentunya salah jika diartikan bahwa untuk setiap anggota DPRD harus disediakan plafon khusus dalam APBN untuk bisa menginstruksikan eksekutif agar melaksanakan program tertentu dengan komando anggota legislatif atas nama perjuangan dapil.<br />
<br />
Di titik tersebut interpretasi secara salah mengenai kewenangan anggota legislatif itu sekaligus bisa menabrak dua kewenangan organ negara lain, yaitu eksekutif dan DPD.Kewenangan eksekutif ditabrak karena anggota DPR seolah-olah atas nama perjuangan dapil bisa mengintervensi program/kegiatan pemerintah/pemda yang sudah ditetapkan melalui mekanisme musrenbang.<br />
<br />
<b>Pergeseran pemerintahan</b><br />
<br />
Di sinilah sejatinya telah terjadi pergeseran teori trias politica dengan terjadinya pemerintahan oleh parlemen (governing by parliament) yang mengubah konstelasi ketatanegaraan pengawas politik menjadi pemain. Hal ini bisa mengacaukan struktur ketatanegaraan dan sistem pengawasan terhadap pemerintah yang membuka celah terjadinya kolusi serta banalisasi korupsi berjemaah karena sang pengawas (baca legislatif) melebur dengan yang diawasi (baca eksekutif).<br />
<br />
Kebijakan penganggaran dana aspirasi dengan mengatasnamakan dapil juga bisa mengacaukan konsep pembagian kekuasaan di tubuh MPR, antara DPR dan DPD. DPR telah menggerogoti wilayah kewenangan DPD dengan menembus batas yurisdiksi kekuasaan yang semestinya menjadi arena perwakilan DPD.<br />
<br />
Di sisi lain, juga akan berbenturan dengan wilayah kewenangan DPRD yang dalam UU MD3 dan UU Pemda diatur untuk mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah dalam kebijakan di setiap daerah. Dengan demikian, hal tersebut juga berpotensi mengganggu pelaksanaan otonomi daerah dan menimbulkan kekacauan kebijakan, administrasi ataupun penganggaran di setiap daerah.<br />
<br />
Paradoks kedua dari kebijakan dana aspirasi adalah adanya modifikasi praktik-praktik buruk Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) ataupun Dana Percepatan Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPPID) yang sejatinya merupakan legalisasi permainan politik ”gentong babi” (pork barrel politics). Pada masa lalu, permainan ini telah menyeret sejumlah oknum di DPR dan eksekutif akibat penggunaan dana yang membuka celah praktik-praktik kolusi dan korupsi yang masif.<br />
<br />
Jika semula DPID/DPPID itu hanya disandarkan pada kerangka hukum (legal framework) Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), kini justru akan dilegalisasi dalam UU APBN. Akibatnya, yang terjadi sesungguhnya adalah legalisasi atas praktik-praktik pork barrel politics yang menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan dilarang di berbagai negara lain.<br />
<br />
Di AS, politik gentong babi akhirnya dengan tegas dilarang setelah digunakan pada 1817 dalam Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison.<br />
<br />
Tahun 1931, di AS juga akan diterapkan Bill Bonus kedua atas desakan para veteran yang tergabung dalam American Legion dan Veterans of Foreign Wars untuk membayar kompensasi kepada mereka yang berjuang pada Perang Dunia I. Desakan itu mendapat dukungan anggota Kongres dari Texas, John Wright Patman. Pada 1932, Patman memperkenalkan Veteran’s Bonus Bill. Tentangan Presiden Herbert Hoover akhirnya menggagalkan usaha Patman. Hal itulah yang menginspirasi pelarangan praktik politik gentong babi di negeri Paman Sam tersebut.<br />
<br />
Kebijakan mirip dana aspirasi yang disebut dengan praktik ”gentong babi” juga disebut patronage (patronase). Di Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut election pork atau “babi pemilihan”, di mana para politisi mengumbar janji-janji sebelum pemilihan berlangsung.<br />
<br />
Di Finlandia disebut ”politik gorong-gorong” yang digunakan oleh para politisi nasional berkonsentrasi pada masalah-masalah lokal. Romania menyebutnya ”sedekah pemilihan”. Sementara di Polandia disebut ”sosis pemilu”. Pada prinsipnya, praktik-praktik politik gentong babi itu yang di Indonesia akan diperkenalkan sebagai dana aspirasi itu bisa merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan sekaligus mengacaukan sistem ketatanegaraan.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
W Riawan Tjandra; <i>Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta</i></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-8412494142788841622015-07-08T20:36:00.004+07:002015-07-08T20:36:53.087+07:00Gelembung Politik DPR<div style="text-align: center;">
<b>GUN GUN HERYANTO</b></div>
<br />
Ruang politik kita akhir-akhir ini disesaki sejumlah isu yang memantik nalar kritis publik atas peran kelompok elite politisi berlabel wakil rakyat.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiF5-tGxs5ZR53la8JTgVaelbZNNFnEBl8Y7mmXcYOtliTcmnzuHgExWjW_yhg9C2jqndFPXy7h6Bj5aJ34CY7ocY5JAXV2UxgiVZIspPF-_5_Wy8j1pxlSxQCMW2-bK6DVE6vlqod7NA8z/s1600/gelembung-politik-DPR-opini-kompas.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiF5-tGxs5ZR53la8JTgVaelbZNNFnEBl8Y7mmXcYOtliTcmnzuHgExWjW_yhg9C2jqndFPXy7h6Bj5aJ34CY7ocY5JAXV2UxgiVZIspPF-_5_Wy8j1pxlSxQCMW2-bK6DVE6vlqod7NA8z/s200/gelembung-politik-DPR-opini-kompas.jpg" width="166" /></a></div>
Utak-atik revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi menjadi pintu masuk pelemahan KPK, akal nakal penggelontoran dana aspirasi, dan manuver liar tekanan politik kepada KPU soal kesiapan menggelar pilkada serentak yang dikait-kaitkan dengan hasil audit BPK. Meski beragam isu itu memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, benang merahnya sama, prinsip bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum tersisihkan. Inilah deretan gelembung isu politik yang ditiupkan DPR dan kini menjadi perhatian publik. Secara substansial, publik tak memperoleh kemanfaatan nyata dari isu-isu yang berhamburan itu. Wajar jika banyak yang menilai, DPR berjalan dengan logika dan kepentingannya sendiri.<br />
<b></b><br />
<a name='more'></a><b>Watak hegemonik</b><br />
<br />
Gelembung politik di DPR menghadirkan sejumlah kontradiksi. Penentangan datang dari berbagai kalangan terutama menyangkut logika dan pertimbangan sehat di balik isu dan manuver para politisi itu. Soal revisi UU KPK, ada lima poin yang dikhawatirkan, soal pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas KPK, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan kewenangan menghentikan perkara (SP3).<br />
<br />
Soal usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi, muncul sejumlah gugatan terutama terkait mekanisme penganggaran, aspek keadilan dan pemerataan, tumpang tindih peran dan kewenangan, serta akuntabilitas publik pelaksanaan anggaran. Demikian juga dengan isu soal temuan audit BPK atas pengelolaan anggaran KPU 2013- 2014. Tak ada hubungannya antara temuan BPK itu dan tahapan pilkada serentak.<br />
<br />
Kenyataannya, beberapa politisi DPR menggulirkan pernyataan di media massa yang menyudutkan KPU. Menurut mereka, kesiapan menyelenggarakan pilkada serentak bisa saja terganggu jika KPU belum menindaklanjuti temuan BPK. Logika liar yang seolah sedang menyatukan puzzle berbeda dalam dialektika kontekstual yang seolah-olah ada hubungannya.<br />
<br />
Gelembung isu ini menunjukkan lemahnya koherensi karakterologis dalam membangun narasi politik. Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher di bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Wajar kecurigaan publik terhadap politisi DPR teramat tinggi karena ada benang merah yang terbaca atau terasa sama. Banyak politisi yang jadi aktor lebih sering menunjukkan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat.<br />
<br />
Saat ini, ada kecenderungan terjadinya retrogresi politik atau penurunan kualitas politik yang disebabkan ulah politisi yang bekerja dengan mekanisme semata-mata mendapatkan jatah kekuasaan. Selain soal jatah, ada juga mekanisme pertahanan diri dan pengokohan oligarki di tubuh parpol. Semua ini merupakan watak hegemonik laku politik kaum elite. Politisi DPR sebagai wakil rakyat seharusnya menghadirkan komunikasi deliberatif dengan menyodorkan konsultasi, musyawarah, proses menimbang-nimbang dan terpenting lagi mendengarkan suara rakyat melalui beragam kanal. Komunikasi deliberatif berupaya meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam menyalurkan aspirasinya saat proses pembentukan kebijakan publik.<br />
<br />
Deliberasi lewat diskursus publik ini jalan tepat guna merealisasikan konsep demokrasi regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Dengan demikian, ada kemauan dan kemampuan membentuk konsensus berbasis rasionalitas warga. Bukan sebaliknya, mereka meniup terus-menerus gelembung politik, sementara pilihan logika dan tindakannya tercerabut dari aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.<br />
<br />
<b>Resonansi isu</b><br />
<br />
Dalam perspektif komunikasi politik, guliran isu harus dibaca dialektika kontekstualnya. Hal ini, terhubung dengan momentum yang memang sengaja diciptakan agar mendapat resonansi atau gaung di media massa, media sosial dan perbincangan publik lainnya. Gaung politik yang ditiupkan lewat media massa bahwa revisi UU No 30/2002 tentang KPK merupakan kebutuhan mendesak sehingga harus masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, usulan dana aspirasi yang dikesankan prorakyat, serta memengaruhi opini soal kesiapan KPU menyelenggarakan pilkada serentak, bisa kita maknai sebagai permainan opini publik.<br />
<br />
Sebagian besar politisi sangat paham bahwa hal dominan dalam politik adalah persepsi publik, sehingga beragam operasi mengendalikan opini dianggap sangat penting. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka ”The Agenda Setting Function of Mass Media” yang dipublikasikan Public Opinion Quarterly pada 1972 mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.<br />
<br />
Perspektif agenda setting memandang media massa bisa memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Namun, nyatanya, upaya para politisi melakukan operasi pengendalian opini telah gagal! Reaksi publik tetap keras dan memandang ketiga agenda tadi sesungguhnya tak dalam bingkai prorakyat melainkan strategi mengamankan diri dan kelompok mereka semata. Konteks lain yang juga menarik dibaca adalah situasi transisi pemerintahan. Secara faktual, pergantian rezim kekuasaan dari SBY ke Jokowi masih menyisakan sejumlah persoalan. Pemerintahan Jokowi-JK belum sampai di titik keseimbangan politiknya. Meski sudah melewati fase turbulensi saat tinggal landas Kabinet Kerja, Jokowi masih dihadapkan sejumlah tekanan elite partai di dalam dan di luar koalisi.<br />
<br />
Para politisi sangat paham, situasi acak seperti sekarang, memungkinkan mereka memasang sejumlah jerat politik atas nama konsensus. Tesis Arend Lijhart dalam Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan, realitas masyarakat majemuk yang tak ada partai dominannya, cenderung menggunakan demokrasi model konsensus. Jeratan konsensus di banyak kasus, selain politik akomodasi dalam koalisi juga upaya menciptakan zona nyaman kekuasaan. Prinsip ”semua senang, semua menang” menyebabkan pemerintah tersandera politisi.<br />
<br />
Akankah Jokowi mengikuti irama yang didendangkan DPR? Inilah ujian nyata sekaligus pertaruhan kepemimpinan Jokowi. Posisi pemerintah sangat strategis. Jika Jokowi tak mengeluarkan surat yang isinya menugaskan menteri terkait membahas UU tentang KPK dengan DPR, revisi UU itu tak bisa dibahas meski sudah disetujui DPR dalam rapat paripurna. Jokowi harus konsisten dengan pernyataannya yang menolak rencana revisi UU KPK. Demikian juga soal dana aspirasi. Pemerintah masih mungkin menolak dengan tak mengakomodasi program ini dalam APBN 2016.<br />
<br />
Sesuai dengan sifatnya, gelembung selalu menampakkan banyak isu yang seolah-olah realitas nyata. Saat kita serius menggapainya, gelembung itu sirna, pecah dalam tempo sesaat atau berganti dengan tiupan gelembung lain yang lebih besar. Butuh ketepatan dan kecermatan memilah antara kebijakan prorakyat dan gelembung politik para politisi.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Gun Gun heryanto; <i>Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-7902432613332076432015-07-05T01:52:00.000+07:002015-07-05T01:52:02.292+07:00Barcelona-Montserrat<div style="text-align: center;">
<b>BRE REDANA</b></div>
<br />
Tak terbayangkan Barcelona tanpa Antoni Gaudi. Karya- karya peninggalan arsitek besar yang tersebar di seluruh kota itulah yang menjadikan Barcelona berbeda dibandingkan kota-kota lain di Eropa. Tidak sanggup menemukan superlatif untuk menggambarkan kebesaran Gaudi. Melihat karya-karyanya, antara lain Sagrada Familia, menjadi optimistis bahwa media cetak tidak akan pernah mati oleh desakan media digital.<br />
<br />
Apa hubungan arsitektur dengan media cetak?<br />
<br />
<a name='more'></a>Pertanyaan di atas pernah dilontarkan Victor Hugo lewat mulut tokoh dalam novelnya, <i>The Hunchback of Notre-Dame</i>. Dengan temuan buku pada zamannya, akankah intelek manusia bakal meninggalkan arsitektur? Maksudnya kira-kira, kalau ada media yang lebih gampang, yakni kertas, tinta, pena, mengapa harus bersusah payah menumpuk-numpuk batu menjadi katedral? Ini soal ekspresi kepercayaan. Katedral adalah ”kitab suci dari batu”.<br />
<br />
Ternyata, hubungan manusia dengan ruang tak bisa digantikan dengan gagasan belaka. Arsitektur menjadikan ruang sebagai hal konkret. Pada era modern di akhir abad ke-19/awal abad ke-20, Gaudi membangun Sagrada Familia. Sampai sekarang, setiap hari ribuan turis mengagumi gereja yang menakjubkan ini: wujud gagasan modernisme untuk memuliakan Ilahi.<br />
<br />
Gaudi tidak hanya membangun penanda pusat kota bernama Sagrada Familia. Ia membangun rumah-rumah pribadi, taman, ruang publik, dan lain-lain. Rumah pribadi paling mengesankan adalah Casa Batllo, yang kini dibuka untuk umum. Banyak yang menyebut, puncak kematangan Gaudi terwujud pada Casa Batllo.<br />
<br />
Di situ bisa dianggap terjawab teka-teki yang diajukan Hugo. Arsitektur tidak merana ditinggalkan perkembangan teks. Intensitas dan krida fisik dalam penciptaan karya arsitektur tak bisa digantikan hanya dengan otak-atik teks. Proses yang menuntut totalitas ekspresi diri, dari gagasan, krida fisik, sampai spiritualitas, telah melahirkan produk yang tahan terhadap gerusan zaman. Makin hari, karya Gaudi, seperti Candi Prambanan, bahkan tampak makin indah dan terlihat superioritasnya.<br />
<br />
Karena apa? Karena intensitas penciptaan dan dimensi spiritualitas tadi. Teks, buku, media cetak kiranya akan mengalami perkembangan sama seperti mereka. Dunia virtual dari teknologi digital tak akan mampu menggantikan sesuatu yang konkret, berdarah-daging, apalagi kalau di situ terdapat dimensi spiritualitas.<br />
<br />
Beruntung mendapat undangan dari pelukis kontemporer asal Irlandia, Sean Scully. Ia mengadakan jamuan makan malam untuk kalangan terbatas di Casa Batllo pekan lalu. Selain di Barcelona, Scully memiliki beberapa studio, termasuk di New York dan Muenchen.<br />
<br />
Tertarik pada Zen, mengenai tempat berkarya dan tempat tinggal yang ada di mana-mana ia berujar, justru karena di mana-mana ia merasa tidak di mana-mana. Kadang keterpautannya dengan suatu tempat terjadi begitu saja.<br />
<br />
Dengan Barcelona ia memiliki hubungan emosional cukup mendalam karena persahabatannya dengan seorang padri dari sebuah gereja tua di Montserrat. Montserrat sendiri daerah luar biasa indah, berbukit-bukit di ketinggian sekitar 1.250 meter di atas permukaan laut. Hawanya panas dan kering. Menjadi ingat soprano Montserrat Caballe, yang dulu suaranya pernah dipuji oleh vokalis Queen, Freddie Mercury, sebagai terbaik di dunia.<br />
<br />
Di Montserrat, Scully membantu sang padri sahabatnya, merestorasi gereja yang cantik peninggalan abad ke-10, gereja Santa Cecilia. Inilah sebuah proyek yang coba menyatukan kedalaman spiritualitas, peninggalan sejarah, dan semangat modernisme. Hasilnya: Santa Cecilia bisa menjadi contoh di dunia sebagai produk pertemuan antara agama—dalam hal ini Katolik—dengan semangat modernisme, semangat seni avant garde.<br />
<br />
Ah, di depan altar gereja Santa Cecilia jadi ingin berlutut sembari mengucap: dalam modernisme kumuliakan nama-Mu.Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-65164719202124288552015-07-04T01:47:00.000+07:002015-07-05T01:47:40.548+07:00Mentahnya Pembatasan Dinasti Politik<div style="text-align: center;">
<span style="font-weight: bold;">FADLI RAMADHANIL</span></div>
<br />
Semangat pembatasan praktik dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah hampir dipastikan akan mentah. Hal ini menyusul dikeluarkannya Surat Edaran No 302/KPU/VI/2015 perihal penjelasan beberapa aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah.<br />
<br />
Ada beberpa butir penting di dalam surat edaran (SE) tersebut yang justru kontraproduktif dengan semangat pembatasan praktik politik dinasti yang diusung di dalam UU No 8/2015. Meskipun UU ini mempunyai kelemahan dalam substansi terkait pengaturan hubungan bakal calon dengan petahana, setidaknya KPU tidak memberikan tafsiran lain kepada ketentuan ini, yang berpotensi besar menyebabkan pengaturan petahana tidak bisa diterapkan dalam pilkada mendatang.<br />
<b></b><br />
<a name='more'></a><b>Regulasi tumpul</b><br />
<br />
Adanya ketentuan yang coba mengatur jadwal pencalonan kepala daerah bagi petahana dengan keluarganya, tentu saja berbasiskan keinginan untuk menciptakan iklim demokrasi yang lebih sehat di daerah. Apa yang terjadi di Banten dan Bangkalan, Madura, misalnya, tentu menjadi pembelajaran bahwa dibutuhkan mekanisme dan sistem pencalonan kepala daerah yang lebih seimbang. Petahana yang memiliki akses yang lebih leluasa terhadap apa pun, telah menciptakan praktik dinasti politik di daerah.<br />
<br />
Namun, dengan terbitnya SE KPU No 302/KPU/VI/2015, pengaturan pencalonan kepala daerah untuk keluarga petahana akan menjadi ketentuan tumpul yang tak berguna. Dalam SE tersebut, KPU menyebutkan, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran, dan berhalangan tetap sebelum masa jabatan berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak termasuk dengan pengertian petahana yang dimaksud KPU dalam peraturannya.<br />
<br />
Artinya, jika petahana mengambil langkah atau berada dalam kondisi yang disebut di dalam SE KPU, maka tidak ada halangan untuk keluarga petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah di jabatan yang sama. Dengan batas penalaran yang wajar, bentangan aturan yang muncul di atas akan sangat mudah untuk diakali oleh bakal calon kepala daerah yang "sempat" terhalang dengan adanya larangan mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.<br />
<br />
Langkah yang paling mudah untuk dilakukan tentu mengundurkan diri sebelum tahapan pelaksanaan pilkada sampai pada masa pendaftaran pasangan calon. Jika merujuk tahapan pelaksanaan pilkada yang disusun KPU, pendaftaran pasangan calon dilaksanakan pada 26-28 Juli 2015. Jika berandai secara sederhana, kalaupun 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada 2015 terdapat bakal calon yang terhalang dengan ketentuan konflik kepentingan dengan petahana, sangat mudah untuk disikapi dengan mengundurkan diri sebelum 26 Juli 2015.<br />
<br />
Meski di dalam SE tersebut juga diwajibkan adanya surat keputusan pemberhentian dari instansi yang berwenang terhadap kepala daerah yang mengundurkan diri, tetapi semangat pengaturan untuk menghindari munculnya dinasti politik di daerah sudah mendekati kelumpuhan. Hal lain, adanya frasa di dalam SE KPU yang "mementahkan" pembatasan dinasti politik adalah, persyaratan untuk tidak punya konflik kepentingan dengan petahana, tidak berlaku bagi calon kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran pasangan calon.<br />
<br />
Artinya, bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya sebelum 26 Juli 2015, tidak dapat dijangkau dengan pengaturan konflik kepentingan dengan petahana. Jika merujuk data 269 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, seperti dilansir KPU, maka 22 daerah dipastikan "terbebas" dari pengaturan konflik kepentingan dengan petahana karena masa jabatannya habis sebelum 26 Juli 2015. Masing- masing terdiri dari dua daerah provinsi, dua daerah kota, dan 18 daerah kabupaten.<br />
<b><br /></b>
<b>Persoalan sejak awal</b><br />
<br />
Potensi mentahnya pengaturan konflik kepentingan dengan petahana ini tidak berdiri sendiri. SE KPU yang diterbitkan untuk menjelaskan PKPU No 9/2015 merupakan konsekuensi sempitnya definisi petahana yang diinginkan DPR kala pembahasan PKPU No 9/2015.<br />
<br />
Kalau memang ingin sungguh mengatur praktik dinasti politik, hal-hal prinsip semestinya diatur jelas di tingkat UU. Misalnya, soal definisi petahana. Dalam kondisi masa jabatan kepala daerah yang masih tidak bersamaan, DPR dan pemerintah haruslah mampu merumuskan norma yang dapat mengatur hal tersebut dalam pengaturan petahana.<br />
<br />
Hal penting lainnya yang mesti diatur pada tingkat UU adalah batasan dan kondisi di mana seorang kepala daerah bisa gugur identitas petahana atas dirinya. Salah satu keadaan yang mesti diatur adalah ketika seorang kepala daerah meninggal dunia atau keadaan yang membuat yang bersangkutan berhalangan tetap lainnya. Rumusan ini tentunya juga mesti disinkronkan dengan pengaturan di UU pemda yang detail mengatur terkait masa jabatan kepala daerah.<br />
<br />
Jawaban atas persoalan tersebut sebenarnya dapat disandarkan pada Mahkamah Konstitusi. Proses uji materi terkait ketentuan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 terkait dengan petahana sudah memasuki tahapan akhir pemeriksaan di MK. Sebaiknya MK segera memutuskan persoalan ini. Kita tentu berharap, putusan MK nantinya mampu menjelaskan pentingnya prinsip pengaturan konflik kepentingan dengan petahana.<br />
<br />
Lebih dari itu, putusan MK juga diharapkan mampu secara mendalam memberikan jawaban atas kebutuhan pengaturan dan batasan dalam ketentuan bahwa bakal calon kepala daerah disyaratkan tidak punya konflik kepentingan dengan petahana.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Fadli Ramadhanil; <i>Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-66088568807741956732015-07-04T01:42:00.000+07:002015-07-05T01:42:43.257+07:00Bulan Evaluasi dan Prestasi<div style="text-align: center;">
<span style="font-weight: bold;">ABD A'LA </span></div>
<br />
Sudah beberapa hari kita umat Islam menjalani puasa. Agar puasa kita benar-benar bermakna bagi kita, bagi sesama, bahkan bagi kehidupan, dan juga mudah-mudahan diterima menjadi ibadah oleh Sang Pencipta, Allah SWT, sebaiknya kita mencoba menyegarkan kembali inti dari ibadah puasa.<br />
<br />
Inti puasa adalah melaksanakan, memaknai ibadah, dan melabuhkannya dalam kehidupan nyata dalam berbagai aspeknya; individual sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Pada sisi ini, manakala setiap Muslim yang berpuasa sudah tidak makan minum dan sejenisnya di siang hari, padahal tidak ada seorang pun yang tahu seandainya ia mencuri-curi makan atau minum, maka ia sejatinya telah bertekad bulat mengembangkan kejujuran dan ketulusan.<br />
<br />
<a name='more'></a><b>Upaya penguatan</b><br />
<br />
Kejujuran akan menjadi bagian intrinsik dari karakter diri manakala ibadah-ibadah yang dilakukan dikembangkan sebagai media untuk berdialog dengan Allah. Karena itu, setiap Muslim yang berpuasa niscaya menghadirkan Allah di setiap ibadah yang dilakukan. Melalui kehadiran Allah dan disaksikan oleh Allah, ia melakukan muhasabatus nafs, refleksi diri, menelanjangi diri sendiri. Ia mutlak mengakui kekeliruan, kesalahan, kelemahan, dan kekurangan diri; dan pada saat yang sama berkomitmen untuk berusaha keras guna mengeliminasi kekurangan itu.<br />
<br />
Pada sisi itu, ia tentu harus mengedepankan ketulusan. Tanpa ketulusan, semua yang akan dilakukan pasti berujung hanya kepada kepura-puraan, bahkan hipokrisi. Ketulusan menuntut kesungguhan dalam berbagai aspeknya, dari intensi, proses, hingga pelaksanaan. Ketulusan merupakan manifestasi dari komitmen total diri untuk melakukan yang terbaik. Ketulusan adalah sisi lain dari mata uang yang sama yang disebut prestasi.<br />
<br />
Dengan berpijak pada kejujuran dan ketulusan itu, setiap Muslim yang berpuasa sejatinya sedang melakukan ikrar diri, siap menjadi khalifah Tuhan yang diberi amanah menjadikan kehidupan dunia sebagai bayang-bayang surgawi; kehidupan bermoral yang merepresentasikan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, kesejukan, dan kelestarian lingkungan hidup yang dapat dinikmati seluruh umat manusia.<br />
<br />
Melalui puasa hakiki semacam itu, setiap Muslim-apa pun jabatannya, dan apa pun pekerjaannya-dituntut untuk menjadikan prestasi sebagai orientasinya, serta kreativitas dan inovasi sebagai pola kinerjanya. Semua itu diabdikan semata-mata untuk Tuhan melalui amanah yang diembankan kepadanya, entah lembaga, perusahaan, keluarga, dan masyarakat<br />
<br />
<b>Bulan prestasi</b><br />
<br />
Bulan puasa adalah bulan pengembangan prestasi. Umat Islam harus melakukan yang terbaik bukan hanya kepada Tuhan, melainkan juga kepada sesama, kehidupan dan lingkungan hidup. Di dalam keluarga, di kantor, di masyarakat luas, fenomena dan substansi semacam itu yang senyatanya harus tampak dan berlabuh kokoh.<br />
<br />
Lebih dari itu, prestasi yang dicapai saat ini harus secara berkelanjutan dikembangkan dan diperkuat dari saat ke saat. Dengan demikian, ada komitmen dari setiap umat Islam untuk menjadikan ibadah ritual dan ibadah sosial pada bulan-bulan setelah bulan puasa ini harus lebih baik dari bulan-bulan sebelum bulan Ramadhan tahun ini. Demikian pula, peningkatan prestasi pada puasa Ramadhan tahun depan dengan implikasi yang mengiringinya harus lebih baik dari tahun ini.<br />
<br />
Namun, pertanyaan yang tersisa, apakah realitas keberpuasaan kita, umat Islam, sudah berada pada posisi itu? Jika belum, kita perlu khawatir jangan-jangan puasa kita berlabuh kepada kesia-siaan. Bahkan jika melalui puasa dan juga ibadah yang lain belum bisa mendorong kita untuk terus-menerus melakukan kebaikan dan perbaikan diri, jangan-jangan kita beragama sekadar sebagai tameng, penutup diri, dari kebejatan kita. Kita beragama bukan untuk menjadikan kita dewasa, dan bermoral luhur, tetapi sekadar untuk mendukung kepentingan sempit dan pragmatis kita.<br />
<br />
Melihat fenomena yang berkembang saat ini, tampaknya keberpuasaan kita secara umum masih belum mencapai makna hakiki puasa. Tentu tidak ada kata terlambat mulai; dan sekarang saatnya untuk mulai, bukan besok atau lusa, apalagi tahun depan.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Abd A'la; <i>Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-27663524169407490942015-07-04T01:35:00.000+07:002015-07-05T01:36:40.161+07:00Tindak Pidana Komisioner KPK<div style="text-align: center;">
<b>ZAINAL ARIFIN MOCHTAR</b></div>
<br />
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat aturan Pasal 32 Ayat 2 yang mengatur, "Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya".<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3ld2nISgcN7ZGDaWhc6Hbk1pAn6KWOSzrWc6Y33xXk6iJNDSxkBouycq8QTVRLxU-_5vaqKc9339wuPY5pjkWaQC1A6qf6TUrxHK7g5UptP9ftQchqdb5HOJ38Yw6rEMT9QQfg99qe2IA/s1600/kom+kpk.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3ld2nISgcN7ZGDaWhc6Hbk1pAn6KWOSzrWc6Y33xXk6iJNDSxkBouycq8QTVRLxU-_5vaqKc9339wuPY5pjkWaQC1A6qf6TUrxHK7g5UptP9ftQchqdb5HOJ38Yw6rEMT9QQfg99qe2IA/s200/kom+kpk.jpg" width="200" /></a></div>
Hal ini pulalah yang dikenakan kepada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberhentikan karena menjadi tersangka dalam tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Pasal ini memang menarik. Jauh berbeda daripada lembaga lain dalam hal pemberhentian dan kaitannya dengan model praduga tak bersalah, KPK tentu lebih ketat dalam hal ini. Secara historik, sulit menegasikan bahwa pasal itu dicantumkan karena adanya keinginan mendapatkan komisioner KPK yang bersih sebersih-bersihnya, sehingga dengan sendirinya hal ini menempatkan marwah KPK menjadi sangat kuat dan tinggi. Artinya, aturan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK adalah dalam rangka menjaga KPK melaksanakan tugas dan fungsi KPK itu sendiri.<br />
<br />
<a name='more'></a>Problemnya, apa yang dibayangkan pembentuk UU ketika membentuk aturan itu adalah dalam konsep penegakan hukum normal, yakni ketika semua proses penegakan hukum hadir melalui proses hukum yang benar dan bukan proses yang diada- adakan. Sering kali, dengan mudah seseorang ditetapkan menjadi tersangka dengan bukti yang terekayasa, tak sempurna atau dicari-cari, bahkan bukti tidak lengkap sekalipun, hanya berdasar pada mekanisme penegakan hukum pidana memiliki "rem darurat" yang dapat digunakan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3).<br />
<br />
Bayangan tak normal tersebut tidaklah terbayangkan dalam pembentukan UU KPK. Sepanjang pembacaan atas risalah UU KPK, sama sekali tidak terdapat pembahasan mendetail mengenai hal tersebut. Hanya selalu disandarkan pada keinginan bahwa orang yang berada di KPK adalah orang yang terjaga kapasitas dan integritasnya.<br />
<br />
Padahal, di tengah beragamnya ketentuan pelanggaran pidana-mulai dari yang serius hingga sangat sepele, praktik penegakan hukum yang sering kali keliru, maupun mudahnya untuk mendalilkan bahwa ada prinsip korektif SP3-membuat sangat mungkin terjadinya penetapan tersangka atas pimpinan KPK yang berujung pada dihentikan sementaranya seorang pimpinan KPK.<br />
<br />
Jangan dilupakan, ada begitu banyak ancaman pidana yang tersebar di berbagai UU. Baik yang sangat berat maupun yang sangat sepele. Dalam sebuah pandangan, jumlahnya dapat mencapai kira-kira 6.000-an. Itu baru di UU, belum lagi yang berasal dari sekian banyak peraturan daerah yang juga mencantumkan pasal-pasal mengenai ancaman pidana. Jumlah yang besar dan gejala penegakan hukum yang tak normal tentu menjadi padanan meyakinkan untuk mengatakan mudahnya penersangkaan.<br />
<br />
<b>Implikasi pemberhentian</b><br />
<br />
Mudahnya terjadi penghentian sementara ini akan membuat kerepotan tersendiri akibat UU KPK yang tidak mengatur berbagai hal lain berkaitan dengan pemberhentian sementara. Misalnya dalam hal KPK terpaksa kekurangan pimpinan akibat pemberhentian secara bersamaan, maka dengan seketika terpaksa dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), seperti yang sudah terjadi belakangan ini. Bahkan turunan dari itu juga tidak diatur dengan detail. Dalam posisi berhenti sementara, apakah aturan-aturan mengenai larangan etik dan sebagainya tetap terkena pada pimpinan yang sedang berhenti sementara ini?<br />
<br />
Belum lagi gejala turut campur presiden melalui Perppu pun seharusnya dapat dihindari, mengingat praktik Perppu yang sering kali jauh dari kesan hukum, tetapi lebih terkesan politik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Perppu pengisian sementara jabatan pimpinan KPK karena pimpinan kurang dari tiga orang yang saat ini terjadi.<br />
<br />
Problemnya adalah penegasian usia 65 tahun pemilihan pimpinan KPK sementara dalam Perppu tersebut. Tentu pertanyaan mendasar secara ketatanegaraan adalah hal ihwal kegentingan memaksa apa yang terjadi sehingga usia 65 pun juga harus dikesampingkan?<br />
<br />
Akan tetapi, karena lagi-lagi ini adalah soal politik dan sering kali bukan hukum, maka ada saja penerimaan terhadap praktik pengeluaran Perppu semacam ini. Bahkan ketika tak ada alasan obyektif yang bisa membenarkan kenapa usia di atas 65 tahun tetap diperbolehkan mengisi jabatan pimpinan KPK, tetap saja tak ada problem di DPR. Gejala ikut campur politik ini sangat berbahaya.<br />
<br />
Jeremy Pope sudah mengingatkan bahwa wewenang memberhentikan untuk sementara harus dalam kaitan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Namun, wewenang ini mudah sekali disalahgunakan. Lebih lanjut, kata Pope, "Kita dapat membayangkan sebuah skenario di masa depan, kepala badan anti korupsi mungkin diberhentikan sementara oleh presiden semata-mata karena ia menyelidiki tuduhan-tuduhan yang dapat memalukannya dari sisi politik. Karena itu, harus selalu ada pembatasan yang jelas."<br />
<br />
Apa yang dinyatakan Pope sesungguhnya adalah adanya kemungkinan distingsi antara keinginan menegakkan integritas dengan bayangan penegakan hukum yang normal dengan fakta bahwa adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh akibat penegakan hukum yang tak normal. Kelihatannya, analisis Pope menemukan kontekstualitasnya di Indonesia.<br />
<br />
<b>Pentingnya perlindungan</b><br />
<br />
Dalam hal ini penting dilakukan perlindungan atas pimpinan KPK dari kemungkinan tersebut. Di tengah kondisi hukum yang sering kali tak normal, penguatan marwah KPK tidak bisa hanya dengan menegakkan integritas KPK sekuatnya, tetapi juga memberikan perlindungan yang memadai bagi KPK.<br />
<br />
Upaya penindakan, apalagi terhadap pemegang wilayah kekuasaan, tentu lebih mudah mendapatkan perlawanan. Hongkong 1974, memberikan gambaran demo besar penentangan atas pendirian Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang dilakukan para polisi. Bahkan dengan kekerasan, karena ICAC dianggap sebagai musuh bagi siapa pun yang merasa terancam kehadirannya.<br />
<br />
Nigeria juga mengenal Nuhu Ribadu, seorang kepala dari Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) sejak 2003 dengan rekam jejak mengagumkan. Namun, ia berakhir menyedihkan setelah mengejar seorang politisi senior berpengaruh kuat dengan tuduhan korupsi. Ia akhirnya terlempar dari jabatannya dengan dituduh berbagai kejahatan, bahkan terancam percobaan pembunuhan. Ia pun terpaksa "melarikan diri" ke Inggris di awal 2009.<br />
<br />
Apa yang terjadi saat ini adalah fragmen yang sama, meski dengan judul berbeda, dengan apa yang terjadi di Hongkong dan Nigeria. Karena itu, merancang perlindungan menjadi penting, seperti berbagai prinsip internasional dan pengalaman di beberapa negara yang telah melakukan perlindungan atas pimpinan dan pekerja pada lembaga anti korupsi.<br />
<br />
Kini, Pasal 32 Ayat 2 tersebut tengah diuji di MKoleh Bambang Widjojanto.Perlu dipikirkan dengan tegas oleh MK bahwa inilah saatnya ancaman "kriminalisasi" bagi pimpinan KPK harus dihentikan. Tak boleh lagi dibiarkan ada jilid-jilid kriminalisasi berikutnya hanya karena KPK sedang melakukan penegakan hukum anti korupsi.<br />
<br />
MK sendiri pernah membangun prinsip constitutionally important kelembagaan KPK yang diuji berkali-kali dan dinyatakan tidak tepat secara ketatanegaraan, sebagaimana diyatakan dalam Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006. KPK sangat penting secara konstitusional. Artinya, sangat mungkin juga bagi MK untuk membangun prinsip perlindungan bagi KPK sebagai salah satu kepentingan konstitusional untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yang memiliki constitutionally important.<br />
<br />
Klausulnya dapat dicari. Tetapi, khusus kejahatan berat, semisal tindakan korupsi, pelanggaran atas UU KPK itu sendiri, terorisme, illegal logging, perdagangan manusia, narkoba, dan kejahatan berat lainnya dapat diproses secara langsung. Tetapi, kejahatan-kejahatan ringan dapat ditangguhkan hingga berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK. Ini adalah salah satu klausul. Tentu bisa banyak varian dan pilihan lain. Tetapi, yang terpenting adalah adanya perlindungan agar tidak dengan mudah ditersangkakan dan terkriminalisasi.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Zainal Arifin Mochtar; <i>Pengajar Ilmi Hukum dan Ketua PUKAT Korupsi pada Fakultas Hukum UGM</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-26812371309499191982015-07-04T01:31:00.000+07:002015-07-05T01:31:51.103+07:00Ambalat Lagi<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-weight: bold;">I MADE ANDI ARSANA</span></div>
<br />
Pada 2005 silam hubungan Indonesia dan Malaysia sempat memanas karena sengketa Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Satu dekade berlalu, ternyata Ambalat mencuat lagi dan menimbulkan keresahan yang hampir sama. Perihal perbatasan memang tidak sederhana.<br />
<br />
Indonesia berbagi daratan dengan Malaysia di Borneo sebagai konsekuensi dari kolonialisasi Inggris dan Belanda. Prinsip bahwa wilayah dan batas wilayah suatu negara mengikuti penjajahnya dianut berbagai negara di dunia dewasa ini.<br />
<br />
<a name='more'></a>Meski garis batas darat sudah jelas, garis batas lautnya belum ditetapkan. Garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia berakhir di sisi timur daratan Borneo, memotong Pulau Sebatik. Idealnya, garis batas yang memotong Pulau Sebatik inilah yang diteruskan ke arah Laut Sulawesi sehingga menjadi pembagi kawasan laut bagi kedua negara. Sayangnya, garis ini belum kunjung terwujud sehingga pembagian laut di Laut Sulawesi belum tuntas hingga kini.<br />
<br />
<b>Pelanggaran?</b><br />
<br />
Jika demikian, mengapa ada berita pelanggaran? Mengapa kita bisa yakin menuduh Malaysia memasuki wilayah Indonesia di Ambalat?<br />
<br />
Perlu dipahami bahwa meskipun Indonesia dan Malaysia belum bersepakat tentang pembagian kawasan laut, kedua negara sudah mencoba mengklaim secara sepihak. Tidak saja mengklaim, sejak 1960-an Indonesia bahkan sudah menetapkan kawasan konsesi dengan membuat kavling/blok dasar laut yang mengandung minyak atau hidrokarbon lainnya. Blok konsesi ini dieksplorasi perusahaan profesional yang mendapat izin. Salah satu kavling tersebut bernama Ambalat (1999) dan satu lagi bernama East Ambalat (2004).<br />
<br />
Malaysia tidak protes secara eksplisit, seakan-akan menyetujui. Meski demikian, pada 1979 Malaysia mengajukan klaim sepihaknya melalui sebuah peta yang tumpang tindih dengan klaim Indonesia. Indonesia menganggap Malaysia salah karena mengklaim apa yang sudah diklaim Indonesia. Namun, perlu diingat, di Laut Sulawesi belum ada garis batas maritim yang disepakati sehingga belum jelas secara hukum internasional kawasan laut milik Indonesia maupun Malaysia.<br />
<br />
Keadaan memburuk ketika pada 2005 Malaysia memberikan konsesi atas blok yang sebelumnya sudah dikonsesikan Indonesia. Pecahlah kasus Ambalat jilid 1.<br />
<br />
Perlu diingat lagi, Ambalat adalah blok dasar laut, bukan pulau, bukan daratan. Nama Ambalat ini diberikan Indonesia, sedangkan Malaysia menyebutnya ND6 dan ND7.<br />
<br />
Milik siapa blok tersebut? Indonesia mengklaimnya, Malaysia juga. Keduanya belum bersepakat karena pembagian kawasan laut di Laut Sulawesi belum tuntas. Sampai kini Indonesia dan Malaysia masih merundingkannya secara intensif.<br />
<br />
<b>Maju, tetapi belum tuntas</b><br />
<br />
Sejak 2005 sekitar 30 perundingan sudah dilakukan. Ada kemajuan, tetapi belum tuntas. Memang tidak mudah menetapkan batas maritim. Indonesia dan Vietnam perlu 25 tahun, dengan Singapura bahkan hingga 41 tahun untuk batas maritim yang relatif pendek.<br />
<br />
Jika melihat peta NKRI tahun 2015, tampak bahwa Indonesia menganggap Blok Ambalat adalah bagian dari NKRI. Sementara itu, menurut peta Malaysia 1979, Blok Ambalat dianggap bagian dari Malaysia. Tumpang susun peta Indonesia dan Malaysia memperlihatkan klaim tumpang tindih. Itulah yang saat ini dirundingkan.<br />
<br />
Indonesia tentu punya argumen kuat akan klaimnya. Malaysia mungkin punya keyakinan yang sama. Mengapa tidak dibagi dua saja dengan garis tengah? Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) sebagai dasar hukum tidak mengatur secara eksplisit metode yang harus digunakan.<br />
<br />
UNCLOS mewajibkan dua negara bersengketa untuk mencapai "solusi yang adil", yang artinya "terserah" kepada kedua negara. Maka, peran negosiator sangat penting. Jika tidak selesai dalam negosiasi, kasus ini bisa dibawa ke lembaga peradilan, seperti Mahkamah Internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea meski tanda-tandanya belum ada.<br />
<br />
Untuk menyelesaikan kasus perbatasan dengan Malaysia, Indonesia menunjuk utusan khusus, yaitu Duta Besar Eddy Pratomo. Tugasnya tidak hanya menyelesaikan kasus Ambalat di Laut Sulawesi, tetapi juga kawasan lain yang belum tuntas: Selat Malaka, Selat Singapura, dan Laut Tiongkok Selatan.<br />
<br />
Kini kedua negara harus mempercepat penyelesaian batas maritim dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan provokatif di kawasan yang masih dalam sengketa. Media juga bertanggung jawab menyajikan berita obyektif agar masyarakat tidak mudah tersulut.<br />
<br />
Membela bangsa itu wajib, tetapi tidak dengan menebar kebencian kepada bangsa lain. Membela bangsa harus dengan nasionalisme yang cerdas dan terhormat.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
I Made Andi Arsana; <i>Dosen Teknik Geodesi UGM, Peneliti Isu Perbatasan Internasional</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-44762572354918497232015-07-04T01:27:00.000+07:002015-07-05T01:27:10.564+07:00Moralitas Politik<div style="text-align: center;">
<b>ASEP SALAHUDIN</b></div>
<br />
Seandainya orang menyimpulkan bahwa dalam ranah politik, mempercakapkan moralitas itu adalah sesuatu yang absurd, pernyataan ini tidak berlaku bagi salah seorang manusia pergerakan bernama Hatta.<br />
<br />
Hatta menjadi sosok menggetarkan yang menunjukkan bahwa politik dan moralitas dapat bersanding berkelindan, bisa menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan tindakan politik hariannya. Selaras dengan keyakinannya, "Pemimpin berarti suri teladan dalam segala perbuatannya...."<br />
<br />
<a name='more'></a>Maka, menjadi sangat mudah bagi salah seorang proklamator kelahiran Kota Bukittinggi (1902) ini menanggalkan jabatan prestisius wakil presiden (1956) ketika kekuasaan dianggapnya telah jauh menyimpang dari khitahnya tatkala kawan seperjuangannya, Bung Karno, dipandang sudah semakin lupa diri terserap dalam hiruk-pikuk gelora politik revolusi belum selesai yang disulutnya sendiri.<br />
<br />
Menanggalkan jabatan wakil presiden otomatis adalah meninggalkan semua fasilitas negara, melucuti semua kemudahan yang diberikan kekuasaan kepadanya. Orang lain dengan segala daya memburu tampuk kekuasaan, Bung Hatta dengan mudahnya melepaskan tata rias kuasa. Setelah selesai bertugas menjadi wakil presiden, ia juga menolak semua tawaran perusahaan untuk dijadikan komisaris utama karena ia sangat paham jabatan komisaris di negeri agraris yang baru terlepas dari penjajah hanya cara lain untuk dijadikan alat "pengaman" perusahaan.<br />
<br />
Karena moralitas yang menjadi prinsip dasar perjuangan politiknya, Hatta tidak ewuh pakewuh ketika harus mengkritik Bung Karno lewat brosur "Demokrasi Kita" atau melalui senarai tulisan yang diterbitkan Panji Masyarakat (1960) yang membuat Soekarno berang dan majalah itu kemudian diberedelnya.<br />
<br />
Jawaban Hatta, "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan." Juga bukan karena Hatta ahli nujum kalau ia memprediksi bahwa kekuasaan dengan sistem demokrasi terpimpin tidak akan lama bertahan. Keyakinan ilmiahnya sangat jelas, "Diktator yang bergantung pada kewibawaan seseorang tidak lama umurnya... akan roboh dengan sendirinya seperti rumah dan kartu." Bukan mengkritik pribadi Bung Karno, tetapi mengkritik pemikiran dan langkah-langkah politiknya. Maka, menjadi sangat dimaklumi di persimpangan pemaknaan terhadap politik kebangsaan, hubungan kemanusiaan keduanya tetap terjaga, harmonis, dan kental.<br />
<br />
Ketika Hatta dirawat, Soekarno berada di sampingnya. Sebaliknya, tatkala Bung Karno kritis dua hari sebelum ajalnya tiba, Hatta-lah yang mendampinginya. Lama saling bersalaman. Saling bertatapan. Dua proklamator ini seolah sedang kembali melakukan napak tilas atas jejak silam ketika keduanya bahu-membahu lantang meneriakkan perlawanan terhadap kaum kolonial, ingatannya dipertemukan saat-saat membaca teks proklamasi yang ditunggu-tunggu seluruh rakyat Nusantara.<br />
<br />
Tidak mustahil terlintas dalam benak Bung Karno, sosok Hatta dengan kacamata tebal yang dengan heroik membacakan pidato pembelaannya berjudulIndonesie Vrij (Indonesia Merdeka) di pengadilan Belanda atas pasal telah melakukan penghasutan dan penghinaan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.<br />
<br />
Tidak menutup kemungkinan juga dalam ingatan Bung Hatta sosok Soekarno muda yang tanpa tergurat sedikit pun air muka takut ketika menyampaikan pleidoi di Pengadilan Bandung yang berjudul "Indonesia Menggugat" tahun 1930.<br />
<br />
<b>Moralitas inklusif</b><br />
<br />
Moralitas yang dikembangkan Hatta bukanlah moralitas berwatak partisan, eksklusif, dan tertutup, tetapi moralitas yang inklusif, terbuka, dan kosmopolit. Moralitas yang telah memosisikan dirinya tidak hanya menjadi sangat berwibawa di kalangannya sendiri, tetapi juga dihargai di semua lapisan masyarakat, lintas agama, lintas budaya, lintas etnik, dan lintas negara. Sosoknya sebagai penganut agama yang saleh tidak kemudian membuat dirinya puritan, tetapi imannya malah bisa memberikan rasa aman kepada warga yang berlainan pilihan keyakinannya. Imannya telah menjadi pandu yang membuatnya amanah ketika diberi tugas mengelola kekuasaan.<br />
<br />
Agama bagi Hatta menjadi tampak melampaui sekat-sekat yang bersifat formalistik. Agama menjadi satu tarikan napas dengan panggilan kebangsaan. Maka , dengan mudah pula Hatta menyetujui penghapusan tujuh kata tentang syariat Islam, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluknya" atas usulan kabar dari seorang Indonesia timur yang akan melepaskan dari Indonesia apabila syariat Islam ditegakkan jika tujuh kata itu masih tetap dilekatkan.<br />
<br />
Diterimanya usulan penghapusan ini adalah suatu ijtihad besar dari seorang Hatta untuk meneguhkan bahwa ketika berbicara tentang kebangsaan, hal-hal yang berkaitan dengan sentimen agama, etnik, dan budaya harus dicairkan. Bahwa dalam frasa bangsa inheren di dalamnya realitas sosial yang heterogen dan negara tidak boleh melakukan pemihakan kepada salah satu kelompok. Negara harus berdiri menempatkan semua kelompok itu dalam posisi yang setara. Negara sebagai "bapak" yang mengayomi semua anak-anaknya, bangsa sebagai "ibu pertiwi" yang menyusui semua anak-anaknya dengan kasih yang tidak berbeda.<br />
<br />
"Syariat" yang dicantumkan "Piagam Jakarta" bukan hanya dapat mengancam keutuhan berbangsa, melainkan juga tidak menutup kemungkinan bisa merontokkan semua sendi kehidupan bernegara. Warga negara akan terus bertikai memburu politik metafisis demi fantasi politik-keagamaannya sebagaimana pertikaian berdarah-darah yang berlangsung pada abad pertengahan dan berlangsung juga sampai hari ini di sebagian negara Timur Tengah.<br />
<br />
Sekali "agama" (agama apa pun) menjadi ideologi negara, sejak itu tendensi memonopoli kebenaran akan berlangsung dan kaum penguasa menjadi punya alasan religius untuk menindas lawan-lawan politiknya yang dipandang melawan negara karena sekaligus otomatis dianggap melawan Tuhan.<br />
<b><br /></b>
<b>Defisit moralitas</b><br />
<br />
Di sinilah pentingnya kembali menghidupkan ajaran Bung Hatta, justru di tengah suasana perpolitikan bangsa kita yang sedang kehilangan arah dan role model. Pemimpin sangat melimpah, minimal yang mengaku-ngaaku sebagai pemimpin, tetapi yang sulit didapat itu adalah mencari pemimpin yang layak diteladani. Pemimpin yang mampu menyatukan kata dengan perbuatan.<br />
<br />
Interupsi Hatta seolah menemukan relevansinya ketika hari ini korupsi kian merajalela, rakyat kehilangan daulatnya, ekonomi semakin tidak jelas arahnya, dan kaum politisi sibuk mengurus dirinya sendiri dan atau memainkan kartu politiknya untuk kepentingan kaumnya, oligarki diam-diam menggeser spirit demokrasi. Sementara di sisi lain agama yang semestinya tampil menjadi obor penghayatan bagi pemeluknya justru hanya ramai dengan upacara dan sebatas dijadikan jubah kaum politisi untuk menggoda warga bahwa politik agama itu penting.<br />
<br />
Kita simak nubuat Hatta yang dia tulis tahun 1962, "Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita.... Perkembangan ekonomi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah...." Kegelisahan Hatta masih tetap kita rasakan sampai hari ini.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Asep Salahudin, <i>Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya; Dosen di FISS Unpas, Bandung</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-40303832814650591012015-07-03T09:32:00.002+07:002015-07-03T09:32:40.227+07:00Pandanglah Kami<div style="text-align: center;">
SRI PALUPI</div>
<br />
"Pandanglah kami" adalah pesan yang yang ingin disampaikan masyarakat adat Desa Liku, Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, andai mereka bisa bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Pesan itu singkat, tetapi memuat dua perkara penting, yaitu pertanyaan sekaligus permintaan mereka kepada Presiden terkait kehidupan masyarakat adat.<br />
<br />
Kepada Presiden mereka ingin mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak mereka pahami, tetapi membuat hidup mereka terpuruk. Kepada Presiden pula mereka hendak meminta agar dalam membuat kebijakan, pemerintahan Jokowi sudi memperhitungkan kehendak dan kebutuhan masyarakat yang termarjinalkan.<br />
<br />
<a name='more'></a>Saya mengingat pesan itu setelah mendengar kabar tentang pertemuan Presiden Jokowi dengan perwakilan masyarakat adat beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, Presiden menegaskan kembali komitmennya untuk bekerja bersama masyarakat adat. Presiden berjanji membentuk satgas untuk pembebasan warga masyarakat adat yang ditahan karena konflik agraria.<br />
<br />
Langkah yang akan dibuat Presiden untuk masyarakat adat patut diapresiasi. Dengan cara itu, Jokowi mengakui sekaligus mengoreksi kesalahan pemerintahan sebelumnya. Hanya saja, langkah tersebut tidak akan secara signifikan mengatasi masalah dan memulihkan kerusakan yang diderita masyarakat adat apabila tidak diikuti dengan tindakan struktural pengembalian hak-hak masyarakat adat dan koreksi atas kebijakan pemerintah yang melahirkan konflik dan kerusakan.<br />
<br />
<b>Tak terpahami</b><br />
<br />
Perkara pertama yang ingin disampaikan masyarakat Desa Liku kepada Presiden adalah ketidakpahaman masyarakat adat atas kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Setidaknya ada lima perkara kebijakan yang tak terpahami.<br />
<br />
Pertama, pemerintah membuat kebijakan pemberantasan penebangan liar (illegal logging) dengan memangkas perusahaan-perusahaan pemotongan kayu (HPH) yang menghabisi hutan. Namun, anehnya pemerintah menggantinya dengan pemberian izin besar-besaran terhadap perusahaan perkebunan sawit yang tidak hanya menghabisi hutan, tetapi juga mengambil alih lahan-lahan masyarakat, merusak lingkungan, dan meracuni masyarakat.<br />
<br />
Kedua, pemerintah telah membuat kebijakan moratorium pemberian izin baru dengan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 hingga Inpres Nomor 6 Tahun 2013. Namun, ironisnya, kajian Walhi atas kebijakan moratorium menunjukkan, dalam lima tahun terakhir pemerintah melakukan pelepasan kawasan hutan seluas sedikitnya 7,7 juta hektar untuk pertambangan, perkebunan sawit, dan lainnya.<br />
<br />
Ketiga, pemerintah memberikan izin kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan sawit secara gelap mata. Di Kalteng, misalnya, ada lima kabupaten yang luasan izin bagi perusahaan tambang dan perkebunan sawit hampir menyamai atau bahkan melebihi luasan kabupaten. Di Kabupaten Barito Utara, misalnya, total luasan izin yang diberikan pada perusahaan mencapai 1.452.468 hektar, sementara luasan kabupaten hanya 830.000 hektar.<br />
<br />
Keempat, pemerintah membiarkan perusahaan beroperasi tanpa pengawasan. Di Kalteng, misalnya, pada 2012 terdapat 300-an perusahaan perkebunan sawit yang sudah beroperasi dan dari jumlah tersebut hanya 85 perusahaan yang perizinannya memenuhi kriteria clear and clean. Terdapat 45 persen dari perusahaan yang beroperasi di Kalteng tahun 2010 tidak memiliki amdal.<br />
<br />
Kelima, tingginya arus investasi tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat. Provinsi Kalteng ekonominya tumbuh di atas rata-rata nasional, tetapi 62 persen desanya tergolong desa tertinggal. Bahkan, Kabupaten Barito Timur, Kotawaringin Timur, dan Seruyan yang padat dengan perkebunan sawit dan pertambangan justru memiliki angka kemiskinan tertinggi.<br />
<br />
Ada proses pemiskinan dalam kehidupan masyarakat adat di daerah yang kaya sumber daya alam. Ini terjadi karena kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah memisahkan masyarakat adat dari aset ekonomi dan modal sosialnya. Hutan, tanah adat, rawa, ladang, dan kebun yang dulu dikelola secara komunal oleh masyarakat adat kini diambil alih korporasi. Akibatnya, pertemuan adat reguler terkait pengelolaan sumber daya alam hilang dari kehidupan masyarakat adat. Tak ada lagi ruang dialog dan komunikasi antarwarga, tak ada ruang untuk warga bisa membicarakan masalah mereka. Relasi antarwarga terganggu.<br />
<br />
Ekspansi industri perkebunan sawit membawa budaya baru yang mengubah masyarakat menjadi individualis dan berorientasi pada materi. Tradisi kerja sama, gotong royong, dan partisipasi yang dulu sangat kental kini meluntur. Kelembagaan, aturan, dan nilai-nilai adat ditinggalkan. Kerusakan ekonomi, sosial, dan budaya diperburuk oleh kerusakan ekologis. Banjir, kekeringan, tercemarnya sungai, debu, dan asap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat.<br />
<br />
<b>Negara hadir</b><br />
<br />
Perkara kedua dari pesan masyarakat adat Desa Liku kepada Presiden Jokowi adalah permintaan agar negara hadir. Permintaan ini tidak berlebihan mengingat bahwa selama ini yang lebih banyak hadir dalam kehidupan mereka adalah aparat negara yang bekerja melindungi kepentingan korporasi serta menangkap dan memenjarakan warga yang terlibat dalam konflik agraria. Ini terjadi karena dalam sistem pengelolaan sumber daya alam yang berlangsung selama ini, hak masyarakat adat tidak mendapatkan tempat.<br />
<br />
Bagi pemerintahan Jokowi yang punya target menurunkan indeks Gini, membuat negara hadir dengan mengembalikan peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam adalah keniscayaan. Jika tidak, kebijakan pemerintahan Jokowi tidak akan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.<br />
<br />
Mempertimbangkan kondisi kerusakan akut yang dialami masyarakat adat, penting ada langkah afirmatif yang dibuat pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Setidaknya ada tiga tindakan struktural yang bisa dilakukan Jokowi secara paralel. Pertama, langkah pemulihan hak masyarakat adat yang telah dihilangkan melalui penyelesaian konflik agraria yang bertahun-tahun dibiarkan.<br />
<br />
Kedua, mengoreksi kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memisahkan masyarakat adat dari aset ekonomi dan modal sosial mereka. Di sektor perkebunan sawit, misalnya, Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 masih berpotensi mengkriminalkan dan menghilangkan hak masyarakat adat. Demikian pula dengan Keputusan Menteri Pertanian tentang Revitalisasi Perkebunan, yang menyodorkan skema kemitraan dengan sistem yang membuat masyarakat adat menyubsidi perusahaan sawit.<br />
<br />
Studi yang dilakukan Institute Ecosoc (2014) menemukan, pola kemitraan yang dijalankan perusahaan adalah skema 80:20. Artinya, dari total luas lahan yang diserahkan masyarakat untuk mendapatkan kebun plasma, 80 persen untuk perusahaan (inti) dan 20 persen untuk masyarakat (plasma). Untuk mendapatkan kebun plasma seluas 2 hektar, warga harus menyerahkan lahan minimal 10 hektar. Ironisnya, plasma dikelola perusahaan tanpa transparansi. Dalam banyak kasus, skema kemitraan dalam bentuk plasma menjadi modus baru perampasan lahan oleh korporasi.<br />
<br />
Ketiga, merealisasikan pengembalian hak-hak masyarakat adat melalui kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya yang mudah diakses oleh masyarakat adat serta menjamin keberlangsungan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat melalui undang-undang.<br />
<br />
Akhir kata, Jokowi dipilih dan didukung masyarakat adat karena agenda membangun dari pinggiran yang menempatkan rakyat marjinal sebagai subyek utama pembangunan. Dengan membangun dari pinggiran, pemerintahan Jokowi memilih jalan terjal yang tak mungkin ditempuhnya sendirian. Kerja bersama rakyat adalah keniscayaan.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Sri Palupi, <i>Peneliti Institute for ECOSOC RIGHTS</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-55295377588841484012015-07-03T09:21:00.001+07:002015-07-03T09:28:55.454+07:00Menjaga Momentum UU Desa<div style="text-align: center;">
<b>FAROUK MUHAMMAD</b></div>
<br />
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disambut antusias oleh berbagai kalangan, terutama mereka yang selama ini mengadvokasi pentingnya penguatan desa sebagai satuan terkecil masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan jauh sebelum republik ini lahir.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjbf7iRlE2kmth-hFZegrUsrLUYxZpDbpdX7W-Zp5EIh8ZHOJt3ZC-UcYb3KLgd7YLwXVIXvYfmN3mthvzlKvErZ2aYev09mBw__hLU6E31ZLYJ1qZS8ozZvSSjyd_zw1hsVxpx-fE-yOs/s1600/uu+desa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjbf7iRlE2kmth-hFZegrUsrLUYxZpDbpdX7W-Zp5EIh8ZHOJt3ZC-UcYb3KLgd7YLwXVIXvYfmN3mthvzlKvErZ2aYev09mBw__hLU6E31ZLYJ1qZS8ozZvSSjyd_zw1hsVxpx-fE-yOs/s1600/uu+desa.jpg" /></a></div>
Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memiliki hak asal-usul sebagai s<i>elf governing community </i>ataupun <i>self local government</i> melalui penerapan asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas rekognisi adalah pengakuan atas hak asal-usul desa dan asas subsidiaritas adalah lokalisasi kewenangan di aras desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat. Original intent dari UU ini-di mana penulis menjadi anggota tim kerja mewakili DPD saat itu-memang benar-benar ingin memperkuat pembangunan di level desa dengan konsekuensi meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang paling bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat itu.<br />
<br />
<a name='more'></a>Dengan alur pemahaman tersebut, desa dapat mengusahakan dan mengelola sumber daya ekonomi-politik, berwenang mengatur dan mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat, serta bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan publik "rakyat" desa melalui pelayanan publik.<br />
<br />
<b>Dana desa </b><br />
<br />
UU Desa menegaskan sumber-sumber pendapatan desa, dengan tujuan mulia mempercepat pembangunan kesejahteraan di desa. Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa bersumber dari: pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa; alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan APBD kabupaten/kota; hibah dan sumbangan yang tak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain pendapatan desa yang sah.<br />
<br />
Jika sumber-sumber pendapatan itu optimal diperoleh dan dikelola desa, niscaya ke desa akan mengalir pundi-pundi dana yang cukup besar. Jika APBN 2015 baru mengalokasi Rp 9,1 triliun (baru 1,4 persen, rerata 150 juta per desa), jumlah itu melonjak pada APBN Perubahan 2015 menjadi Rp 20,7 triliun (baru 3,1 persen, rerata 270 juta per desa). Secara bertahap, berdasarkan PP No 22/2015, alokasi dana dari transfer daerah untuk desa pada 2015 sebesar 3 persen, 2016 akan dinaikkan 6 persen, hingga 2017 diharapkan genap 10 persen sebagaimana amanat UU sehingga setiap desa diharapkan memperoleh rerata Rp 1 miliar.<br />
<br />
Pundi-pundi desa kian bertambah dengan masuknya Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten/kota yang menurut Pasal 72 Ayat (2) dan (4) nilainya dipatok 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima kabupaten. ADD ini nilainya relatif besar. Berdasarkan data yang dikumpulkan IRE (2015), misalnya, Kabupaten Sleman DIY tahun 2015 ini mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp 300 juta per desa.<br />
<br />
Pendapat desa akan terus bertambah seiring semakin optimalnya penerimaan desa dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Belum lagi jika desa efektif dalam mengembangkan usaha dan sumber-sumber ekonomi sebagai pendapatan asli. Jika lancar, dari bagi hasil pajak dan retribusi plus kebaikan hati pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota memberi lagi sumbangan, kalkulasi proyektif pada 2017 minimum per desa akan memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau lebih.<br />
<br />
Berangkat dari tujuan dan original intent UU Desa, tidak ada kata lain kita harus menjaga momentum penguatan desa melalui UU ini. Kita terus mendorong pemenuhan hak-hak desa, termasuk dari segi keuangan agar dipenuhi sesuai amanat UU sejalan tahapan dan kesiapan desa sendiri. Sembari itu kita lakukan, sekiranya perlu diingatkan sejak dini sebagai peringatan dini, jangan sampai dana desa yang seharusnya menjadi "berkah" berubah menjadi "bencana" akibat salah urus dan berbagai penyimpangan (korupsi).<br />
<br />
Penguatan desa harus dilihat dalam perspektif yang komprehensif dalam kerangka pembangunan dan peningkatan kesejahteraan desa yang tampak dari peningkatan kualitas hidup manusia dan penanggulangan kemiskinan di desa. Ini berarti kerangka konseptual dan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa, yang antara lain harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU. <br />
<br />
<b>Mengelola momentum</b><br />
<br />
UU Desa sejatinya memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang mereka miliki. Oleh karena itu, pemerintah harus mengelola serius momentum UU Desa ini, jangan terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah harus menyiapkan cetak biru arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan terukur. Pun, pemerintah harus mampu menyosialisasikan dan memberikan pemahaman soal cetak biru itu ke seluruh desa di seluruh pelosok Indonesia. Keberpihakan anggaran untuk desa sebagaimana disebutkan haruslah menjadi stimulus bagi pemerintah desa untuk menyejahterakan masyarakat dan menggerakkan pembangunan di desa. Untuk mewujudkan hal itu, langkah-langkah taktis strategis perlu dilakukan.<br />
<br />
Pertama, mutlak disiapkan sumber daya pengelolaan keuangan desa yang andal. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas tenaga manajerial dan administrasi desa harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah. Kunci keberhasilan pengelolaan dana desa ada pada pendampingan dan untuk itu, dalam catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dibutuhkan lebih dari 35.000 pendamping desa, di mana setiap petugas diproyeksikan mendampingi 3-4 desa dengan total dana yang dibutuhkan untuk rekrutmen Rp 1,6 triliun-Rp 1,9 triliun. Sistem manajemen keuangan desa harus didesain sedemikian rupa yang menjamin transparansi dan akuntabilitas, termasuk dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi terapan. <br />
<br />
Kedua, instrumen pembinaan dan pengawasan harus bekerja efektif sejalan dengan semakin kuatnya kapasitas aparatur desa, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dana desa. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pada tahun pertama dan kedua diharapkan pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya administratif.<br />
<br />
Ketiga, perlu penguatan peran serta masyarakat agar UU Desa menjadi berkah bagi seluruh masyarakat desa. Peran-peran mereka sejatinya telah diintroduksi dalam UU-salah satunya melalui mekanisme musyawarah desa-hanya saja dalam pelaksanaanya perlu dorongan yang lebih kuat dari berbagai pihak agar deliberasi partisipasi publik semakin bermakna. Semua pihak, masyarakat pada umumnya, akademisi, praktisi, dan kalangan masyarakat sipil (LSM) yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan desa, harus bergandengan tangan dan bersinergi turut mengawal pelaksanaan UU Desa serta dalam memperkuat kapasitas desa dalam mengimplementasikannya.<br />
<br />
Berkenaan dengan itu, DPD sebagai wakil/representasi daerah sangat antusias bersinergi dengan semua pemangku kepentingan pembangunan desa. DPD telah mengerahkan semua anggotanya agar aktif memonitor pengelolaan dana desa yang ada di daerahnya masing-masing, apa kendala-kendala lapangan yang dihadapi pemda dan desa, serta masukan konstruktif untuk memperbaikinya. Selain itu, melalui alat kelengkapan (Komite I dan Badan Akuntabilitas Publik), DPD juga aktif melakukan pengawasan dan penindaklanjutan pengaduan dalam konteks pelaksanaan UU Desa. Dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan yang efektif, diharapkan UU Desa benar-benar menjadi berkah, bukan bencana.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Farouk Muhammad; <i>Wakil Ketua DPD</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-57082696788816492202015-07-03T09:17:00.000+07:002015-07-03T09:24:45.327+07:00Muazin dari Makkah Darat<div style="text-align: center;">
<b>FAJAR RIZA UL HAQ</b></div>
<br />
Ahmad Syafii Maarif genap berumur 80 tahun pada 31 Mei lalu. Bersyukur beliau masih dikaruniai kesehatan dan energi kecendekiaan yang prima.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVAx_iCfNBywXRb33Y5sw1K2k_dgi_MgDIRnP7Pg2Kgo03uV3Gp1QaGvRcdjtft8PZ3CwBmQzUQBRrqiaauhrrYzywo6Tawfl-bY31J5NhUIdr3b4lDIpzFI2glmN5Q5cXehNHMNiH1aO9/s1600/buya.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVAx_iCfNBywXRb33Y5sw1K2k_dgi_MgDIRnP7Pg2Kgo03uV3Gp1QaGvRcdjtft8PZ3CwBmQzUQBRrqiaauhrrYzywo6Tawfl-bY31J5NhUIdr3b4lDIpzFI2glmN5Q5cXehNHMNiH1aO9/s200/buya.jpg" width="145" /></a></div>
Tidak banyak warga senior bangsa, seperti Buya Syafii, begitu panggilan akrab untuknya, di negeri ini: fisik segar-bugar dan tetap produktif menulis; masih rutin melakukan perjalanan menggunakan pesawat sendirian rute Yogyakarta-Jakarta; tak jarang terbang memenuhi undangan ke kota-kota di luar Jawa, bahkan ke luar negeri, yang sebenarnya sangat melelahkan untuk orang seusianya. Mau tahu makanan favorit putra kelahiran Sumpur Kudus, "Makkah Darat" ini? Tengkleng dan sate kambing!<br />
<br />
Beliau nyaris tidak pernah memberikan kesempatan orang lain membawakan tasnya. "Memang Anda pikir saya sudah tidak mampu bawa sendiri?" sergahnya saat ada yang coba-coba membantu membawakannya.<br />
<br />
<a name='more'></a>Salah satu ungkapan syukur atas karunia usia panjangnya itu adalah sumbangan tulisan belasan intelektual yang bermuara pada penerbitan buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat:Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, (Serambi & Maarif, Juni 2015). Biografi intelektual ini merupakan apresiasi dan dukungan para kontributor terhadap pemikiran-pemikiran Buya Syafii dalam bentuk ulasan, pendalaman, kritik, bahkan pengembangan topik-topik yang belum banyak disentuhnya.<br />
<br />
Buku ini mengurai relevansi gagasan-gagasan solutif maupun kritis mantan Ketua PP Muhammadiyah ini ketika dihadapkan pada problematika kebangsaan dan kenegaraan. Sosok Buya Syafii, menurut Noorhaidi Hasan, adalah seorang intelektual Muslim Indonesia par exellence yang menekankan semangat moral Islam dalam bernegara.<br />
<br />
Mengikuti lika-liku perjalanan hidupnya hingga saat ini, guru besar (emiritus) sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta ini telah mengalami transformasi radikal, utamanya dari sisi spektrum pemikiran dan radius pergaulan. Mulai dari seorang puritan pengagum Al Maududi yang memimpikan negara Islam, pendukung fanatik Partai Masyumi, dan mencurigai proyek "salibisasi" di balik upaya-upaya penghancuran umat Islam; hingga akhirnya meyakini tidak ada kewajiban mendirikan negara agama dan menjadi penganjur setia Negara Pancasila yang senapas dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil 'alamin.<br />
<br />
"Kalau aku mengatakan bahwa Islam merupakan pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula diberikan secara penuh kepada siapa saja yang mempunyai keyakinan selain itu," tulisnya dalam <i>Memoar Seorang Anak Kampung</i> (2013).<br />
<br />
<b>Jihad kebangsaan</b><br />
<br />
Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, masyarakat Muslim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan cita-cita keadilan sosial segera terwujud tanpa pilih kasih. Sudah sejak merdeka, sila ke-5 Pancasila itu jadi yatim piatu. Kegelisahan Buya Syafii ini mendeterminasi dirinya sangat keras menentang praktik- praktik korupsi, mafia pengadilan, mafia pangan, dan realitas kesenjangan pendapatan yang kian dalam. Faktanya, kemiskinan terus mencengkeram sebagian besar anak bangsa. Ketidakadilan ekonomi makin menggurita.<br />
<br />
Namun, Buya Syafii tak lelah melakukan jihad kebangsaan, meski harus berhadapan dengan tembok kepentingan-kepentingan elite politik, oligarki partai, bahkan para pemburu rente. Ia pun tak jenuh mengingatkan masyarakat Muslim agar terus berbenah meningkatkan kualitasnya ketimbang terobsesi dengan penambahan kuantitas karena bisa seperti buih di lautan.<br />
<br />
Pembelaannya terhadap agenda pemberantasan korupsi sangat terang-benderang. Korupsi hulu dari kemiskinan. Saat mencuat pro-kontra pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, Buya Syafii salah satu tokoh yang paling vokal menolak. Banyak pihak mempertanyakan bahkan mencibir sikapnya yang cenderung membela Presiden Joko Widodo ketika bersikukuh bahwa Budi Gunawan tidak akan dilantik sesuai pembicaraannya dengan Jokowi via telepon. Suara-suara yang tidak setuju menyayangkan posisi Buya Syafii yang seolah- olah bertindak sebagai "bemper" pemerintah.<br />
<br />
Kekecewaan sebagian besar warga Muhammadiyah terhadap Jokowi-JK yang tidak mengakomodasi kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja tidak memengaruhi kejernihan seorang Buya Syafii di tengah gejolak polemik Polri-KPK. Dalam satu kesempatan, penulis menanyakan persoalan ini kepada Buya. "Ini semata-mata demi KPK, satu-satunya lembaga yang masih dipercaya publik untuk memberantas korupsi", ujarnya.<br />
<br />
Figur Buya Syafii sudah tak terpisahkan lagi dari arus gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan keadaban publik dan pelembagaan prinsip-prinsip keadilan dalam tata pemerintahan. Mungkin agak berlebihan, beragam kalangan mendaulatnya sebagai simbol dari jangkar moralitas publik. Oleh karena itu, guru besar etika Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Alois A Nugroho, menyebut sosok Buya Syafii sebagai seorang "muazin moralitas bangsa" (Juni, 2015). Mengapa? Itu karena Buya Syafii tak lelah berseru-seru kepada politisi dan birokrat negara agar menjauhi mentalitas "thugocracy"(maling/pancilok dalam bahasa Minang).<br />
<br />
Secara harfiah, muazin adalah sang pengingat. Ia berseru-seru tiada lelah mengingatkan orang- orang untuk menunaikan shalat dan menggapai kebahagiaan. Jika diterapkan dalam konteks kehidupan berbangsa, muazin dapat dimaknai sebagai seseorang yang konsisten menyuarakan nilai-nilai moralitas dan keadaban publik serta mengingatkan penguasa dan segenap warga negara untuk terhindar dari perilaku-perilaku mungkar (buruk) yang destruktif, yang jauh dari rasa keadilan.<br />
<br />
Menurut hemat penulis, ada titik temu-bahkan saling bersenyawa-antara spirit seorang muazin dan pesan historis dari "Makkah Darat", julukan kampung kelahiran Buya Syafii di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Frasa "Makkah Darat" sendiri berasal dari sejarah Minangkabau era Islam yang sudah tertimbun debu sejarah selama ratusan tahun. Makkah Darat, ungkap Buya dalam otobiografinya, merepresentasikan simbol pusat Islam di pedalaman Minang yang memiliki sejarah panjang dalam proses pergumulan Islam dengan kultur Hindu-Buddhis.<br />
<br />
Istilah ini melambangkan gerak perlawanan terhadap budaya hitam yang dikuasai para parewa (preman), yang masih berlangsung hingga era Islam, bahkan sampai sekarang. Spirit Makkah Darat adalah budaya perlawanan terhadap pelbagai budaya yang mendegradasikan martabat manusia dan mengorupsi rasa keadilan.<br />
<br />
Saat bertemu Gubernur DKI Jokowi pada 1 Agustus 2013 di Maarif Institute, secara khusus Buya menanyakan pandangan sang tamu terkait budaya mafia di kalangan birokrasi yang berkroni dengan politisi busuk dan pengusaha-pengusaha hitam. Seingat penulis, jawaban Jokowi cukup standar. Praktik kotor semacam itu harus diberantas. Dan kini kita semua tahu, Presiden Jokowi berulang-ulang mendeklarasikan komitmennya perang melawan mafia bisnis, tetapi masih belum terlihat kebijakan-kebijakan radikal yang terukur.<br />
<br />
Lazimnya seorang muazin yang tak peduli siapa pun imamnya, Buya Syafii akan selalu tetap menyuarakan hal-hal yang diyakininya benar. Tidak akan pernah berkompromi terhadap kemungkaran politik dan praktik-praktik kumuh bernegara yang sudah terbukti memunggungi nilai-nilai luhur Pancasila. Menyaksikan Tanah Air-nya disinari keadilan dan dinaungi kesejahteraan akan menjadi kado terindah Buya Syafii di usia magribnya. Semoga.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Fajar Riza Ul Haq; <i>Direktur Eksekutif Maarif Institute</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-61907769310014268622015-06-29T11:29:00.000+07:002015-06-29T11:33:21.207+07:00Jokowi dan Gunung Jamurdipa<div style="text-align: center;">
<b>SINDHUNATA </b></div>
<br />
Tahun 2015 adalah 200 tahun meletusnya Gunung Tambora. Untuk mengenang kebesaran Tambora, beberapa saat lalu pemerintah mengadakan kegiatan berslogan "Tambora Menyapa Dunia". Mendukung kegiatan itu, harian Kompas dan lembaga budayanya, Bentara Budaya Jakarta, mengadakan pameran, pergelaran, dan perbincangan bertajuk "Kuldesak Tambora".<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmefThiD6cuOMaox-ba1HvvKHAZShCtDmTyJ5v0aI-XvgaqVe9nqp-pYRjCy1KHuZKm3fT4ndvAYrhkBjSa40YRz4pzRu3_ZnzkpDV4IdaiSFaUP7pYf-GMjLTnstLhLp_aHA7LAcIBrpL/s1600/jokowi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="222" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmefThiD6cuOMaox-ba1HvvKHAZShCtDmTyJ5v0aI-XvgaqVe9nqp-pYRjCy1KHuZKm3fT4ndvAYrhkBjSa40YRz4pzRu3_ZnzkpDV4IdaiSFaUP7pYf-GMjLTnstLhLp_aHA7LAcIBrpL/s400/jokowi.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Sementara di Bentara Budaya Yogyakarta diselenggarakan pameran foto Maha Pralaya untuk mengenangkan letusan dahsyat Gunung Merapi di zaman Mataram Hindu, lebih kurang 1.000 tahun lalu. Mengiringi pameran itu, diadakan merti atau selamatan gunung di Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, di mana dipentaskan jatilan, sendratari, dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dumadining Gunung Merapi atau terjadinya Gunung Merapi. Dikisahkan, pada waktu itu Nusa Jawa gonjang-ganjing, terbawa arus lautan ke sana kemari. Batara Guru, raja segala dewa, bersabda, Nusa Jawa akan kembali tenang apabila dipaku dengan Gunung Jamurdipa. Maka ia pun memerintahkan para dewa mengusung Gunung Jamurdipa dari Tanah Hindi ke Nusa Jawa. Gunung Jamurdipa kemudian dipakukan di sisi timur Nusa Jawa.<br />
<br />
<a name='more'></a>Ternyata beban gunung di sisi timur ini membuat Nusa Jawa njomplang, sisi baratnya naik ke atas menyundul langit. Untuk menyeimbangkan, para dewa diperintahkan mencabut separuh Gunung Jamurdipa dan dipakukan di sisi barat. Dalam perjalanan ke barat, Gunung Jamurdipa itu rontok. Rontokannya menjadi gunung-gunung di Nusa Jawa, seperti Topongan, Pasundan, Hula-Hulu, Cerme, Prau, Kendheng, Sindoro, Sumbing, Slamet, Kendil, Petarangan, Merbabu, Lawu, Kelud, Arjuna, dan Sumeru.<br />
<br />
Sementara para dewa berlelah-lelah mengusung Gunung Jamurdipa, ada seorang empu dewa, Hempu Ramadi, yang asyik membuat keris di atas perapiannya. Para dewa jengkel lalu menjatuhkan sebagian Gunung Jamurdipa ke Hempu Ramadi. Hempu Ramadi menghindar, dan sempalan gunung itu jatuh ke atas perapiannya dan dari sana terjadilah Gunung Merapi. Itulah sebabnya, Gunung Merapi selalu berapi sampai kini. Nusa Jawa tenang kembali. Tetapi, ketenangan itu tak bertahan lama akibat ulah manusia yang hanya memburu kenikmatan nafsunya. Nusa Jawa gonjang-ganjing lagi. Namun, ke manakah sekarang harus dicari Gunung Jamurdipa untuk dijadikan pakunya?<br />
<br />
Gonjang-ganjing sosial<br />
<br />
Selamatan dengan pementasan mitos di atas bermaksud mengingatkan agar kita sadar bahwa sekarang pun kita sedang menghuni tanah air yang rawan, mudah gonjang-ganjing dan terterpa pelbagai cobaan. Pada musim hujan, di mana-mana banjir. Pada musim kemarau, di banyak tempat terjadi kekeringan dan mengering pula sumber-sumber air. Di pantai Gunung Kidul, DIY, tiba-tiba ada tanah longsor, yang memakan korban jiwa. Laut Selatan seakan ikut marah. Beberapa hari lalu beberapa turis lokal ditelan ombak Parangtritis. Belum lagi berita tentang aktivitas gunung berapi yang mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya.<br />
<br />
Cobaan alam itu dibarengi situasi sosial yang meresahkan. Ekonomi susah, nilai rupiah anjlok drastis, investasi usaha di dalam negeri jadi lesu, dan banyak orang terancam kehilangan kerja. Situasi wong cilik seperti gabah diinteri, pontang-panting ke sana kemari untuk mencukupi nafkah, tetapi tak juga jalan keluar terbuka bagi mereka. Harga-harga naik, mulai dari kebutuhan-kebutuhan pokok sampai gas melon, apalagi menjelang Lebaran ini.<br />
<br />
Bencana alam, kesengsaraan rakyat kecil, ketidakberdayaan penguasa, itu yang dalam bahasa mitos Jawa sering dianggap gejala dan tanda-tanda bahwa Nusantara sedang diterpa gara-gara dan gonjang-ganjing. Agar gonjang-ganjing mereda, ibaratnya Nusantara harus dipaku dengan Gunung Jamurdipa. Adakah paku itu sebenarnya? Ada, Presiden Jokowi sendiri. Kalau mau, Presiden bisa jadi paku itu. Untuk itu, ia perlu berbalik melihat masa lalu, memahami siapa dia sebenarnya.<br />
<br />
Anugerah sejarah<br />
<br />
Waktu itu Jokowi belum siapa-siapa. Ia "hanyalah" Wali Kota Solo yang kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah melihat kiprah dan sifatnya, banyak rakyat bersimpati kepadanya. Begitu ia diajukan jadi calon presiden, rakyat pun serentak bergembira mendukungnya. Menjelang pilpres muncullah gerakan rakyat besar-besaran, dan puncaknya adalah Konser Dua Jari yang menggemparkan itu.<br />
<br />
Bagi sejarah bangsa Indonesia, fenomena dukungan fantastis itu merupakan sebuah kairos. Dalam filsafat sejarah, kairos dibedakan dari chronos. Chronos adalah waktu biasa, semacam urut-urutan waktu belaka, sementara kairos adalah waktu yang luar biasa, waktu yang dinanti-nantikan, waktu yang punya daya dobrak, semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang usang dan rusak menjadi keadaan yang total baru. Baik filsuf eksitensialis religius, misalnya Paul Tillich, maupun filsuf kiri ateis, seperti Walter Benyamin, sama-sama yakin, dalam kairos tersembunyi harapan, dan begitu kairos datang, harapan itu menguak jadi kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner.<br />
<br />
Fenomena Jokowi adalah fenomena kairos itu. Kalau harapan rakyat tertumpah padanya, itu tak berarti dia memang luar biasa, tetapi bahwa daya kairos sedang turun atasnya sehingga ia dianggap mampu memperbarui sejarah. Dalam arti itu, kairos adalah berkah dan anugerah yang tak boleh disia-siakannya. Tetapi ini juga tak berarti kairos itu seluruhnya mistis. Kairos ada di dalam kehidupan individual dan membuat orang menanti-nantikan perubahan. Begitu melihat Jokowi sebagai fenomen kairos, kairos yang individual itu berkumpul jadi satu, menjadi sebuah kairos kolektif yang bersama-sama ingin menjungkirkan keadaan dan mengubahnya menjadi keadaan yang penuh harapan.<br />
<br />
Jadi, Jokowi jadi hebat bukan karena kekuatan politik, melainkan karena kairos itu. Maka kalau sekarang merasa ragu, lemah, dan tak berdaya, adalah keliru jika Jokowi sambat pada kekuatan-kekuatan dan melakukan kompromi dengan mereka. Dalam keadaan demikian, Jokowi seharusnya berpaling pada kairos, yang menyimpan kekuatan dan tren pembaruan sejarah itu. Dalam sejarah penjadian bangsa-bangsa telah terbukti, kekuatan sejarah yang kolektif dan bersifat anugerah jauh lebih ampuh dan "sakti" daripada potensi-potensi yang dibangun secara artifisial oleh jaringan kekuatan politik. Sekarang rakyat sedang tak percaya kepada DPR sebab lembaga perwakilan rakyat itu lumpuh dalam menjalankan fungsi representasi kepentingan rakyat karena hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Kata ahli hukum dan politik Ernst Fraenkel: di mana ada rakyat tak percaya terhadap kemampuan parlemen dalam menjalankan fungsi representasinya, di sana rakyat sesungguhnya sedang menderita minderheid-kompleks.<br />
<br />
Adalah tragis, rakyat yang mayoritas itu menjadi minoritas yang minder. Sebagai presiden, Jokowi bertanggung jawab mengembalikan rakyat sebagai mayoritas dan menghilangkan minderheid-kompleksnya. Untuk itu, Jokowi perlu meraih kembali momen kairos dan percaya bahwa dalam kairos terhimpun kekuatan politik rakyat yang punya satu-satunya kehendak, yakni perubahan. Jika mau melakukan ini, Jokowi berpeluang besar merebut kembali kepercayaan rakyat, yang kini sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap para wakilnya di DPR. Revolusi mental Jokowi mandul dan berhenti di tempat karena tak mengorientasikan diri pada kekuatan rakyat. Di sini pun Jokowi perlu kembali pada kairos, yang telah membawanya ke kursi pimpinan tertinggi di negeri ini. Kairos itu adalah kekuatan sejarah, yang dalam arti tertentu "liar" dan bernalurikan "petualangan". Jokowi perlu menyuntikkan daya dobrak kairos itu ke dalam revolusi mentalnya, supaya revolusi mentalnya memperoleh "darah segar" untuk menabrak dan mengubah kemapanan demi tercapainya cita-cita tanah air Nusantara baru yang adil, damai, dan tenteram seperti diinginkan rakyat.<br />
<br />
Ziarah gunung<br />
<br />
Jadi, jika mau, dengan bantuan kairos itu, Jokowi berpeluang bisa menjadi paku Gunung Jamurdipa bagi tanah air Nusantara yang sedang gonjang-ganjing ini. Gunung Jamurdipa telah menjadikan gunung-gunung di Nusa Jawa. Bagi orang Jawa, ini semua simbol laku yang punya makna. Gunung itu dhuwur, tinggi. Sementara rakyat biasanya sering disebut sebagai wong gunung. Gunung lalu jadi simbol kekuatan rakyat yang keluhuran dan tingginya bahkan melebihi keluhuran raja atau priayi. Jokowi bukanlah ketua partai, keturunan raja, atau priayi. Ia rakyat biasa, wong gunung. Tetapi justru dalam dirinya tersimpan martabat luhur rakyat. Karena itu, ia jangan minder terhadap kekuasaan mana pun.<br />
<br />
Untuk memperkuat keyakinannya sebagai wong gunung, Jokowi perlu menjalani kembali laku gunung. Dari Gunung Prau di barat, ia harus naik perahu, ke timur, ke Gunung Slamet. Di sana ia akan dicerahkan, bahwa rakyat sesungguhnya hanya punya cita-cita amat sederhana, yakni slamet. Dengan menjalani laku Gunung Slamet, rakyat akan merengkuhnya untuk bersama-sama meraih slamet, hingga akan selamat pula pemerintahannya. Dari Gunung Slamet ia mesti melanjutkan laku Gunung Kendil. Di sinilah ia dapat mempertajam intuisinya, bahwa rakyat itu kendil atau periuk bagi pemerintahannya. Tak mungkin pemerintahannya berjalan tanpa periuk rakyat itu. Namun, sebagai imbalannya, ia tak boleh membiarkan rakyat sengsara dan mati karena periuknya mati asap. Maka, dengan hikmah Gunung Kendil, Jokowi bisa menggali kembali program-programnya yang pro rakyat, agar periuk rakyat cepat berasap.<br />
<br />
Dari Gunung Kendil, Jokowi harus melanjutkan laku Gunung Petarangan. Petarangan adalah tempat induk ayam bertelur dan mengeraminya. Maka laku Gunung Petarangan mengingatkan, jangan Jokowi lupa akan asal-usulnya. Ia bukan jenderal, ketua partai, atau anak raja. Tetapi begitu jadi presiden, Jokowi mungkin lupa bahwa ia adalah wong cilik, atau rakyat biasa. Maklum, kekuasaan mudah membuat lupa. Karena itu Jokowi tidak perlu menaikkan martabatnya karena martabat rakyat itu adalah terluhur. Juga ia tak perlu mengenakan predikat apa-apa lagi. Ia tak perlu, misalnya, memakai seragam dan baret tentara, yang di zaman Orde Baru telah demikian menakut-nakuti rakyat. Ibaratnya, ia cukup memakai kemeja rakyatnya, "kemeja putih", di mana terpantul cahaya ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, martabat luhur rakyatnya.<br />
<br />
Dengan laku Gunung Petarangan ini Jokowi boleh teringat kembali saat ia mengumumkan deklarasi pencapresannya. Deklarasi itu dilakukannya di Rumah Si Pitung, Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Si Pitung adalah pendekar Betawi yang mati-matian membela rakyat melawan kompeni. Jokowi kiranya ingin terkena aura roh perlawanan rakyat itu. Maka, setelah jadi presiden, janganlah ia hanya berani menghukum mati, tapi juga "berani mati" seperti Si Pitung yang berani mati dihukum gantung oleh kompeni. Sekarang banyak sekali kompeni di sekitar Jokowi: kompeni-kompeni bisnis, kompeni-kompeni politik, kompeni-kompeni partai, dan kompeni-kompeni kepentingan. "Perlawanan", kata Jokowi saat di Rumah Si Pitung itu. Sekarang Jokowi sungguh ditantang, untuk bersama rakyat melawan kompeni-kompeni di sekitarnya itu. Maka, demi rakyat dan karena roh perlawanan Si Pitung, ia juga harus berani melawan jika ia dijadikan boneka atau petugas partai oleh kekuasaan oligarkis partai pendukungnya sekalipun.<br />
<br />
Dari Gunung Petarangan, Jokowi harus meneruskan laku Gunung Merapi. Sampai sekarang di sana masih menyala api dari perapian Hempu Ramadi. Di perapian itu Jokowi boleh menghangatkan dan membakar kembali semangat gunungnya, semangat kerakyatannya, yang akhir-akhir ini sempat padam atau dipadamkan. Jokowi harus terus menyalakan api perjuangan rakyatnya. Untuk itulah akhirnya ia perlu kembali ke asalnya, ke Gunung Lawu. Jokowi adalah anak Solo yang terletak di kaki Gunung Lawu. Maka laku Gunung Lawu akan mengajak dia ngawu-awu atau bertanya tentang asal-usulnya. Asal-usulnya rakyat kecil biasa. Di Solo ia thukul, tumbuh sebagai wong Solo seperti Wiji Thukul. Maka, seperti Wiji Thukul yang tumbuh di kaki Gunung Lawu, Jokowi pun seharusnya hanya punya satu kata untuk pemerintahannya: Lawan! Dengan satu kata "lawan" itu, ia harus berani melawan siapa saja dan apa saja yang membungkam, memperbudak, menyengsarakan rakyat. Pada kata "lawan" itu, sesungguhnya Jokowi bisa menemukan inti terdalam dari kata kairos.<br />
<br />
Jelas laku atau ziarah gunung itu sesungguhnya adalah ziarah rakyat yang bermuatan kairos. Jokowi tak boleh berlambat dengan kairos. Sebab lain dengan waktu biasa, kairos adalah waktu sejarah dan waktu anugerah, karenanya waktu itu takkan berlangsung lama dan hanya datang sekali. Jokowi belum terlambat untuk kembali memeluk kairos itu. Namun, bila berlambat-lambat, dalam sekejap Jokowi akan kehilangan kesempatan menjadi Paku Gunung Jamurdipa bagi Nusantara yang sedang membutuhkannya. Kalau demikian, dalam sekejap Nusantara akan dilanda gonjang-ganjing lagi.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Sindhunata; <i>Wartawan; Penanggungjawab Majalah Basis Yogyakarta, Kurator Bentara Budaya</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-40725993260360449282015-06-29T11:21:00.000+07:002015-06-29T11:21:09.891+07:00Persyaratan bagi Dinamika Ekonomi Kreatif<div style="text-align: center;">
<b>BUDI RAJAB</b></div>
<br />
Sejak dua dasawarsa lalu mulai banyak disebut-sebut tentang keberadaan dan dinamika ekonomi kreatif di kota-kota di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar, yang juga telah tumbuh tiga dasawarsa lalu di beberapa kota besar di Asia Timur, Eropa Barat, dan Amerika Serikat.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6bbz-OcIG2G2b1fwVsswuUlwcqLxEowsMcx1XKbi1fTHzkcxw6_TpqM1s3rwFF8yGZyZkvPcHETsnrJa2kTb29F4h7Cmesx1aJpcrsEQEnHeqzoyztNL9S5WFvBIPDSCZzijmcdHaWgvG/s1600/ekonomi+kreatif.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="282" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6bbz-OcIG2G2b1fwVsswuUlwcqLxEowsMcx1XKbi1fTHzkcxw6_TpqM1s3rwFF8yGZyZkvPcHETsnrJa2kTb29F4h7Cmesx1aJpcrsEQEnHeqzoyztNL9S5WFvBIPDSCZzijmcdHaWgvG/s400/ekonomi+kreatif.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Ekonomi kreatif adalah kegiatan ekonomi yang berkembang di masyarakat perkotaan yang plural, berbasis pada gagasan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi informasi baru yang dituangkan dalam produk- produk yang baru juga, berupa barang-barang (goods) serta metode kerja (services), yang diintegrasikan pada ekonomi pasar.<br />
<br />
<a name='more'></a>Produk-produk ekonomi kreatif cukup beragam. Pertama, heritage, seperti ekspresi budaya tradisional, yang meliputi kerajinan-kerajinan artistik, festival dan perayaan-perayaan, serta situs-situs budaya yang menyangkut situs-situs arkeologis, museum, perpustakaan, dan pameran-pameran.<br />
<br />
Kedua, karya-karya seni, aksesori, ornamen, seperti seni visual, yang menyangkut lukisan, patung, ukiran, fotografi, barang- barang antik; seni pertunjukan, menyangkut pertunjukan musik, teater, tarian,opera,dan sirkus.<br />
<br />
Ketiga, media, seperti penerbitan dan percetakan, audiovisual, yang menyangkut film, televisi, dan radio.<br />
<br />
Keempat, kreasi fungsional, seperti desain interior, grafis, perhiasan, mainan; dan jasa kreatif yang menyangkut arsitektural, periklanan, turisme, kuliner, serta penelitian dan pengembangan kreatif.<br />
<br />
Produk kreatif selalu bersumber kepada kebudayaan masyarakat. Di dalamnya mengandung komponen-komponen berbagai kultural masyarakat yang dicampuradukkan dan kemudian dipembarui. Karena itu, produk- produk ekonomi kreatif disebut juga cultural products (produk- produk budaya) yang bercorak hibrid dan akulturatif.<br />
<br />
Keterkaitan produk kreatif dengan aspek kultural terletak pada penonjolan tanda-tanda tertentu, apakah pada desain, bentuk, rasa, selera, dan fungsinya yang menunjuk pada era dan lokasi kultural yang sedang menjadi pusat perhatian publik. Kebanyakan produk kreatif berhubungan dengan tanda-tanda kultural yang pada waktu tertentu sedang menjadi fokus perhatian masyarakat perkotaan atas selera, bentuk, dan fungsi barang-barang konsumsi.<br />
<br />
Bila fokus masyarakat berubah, produk ekonomi kreatif akan ikut berubah. Sebaliknya, kreativitas juga bisa mengubah fokus perhatian masyarakat. Di sinilah pegiat ekonomi kreatif dituntut oleh perubahan pusat perhatian masyarakat untuk terus menuangkan gagasan-gagasan baru ke dalam produk-produk kultural yang juga baru.<br />
<br />
<b>Contoh: Bandung</b><br />
<br />
Secara regional, Jawa Barat, khususnya Kota Bandung, merupakan kota yang dianggap ekonomi kreatifnya tengah berkembang. Untuk tahun 2012 kontribusinya pada produk domestik regional bruto (PDRB) hampir 8 persen atau sekitar Rp 21 triliun dan telah menyerap tenaga kerja sekitar 2,75 persen dari jumlah total tenaga kerja. Kontribusi terbesar diberikan bidang desain, fashion, kerajinan, kuliner, turisme. Penyumbang terbesar pada PDRB Jawa Barat itu adalah Kota Bandung, melebihi setengahnya.<br />
<br />
Lewat kontribusi atas PDRB itulah mengapa Kota Bandung dikategorikan sebagai "kota kreatif". Sebutan kota kreatif ini memang sedikit banyak memiliki kaitan dengan prasyarat bagi keberadaan ekonomi kreatif tersebut. Umpamanya, Kota Bandung dirujuk sebagai kota yang berpenduduk plural yang kosmopolitan; secara historis telah menghasilkan produk-produk seni dan budaya yang bercorak hibrid dan akulturatif (campuran); lalu banyak perguruan tinggi yang berpengaruh dan meluasnya penggunaan teknologi informasi dan gadget untuk berkarya, berkomunikasi, atau sekadar untuk hiburan.<br />
<br />
Dari hasil pengamatan sementara, mereka yang terlibat dalam ekonomi kreatif di Kota Bandung mencapai ratusan, kini mungkin ribuan orang; umumnya berusia relatif muda, 40-an tahun ke bawah; terdiri dari laki-laki dan perempuan, meski yang dominan laki-laki. Tingkat pendidikan formal mereka tinggi, mengenyam perguruan tinggi. Jaringan bisnis dan sosial-kultural mereka juga tidak lokal, tetapi nasional dan bahkan ada yang global, yang luasnya jaringan itu diperantarai teknologi informasi, yang memang merupakan salah satu atribut yang melekat pada aktivitas orang-orang kreatif ini.<br />
<br />
Akan tetapi, usaha bisnis mereka umumnya dapat digolongkan secara konvensional ke dalam usaha kecil dan menengah. Bentuk organisasinya lebih horizontal-egaliter serta posisi dan peran pekerja dalam usaha fleksibel. Artinya, pembagian kerja lebih menekankan kepada fungsi bukan posisi yang kaku, meski mereka memiliki keahlian yang tinggi. Mereka mengoperasikan model usaha ekonomi pasca fordisme (post-fordism), bercirikan small batch customization (penyesuaian skala kecil), yakni dari uniformitas dan standardisasi jadi produksi fleksibel dan variatif untuk melayani pasar khusus.<br />
<br />
Tentunya pemerintah harus turun tangan untuk terus mendorong agar ekonomi kreatif di Kota Bandung semakin dinamis dan menjadi tumpuan masyarakat dan pendapatan pemerintah kota. Di antara syarat-syarat yang diperlukan yang mesti difasilitasi pemerintah kota: infrastruktur jalan dan transportasi untuk kemudahan mengakses produk ekonomi kreatif; penyediaan penggunaan teknologi informasi yang makin meluas; tempat-tempat untuk berkarya dan pameran; dan pelatihan mengenai kreativitas, produk-produk kreatif, dan manajemen usaha ekonomi.<br />
<br />
Bila keperluan prasarana dan sarana itu bisa disediakan dan diperbaiki, dan mungkin bisa bekerja sama dengan pengusaha dan masyarakat sipil lain, orang- orang kreatif di Kota Bandung akan bertambah dan menghasilkan produk-produk kultural kreatif yang kian bervariasi.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Budi Rajab; <i>Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP Unpad</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-65072590028974735772015-06-29T11:12:00.000+07:002015-06-29T11:12:21.914+07:00Arabisasi dan Tantangan Bangsaa<div style="text-align: center;">
<b>ADJIE SURADJI</b></div>
<br />
Eksistensi Negara Islam di Irak dan Suriah tiba-tiba mendunia. Keinginan memperluas kekuasaan dari Andalusia, Spanyol, sampai Jakarta, Indonesia, menjadi ambisinya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC-Lq7zzacaXFl_TVu5P5DYhC2a_7XtwtWZa8ejbNopnpg40J14JUBFfJiWxFIcl_YTczsQpCTtDErvb3tlSIgV5aWmqZ7GkYTvC6CbXhsRfwjTObGAA3oi5mVmaJoFVjlp4I22t5oRamm/s1600/arabisasi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="281" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC-Lq7zzacaXFl_TVu5P5DYhC2a_7XtwtWZa8ejbNopnpg40J14JUBFfJiWxFIcl_YTczsQpCTtDErvb3tlSIgV5aWmqZ7GkYTvC6CbXhsRfwjTObGAA3oi5mVmaJoFVjlp4I22t5oRamm/s400/arabisasi.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Di Indonesia, ide untuk mendirikan negara Islam-bagian dari imperium Theokrasi Arab-bukan hal baru. Diawali dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak, berlanjut dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah bukti hadirnya gerakan separatis yang ingin mendirikan negara Islam.<br />
<br />
<a name='more'></a>Sekarang lebih dari 15 kelompok ekstrem Islam di Indonesia ingin bersekutu dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dalam korelasi dengan daulah Islamiyah-negara Islam-global.<br />
<br />
Kelompok-kelompok tersebut di antaranya adalah Mujahidin Indonesia Barat (BIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), hingga Laskar Jundullah. Mengapa para "Muslim pribumi" ini masih beranggapan bahwa Indonesia, Tanah Air mereka, sebagai dar-ul-harb alias medan perang?<br />
<br />
Mengapa mereka ingin menerapkan hukum Islam, menjalankan tradisi budaya serta bahasa dan gaya Arab? Apakah kecintaan kepada Arab lebih besar dibandingkan kecintaan pada budaya dan Tanah Air sendiri?<br />
<br />
<b>Arabisasi</b><br />
<br />
Dalam kajian fenomenologi, realitas sosial keinginan menerapkan hukum Islam dan Arabisasi (menganut budaya Arab) adalah bentuk eksoterisme, yaitu perilaku simbolistik yang menerjemahkan agama dalam simbol-simbol budaya.<br />
<br />
Menurut Andree Feillard dan Remy Madinier dalam La Fin de l'Innocence, tak sedikit kaum intelektual yang mengaitkanfenomena Arabisasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagai proses geopolitik, di mana fase radikalisasi keagamaan memang tengah terjadi di Indonesia.<br />
<br />
Ada dua indikasi yang menandai fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang. Pertama, penyederhanaan ideologi. Kedua, manipulasi politik yang berkembang menjadi Islam politik dengan pengaderan terorganisir-melalui pengajaran praktis doktrin negara-agama.<br />
<br />
Namun, apakah benar dengan mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, lantas bisa meningkatkan kesalehan manusia Islam Indonesia?<br />
<br />
Ternyata, budaya Arab berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat "shalihun likulli zaman wa makan". Artinya, Islam relevan untuk segala zaman dan tempat.<br />
<br />
Sebagai ilustrasi, kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas, 24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan.<br />
<br />
Bahkan, ditahannya Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar.<br />
<br />
Kalau Islam tidak lagi menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka?<br />
<br />
Pendekatan Arabisasi secara masif, seperti pemberlakuan penggunaan jilbab bagi anggota Polisi Wanita (Polwan) berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor: 245/III/2015, juga tidak menjamin bisa meng-hijab perilaku pemakainya.<br />
<br />
Bahkan, dari berbagai sumber riset yang dilakukan BPS, CRCS UGM, Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan Mercy Mission-setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir-pertumbuhan Islam di Indonesia justru menurun. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa Arabisasi-pendekatan dengan menggunakan simbol-simbol budaya Arab-tidak efektif jika tidak diikuti keteladanan perilaku moral.<br />
<br />
<b>Semakin berat</b><br />
<br />
Islam Indonesia adalah Islam yang moderat "tawasuth", tidak ekstrem. Hal itu dibuktikan dengan Islam yang menjunjung tinggi multikulturalisme "tasamuh" dan Muslim yang mencintai Tanah Airnya, bukan mencintai tanah di Jazirah Arab. Maka, penting bagi Muslim Indonesia memahami "hubbul wathan minal iman", cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman.<br />
<br />
Menjadi Muslim yang baik berarti menjadi warga negara yang loyal kepada NKRI, menjunjung tinggi nasionalisme dan Pancasila. Sesungguhnya bangsa Indonesia tak perlu mengekor budaya bangsa lain (Arabisasi).<br />
<br />
Eksistensi beberapa kelompok ekstrem Islam-berkiblat kepada budaya Arab, ingin bergabung dengan NIIS atau bahkan ingin menegakkan daulah Islamiyah, harus disikapi dengan bijak. Artinya disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kultur pun mengacu filosofi dasar bangsa Indonesia, yaitu anti kekerasan.<br />
<br />
<b>Tidak identik</b><br />
<br />
Oleh sebab itu, ajaran Islam tidak serta-merta bisa di identikkan dengan budaya Arab. Namun, perlu disadari bersama bahwa di Indonesia masih banyak orang Islam yang lebih gemar mempertontonkan budaya Arab daripada menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar.<br />
<br />
Ke depan, tantangan Islam semakin berat. Hasil riset yang menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan Islam di Indonesia menurun-tak boleh dianggap enteng.<br />
<br />
Bagaimana pun, kehidupan telah memasuki terra incognito-daerah tak dikenal; wilayah masa depan yang tak terpetakan (Alfin Toffler). Di era globalisasi-era informasi global (Third Industrial Revolution) apa pun bisa terjadi. Adanya sebutan Islam Modern dan Islam Tradisional, Islam Moderat dan Islam Fundamental, tidak seharusnya menjadi pembeda. Pengembangan budaya Islam harus tetap bersumber pada Al Quran.<br />
<br />
Banyaknya pribumi (Islam) yang lupa jati diri dan nasionalismenya sebagai warga masyarakat Indonesia-dengan berpakaian, berbicara, bergaya, dan berperilaku, seperti warga Jazirah Arab-pantas dikasihani.<br />
<br />
Sikap hati-hati terhadap infiltrasi budaya asing yang bisa mengaburkan identitas bangsa adalah langkah bijak.<br />
<br />
Selamat berpuasa.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Adjie Suradji; <i>Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-16518428532587996162015-06-29T11:06:00.000+07:002015-06-29T11:06:17.198+07:00Badan Pangan Nasional<div style="text-align: center;">
<b>ADHI S LUKMAN</b></div>
<br />
Gonjang-ganjing harga beras, perlu tidaknya impor, sampai dengan penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus terjadi dan seolah tiada akhir.<br />
<br />
Begitu juga fluktuasi harga pangan lainnya, seperti daging sapi, cabai, bawang merah, dan kedelai. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari operasi pasar, imbauan, hingga pembenahan manajemen pemantauan seperti dilakukan Kementerian Perdagangan melalui monitor harga pangan pokok harian.<br />
<br />
<a name='more'></a>Kompleksitas masalah pangan perlu dibenahi secara terpadu. Kata kuncinya adalah "kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan serta implementasinya" agar kompleksitas masalah itu bisa diatasi.<br />
<br />
Sebenarnya UU Pangan-UU No 18/2012 Pasal 126-129-telah mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas, lembaga ini diharapkan bisa menjadi komandan dalam koordinasi masalah pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga gonjang- ganjing pangan tidak terjadi lagi.<br />
<br />
Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan peraturan presiden (perpres) terkait pembentukan lembaga dimaksud, yakni Badan Pangan Nasional (BPN). Sebagai turunan dari UU Pangan, BPN dirancang punya fungsi koordinasi, pengkajian, perumusan kebijakan, pembinaan, supervisi dan evaluasi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, serta konsumsi dan pengawasan keamanan pangan. BPN juga bisa mengusulkan kepada Presiden agar memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.<br />
<br />
<b>Rekomendasi</b><br />
<br />
Di tengah perbincangan hangat tentang BPN, baik mendukung maupun pesimistis, peran dan fungsi BPN perlu dirumuskan dengan baik. Pertama, pemerintah segera mengesahkan Perpres BPN sesuai amanat UU Pangan. Kedua, untuk melengkapi Perpres BPN, dengan segera diterbitkan perpres tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting agar lebih fokus dan menghindari area abu-abu dalam pengawasan di masyarakat dan pasar.<br />
<br />
Ketiga, menata kembali hubungan kerja pemerintah pusat-daerah di bidang pangan, disesuaikan dengan UU Pangan, khususnya pangan pokok, seperti penetapan pangan lokal, sentra produksi pangan lokal, cadangan pangan lokal dan nasional, harga tingkat produsen dan konsumen, pasokan pangan, pajak, serta kewenangan ekspor-impor.<br />
<br />
Keempat, merampingkan dan menata kembali/melebur lembaga yang selama ini menangani pangan dan segala aspeknya, seperti Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Ketahanan Pangan.<br />
<br />
Kelima, menata lembaga bidang pengawasan keamanan pangan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Pertanian, dinas kesehatan di daerah, dan pengawasan barang beredar. Saat ini pengawasan terkotak-kotak sesuai kewenangannya, seperti pangan segar oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pangan olahan UMKM dan jasa boga melalui dinas kesehatan daerah, sedangkan pangan olahan industri menengah besar oleh BPOM.<br />
<br />
BPN perlu mengkaji dan menetapkan satu lembaga terpadu pengawasan keamanan pangan, mengingat penetapan dan pengawasan keamanan pangan jadi tugas pemerintah serta jaminan keamanan pangan sulit dibedakan apakah pangan segar atau olahan. Apalagi, dengan perkembangan teknologi, akan kian sulit dibedakan mana yang pangan olahan, mana pangan segar.<br />
<br />
Keenam, BPN segera mengevaluasi basis data pangan dan merekonsiliasikan agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Ketujuh, revitalisasi kebijakan/ regulasi pangan dari hulu ke hilir berbasis data rekonsiliasi.<br />
<br />
Kedelapan, bagaimana BPN membangun kepercayaan masyarakat, melalui kebijakan dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal sehingga menjadi lembaga yang kredibel dan bermanfaat. Misalnya, tidak memaksakan pangan pokok beras untuk semua daerah, tetapi disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan setempat, seperti Papua/ Maluku dengan sagunya, Madura dengan beras jagungnya.<br />
<br />
Akhirnya, semua gonjang-ganjing pangan akan sirna dengan adanya BPN yang kredibel.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Adhi S Lukman; <i>Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan </i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-73373111903632843182015-06-27T21:01:00.003+07:002015-06-27T21:01:28.097+07:00Menjadikan Rupiah Berdaulat di NKRI<div style="text-align: center;">
<b>JUNANTO HERDIAWAN</b></div>
<br />
Rupiah stabil dan berdaulat adalah harapan kita semua. Meski demikian, kenyataan tak selalu berjalan seiring dengan harapan. Kita justru menyaksikan sendiri bagaimana nilai tukar rupiah tertekan dalam beberapa waktu terakhir.<br />
<br />
Penyebab utama yang kerap kita dengar adalah karena faktor eksternal sehubungan dengan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed. Hal tersebut telah mengakibatkan dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia, termasuk mata uang rupiah.<br />
<br />
<a name='more'></a>Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran. Ini artinya, apabila permintaan terhadap dollar AS lebih tinggi, secara alamiah dollar AS akan menguat. Kalau kita ingin menjadikan rupiah lebih stabil dan menguat, jawaban sebenarnya sederhana, yaitu kurangi permintaan dollar AS, tingkatkan permintaan atau penggunaan rupiah.<br />
<br />
Namun, masalahnya tentu tak sesederhana itu. Sejak 2011, kondisi di pasar valuta asing (valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas, terutama dollar AS, daripada pasokannya. Tingginya permintaan dollar AS itu didasari oleh beberapa alasan, antara lain untuk kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri, dan penjualan barang jasa dalam satuan valuta asing.<br />
<br />
Repotnya, guna memenuhi kebutuhan valas di dalam negeri, sekitar 80 persen pelaku pasar masih bertransaksi di pasar spot atau melakukan penjualan dan pembelian secara tunai atau langsung. Baru sekitar 20 persen pelaku pasar yang melakukan transaksi bukan spot, seperti melalui forward atau swap (transaksi dengan janji membayar di kemudian hari).<br />
<br />
Selain itu, baru sekitar 26 persen pelaku transaksi valas yang melakukan lindung nilai (hedging). Tentu saja, kondisi seperti di atas dapat menyebabkan permintaan valas melonjak dalam suatu waktu dan pelaku pasar menjadi rentan terhadap risiko nilai tukar yang bergejolak.<br />
<br />
Di sisi lain, kebutuhan pembayaran utang luar negeri kita juga meningkat. Hal ini seiring dengan jumlah utang luar negeri yang naik signifikan. Tahun 2005, utang luar negeri korporasi atau swasta berjumlah sekitar 80 miliar dollar AS. Pada 2015, jumlahnya meningkat dua kali lipat hingga mencapai sekitar 160 miliar dollar AS.<br />
<br />
Selain itu, rasio pembayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor atau yang dikenal dengan istilah debt service ratio (DSR) juga meningkat dari sekitar 15 persen pada 2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015. Kondisi ini dapat mengakibatkan kerentanan pada kondisi makroekonomi.<br />
<br />
<b>Simbol kedaulatan</b><br />
<br />
Selain kedua faktor di atas, secara geoekonomi kita juga melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing, khususnya dollar AS, dalam berbagai transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam praktik sehari- hari, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan menggunakan rupiah dan cenderung memilih menggunakan mata uang asing.<br />
<br />
Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antarpenduduk Indonesia secara nonbank jumlahnya cukup tinggi. Bayangkan, angkanya mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun setiap bulan. Hal ini berarti sekitar Rp 936 triliun per tahun. Sementara itu, perputaran uang kertas asing di Indonesia mencapai sekitar Rp 10 triliun per bulan.<br />
<br />
Tingginya transaksi dalam dollar atau "dolarisasi" tersebut telah merambah ke segala sektor ekonomi, mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur, hingga perdagangan. Fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI tak bisa dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi, tetapi dapat dilihat sebagai bentuk "ancaman" atau soft invasion terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara.<br />
<br />
Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Karibia, dan Pasifik membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya justru menggusur peran mata uang lokal. Ada premis yang mengatakan bahwa mata uang yang kuat akan menggeser yang lemah.<br />
<br />
Beberapa kebijakan perlu ditempuh untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas. Pertama, upaya melakukan pendalaman pasar keuangan. Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku pasar memiliki lebih banyak pilihan instrumen dan kemudahan dalam bertransaksi sehingga mengurangi risiko. Kedua, monitoring yang ketat terhadap utang luar negeri, khususnya di sektor korporasi. Utang luar negeri swasta yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko nilai tukar, likuiditas, dan terlalu banyak berutang (over leveraging).<br />
<br />
Ketiga, dan yang tak kalah pentingnya, adalah perlunya masyarakat untuk mendukung penggunaan mata uang rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI. Undang-Undang Mata Uang (UU No 7/2011) serta Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI telah secara tegas mengatur hal tersebut.<br />
<br />
Menjadikan rupiah sebagai mata uang yang stabil dan berdaulat memang bukan langkah mudah. Tekanan terhadap rupiah ditentukan oleh banyak hal yang saling berkelindan. Langkah meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengatasi defisit transaksi berjalan tidak dapat ditawar-tawar lagi.<br />
<br />
Namun, di sisi lain, upaya menjadikan rupiah berdaulat di negeri sendiri juga perlu didukung. Mata uang rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia.<br />
<br />
Kita pernah memiliki pengalaman pahit saat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena rupiah tidak lagi digunakan untuk bertransaksi di sana.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Junanto Herdiawan, <i>Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-2470872385772019112015-06-27T20:57:00.001+07:002015-06-27T20:57:24.420+07:00Meredam Spekulan Pangan<div style="text-align: center;">
<b>GATOT IRIANTO</b></div>
<br />
Menjelang hari besar keagamaan, harga pangan selalu melambung diikuti kelangkaan (shortage) pasokannya sehingga daya beli masyarakat semakin melemah.<br />
<br />
Fenomena ini dipastikan bukan karena mekanisme demand and supply (kebutuhan dan pasokan) semata. Argumennya, kejadiannya terus berulang dengan besaran intensitas, frekuensi, dan durasi yang terus meningkat. Mengapa pemerintah "tidak berdaya" menyelesaikan masalah tersebut sehingga spekulan pangan merajalela dan rakyat merana?<br />
<br />
<a name='more'></a>Berapa kenaikan harga yang wajar pada momen tersebut? Wajarkah harga beras di pasar pada akhir Januari 2015 melampaui Rp 12.000 per kilogram, sementara Februari 2015 panen raya? Benarkah turbulensi harga beras saat itu untuk menekan pemerintah agar melakukan impor, karena stok beras di Vietnam dan Thailand melimpah tanpa pembeli?<br />
<br />
Wajarkah harga bawang merah yang biaya produksinya Rp 15.000 per kg harganya menyentuh Rp 40.000 per kg? Mengapa harga daging ayam melonjak dua kali lipat? Benarkah auktor intelektualis dan penikmat utama gejolak harga bahan pangan ini adalah spekulan pangan? Benarkah harga padi, jagung, kedelai, daging sapi, gula, daging ayam, cabai, dan bawang merah juga dikendalikan mereka, dan didukung pembentukan opini publik di media? Bagaimana penyelesaian menyeluruhnya?<br />
<br />
<b>Upaya khusus</b><br />
<br />
Solusi fundamentalnya adalah memenuhi pasokan pangan secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas melalui: (i) upaya khusus (upsus) percepatan swasembada pangan dan (ii) peraturan presiden tentang perdagangan bahan pangan pokok yang mengatur tentang: harga, volume, dan waktu penyimpanan bahan pangan merupakan solusi fundamentalnya.<br />
<br />
Pilihan pemerintah membentuk upsus pajale (padi, jagung, dan kedelai), dan upsus pangan lainnya, seperti daging sapi, gula, cabai, dan bawang merah patut diapresiasi. Gerakan upsus yang masif dan terstruktur dari pemerintah pusat, sampai tingkat operasional lapangan (penyuluh, pengairan, dan koordinator statistik kecamatan serta badan pembina desa) menyebabkan akselerasi pencapaian swasembada bahan pangan pokok dapat dimaksimalkan kinerjanya.<br />
<br />
Hasilnya sangat signifikan antara lain: luas tanam padi periode Oktober 2014- Maret 2015 meningkat lebih dari 500.0000 hektar dibandingkan periode sama 2013/2014. Terjadi peningkatan luas panen, produktivitas, produksi tertinggi dalam sejarah. Jika konsisten, produksi padi nasional diprediksi melampaui 76 juta ton gabah kering giling (GKG) dan Indonesia berdaulat atas beras tahun 2015.<br />
<br />
Pada 2016 dan 2017 pemerintah membidik swasembada jagung dan kedelai. Penyelewengan pupuk dapat direduksi secara signifikan. Untuk memaksimalkan serapan gabah oleh Perum Bulog dan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), TNI telah memfasilitasi petani untuk menjual gabah langsung ke Bulog dan PIHC agar pemerintah kuat cadangan pangannya untuk stabilisasi harga dan pasokan dan petani tidak menjadi obyek eksploitasi rentenir.<br />
<br />
<b>Perpres perdagangan pangan pokok</b><br />
<br />
Pemerintah harus segera melaksanakan perintah amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 25 Ayat (3) dan Pasal 29 Ayat (3) yang menyatakan "barang kebutuhan pokok dan barang penting ditetapkan dengan Peraturan Presiden" dan "ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden".<br />
<br />
Melambungnya harga cabai, telur, dan ayam potong menjelang Ramadhan dan hari raya apa pun argumennya tak bisa ditoleransi. Pemerintah harus hadir melindungi rakyat dari eksploitasi spekulan pangan, bukan membiarkan dengan menganggap melonjaknya harga dan pasokan bahan pangan sebagai hal wajar.<br />
<br />
Paling tidak ada tiga hal yang perlu diatur, yaitu volume maksimum bahan pangan pokok yang dapat disimpan, harga maksimum yang diizinkan, serta waktu penyimpanan maksimum. Besaran volume bahan pangan maksimum dapat ditetapkan jika pemerintah provinsi, kabupaten/kota memiliki data time series penjualan bahan pangan pokok oleh kios dan distributor bulanan. Harga maksimum dapat dihitung lebih sederhana dari biaya produksi plus keuntungan ditambah batas toleransi yang diizinkan dalam perayaan hari besar keagamaan.<br />
<br />
Sementara, untuk waktu penyimpanan, harus dicari kombinasi yang ideal agar stok tidak bergeser menjadi penimbunan. Tentu jenis komoditas juga harus diperhitungkan. Untuk beras sekitar dua bulan adalah periode yang optimal. Tim pengendali inflasi daerah (TPID) harus mengambil peran signifikan dalam mengelola pasokan dan harga bahan pangan pokok. Mekanisme pengawasan mutlak diintensifkan dan sinergi pemerintah bersama masyarakat menjadi kuncinya.<br />
<br />
Pengalaman penangkapan penyimpangan pupuk bersubsidi oleh aparat TNI dan Polri sebagian besar bersumber dari informasi atau laporan masyarakat. Pemerintah harus melakukan audit stok gudang dengan memanfaatkan informasi masyarakat. <br />
<br />
<b>Transparansi publik dan perluasan peran Bulog</b><br />
<br />
Kewajaran atas harga bahan pangan pokok di setiap strata (distributor dan kios) pada setiap hari besar keagamaan perlu ditetapkan pemerintah secara transparan, sehingga masyarakat dapat membantu melakukan pengawasan di lapangan. Penegakan aturan harga maksimum, volume maksimum, dan waktu maksimum dalam distribusi bahan pangan pokok menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam mematahkan dominasi spekulan pangan.<br />
<br />
Sertifikasi gudang pangan dengan memberikan "atribut gudang" berupa koordinat lokasi, kapasitas gudang, kontak pengelola, dengan mewajibkan pemiliknya memberikan laporan ke pemerintah secara periodik harus segera dilakukan. Selain memudahkan pemantauan, hal ini juga akan mempersempit ruang gerak spekulan pangan dalam "menggoreng" harga dan pasokan bahan pangan. Pemerintah kabupaten/kota harus bisa memastikan hanya gudang resmi yang diizinkan menyimpan bahan pangan pokok.<br />
<br />
Selanjutnya, data real time pasokan dan harga pangan dapat diakses pengambil kebijakan dengan cepat sehingga para pengambil keputusan dapat segera melakukan pengendalian harga dan pasokan sebelum terjadi gejolak. Importasi pangan dapat dilakukan dalam hal terpaksa, namun harus dilakukan institusi pemerintah, misalnya Bulog. Argumennya, margin keuntungan harus kembali ke pemerintah sehingga Bulog bisa dimintai pertanggungjawabannya jika terjadi turbulensi harga dan pasokan pangan.<br />
<br />
Pengembalian peran Bulog ke fungsi awal sebagai penyangga, stabilisator harga, dan pasokan pangan harus segera dilakukan agar rakyat tidak dijadikan sapi perah dan eksploitasi para spekulan pangan. Percepatan pembangunan tol laut perlu disegerakan agar masyarakat memperoleh suplai dan harga pangan yang wajar sehingga mampu meredam spekulan. Kebutuhan lainnya juga dapat diberikan sehingga masyarakat yang bermukim nun jauh di sana mendapatkan pelayanan atau perlakuan sama tanpa diskriminasi.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Gatot Irianto, <i>Ketua Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai Nasional</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5878481066045474260.post-74909129838646003542015-06-27T20:50:00.004+07:002015-06-27T20:50:48.505+07:00Membuat Jera Koruptor<div style="text-align: center;">
<b>LUKY DJANI</b></div>
<br />
Sejak tahun 2004 hingga kuartal pertama 2015, 311 kasus dan tak kurang dari 460 residivis telah dieksekusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.<br />
<br />
Saat ini proses persidangan untuk kasus korupsi dengan pelaku, di antaranya, Fuad Amin, Sutan Bhatoegana, dan Waryono Karyo masih akan berlanjut. Mereka boleh jadi bukan penyelenggara negara terakhir yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).<br />
<br />
<a name='more'></a>Gelombang proses penegakan hukum akan terus berlanjut sepanjang korupsi masih tetap jadi kebiasaan atau kelaziman dalam pemerintahan. Akan tetapi, walau sudah beratus orang diganjar sanksi pidana dan denda, dengan mengaitkan tindakan korupsi dengan pencucian uang yang berarti menambah berat sanksi yang diterima para koruptor, korupsi tetap bersemi.<br />
<br />
Dampak dari terapi kejut terhadap pelaku korupsi belum membuat mereka kapok. Ada yang berpendapat sanksinya masih terlalu ringan sehingga korupsi masih diyakini sebagai kegiatan yang <i>low cost, low risk and high profit</i> alias tanpa usaha tapi untung terus.<br />
<br />
Oleh karena itu, hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera. Referensi yang kerap dijadikan acuan adalah hukuman mati di Tiongkok yang diyakini dapat meredam korupsi. Atau, hukuman berlapis yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Timur pasca runtuhnya tembok Berlin dan kekuasaan Uni Soviet.<br />
<br />
Pendekatan efektif lain adalah "operasi cuci gudang" yang dilakukan di Italia pada awal dekade 1990-an. Pemberantasan korupsi dipimpin oleh jaksa Antonio Di Pietro. Ia berhasil menggelandang tiga mantan perdana menteri dan lebih dari 12.000 orang diinvestigasi yang berujung pada penghukuman lebih dari 5.000 pebisnis dan politikus sepanjang Desember 1992 hingga Agustus 1999. Operasi pembersihan ini dikenal dengan nama <i>Operation Clean Hands</i> (Mani Pulite).<br />
<br />
Akan tetapi, mengapa para penyelenggara negara di Indonesia beserta kaki tangannya tidak jera dan tetap saja korupsi?<br />
<br />
<b>Akar korupsi di Indonesia</b><br />
<br />
Korupsi, menurut para sejarawan, telah tumbuh subur bahkan sebelum masa pemerintahan kolonial. Saat itu, konstelasi politik masih patrimonial dan feodal sehingga secara "hukum" belum dapat dikategorikan sebagai korupsi.<br />
<br />
Gratifikasi pada masa itu disebut upeti dan bagian dari "tradisi" hierarkis simbol loyalitas bawahan kepada junjungannya. Memberi upeti bukanlah pelanggaran hukum. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan ke dalam "birokrasi modern" dalam naungan pemerintah kolonial walaupun birokrat disebut sebagai pamong praja, bukan lagi pangreh praja atau abdi dalem.<br />
<br />
Etos dan karakter birokrasi demikian dilanjutkan pada masa kemerdekaan dan Orde Baru, bahkan berlanjut hingga sekarang (Tydey, 2012). Begitu juga dengan varian penyimpangan kekuasaan lain, seperti manipulasi aset dan penggelembungan nilai atau penyunatan anggaranKorupsi terjadi sebelum pemerintahan modern yang dinamakan Indonesia terbentuk. Kelompok sosial dan politik lebih dulu ada sebelum pemerintah, dan-celakanya-nilai, etos, relasi telah hadir dan "dilestarikan" sehingga menjadi aturan main yang mendominasi aturan formal yang berlaku. Memang ada perubahan institusional dan kerangka hukum, tetapi seperti pengamatan Silvia Tydey di salah satu provinsi di Indonesia timur, apa yang disebut shadow government oleh William Reno (2008) atau <i>state of non-existence</i> oleh Kalir dan Wilson (2010) menjadi fondasi berlangsungnya pemerintahan.<br />
<br />
Faktor kedua adalah secara umum organisasi politik belum mandiri dari segi pendanaan. Tumpuan pendanaan pada donatur kakap dan kerap menjadi patron finansial kelompok tersebut. Cara lain adalah dengan membuat "kendaraan usaha" untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah atau mengurusi konsesi sumber daya alam. Namun, jalan termudah adalah menjadi broker yang mengharap rente dari pelayanan sebagai penengah.<br />
<br />
Dua faktor di atas menjadi fondasi korupsi sebagai kejahatan terorganisasi. Kerangka "pemerintahan bayangan" dengan etos dan langgam yang telah mengakar selama ratusan tahun memfasilitasi manipulasi terhadap anggaran negara ataupun sumber daya alam. Prosesi ini dilakukan secara terorganisasi dan sinergis antarkelompok. Tanpa mengatasi kedua problem tersebut, pemberantasan korupsi akan terus berhadapan dengan kasus yang berulang. <br />
<br />
<b>Masyarakat permisif</b><br />
<br />
Di sisi lain, masyarakat pun cenderung permisif terhadap korupsi. Warga dari struktur sosial bawah memandang korupsi sebagai mekanisme yang menindas mereka. Terkadang, untuk mendapatkan layanan publik, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yang tentu saja memberatkan kondisi ekonomi kelaurga.<br />
<br />
Akan tetapi, temuan Mungiu-pippidi (1998) mengatakan bahwa warga di negara-negara berkembang cenderung menerima kondisi ini karena ketiadaan pilihan layanan publik. Mereka paham bahwa hanya dengan memberikan uang pungli, urusan mereka dapat dipercepat.<br />
<br />
Kelompok warga dari strata sosial yang lebih tinggi, kelas menengah, juga terbawa pada kondisi apatis dan cenderung takluk pada iklim koruptif. Berbeda dengan warga dari strata sosial bawah, kelas menengah dan atas menghindari bertele-telenya proses layanan dengan memberikan pungli. Selain itu, bagi mereka yang bisnisnya tidak bersentuhan dengan pemerintah memilih menjauhi interaksi dengan "instansi terkait".<br />
<br />
Tanpa melumerkan apatisme publik, akan sangat sulit untuk mendorong pelibatan warga secara aktif agar mereka benar-benar terlibat dalam membendung korupsi. Sikap apatisme dan cenderung berkompromi dengan sistem koruptif jadi lahan subur tindak korupsi bersemai.<br />
<b><br /></b>
<b>Melanjutkan ikhtiar</b><br />
<br />
Selama ini tak dimungkiri KPK telah menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Namun, sebagai institusi menjadi bersih sendiri ternyata tidak cukup. Pengalaman akhir-akhir ini yang dihadapi KPK menunjukkan institusi ini berjuang nyaris sendirian<br />
<br />
Jika kita menyadari bahwa korupsi politik dan tumpulnya penegakan hukum menjadi perekat dari kejahatan terorganisasi korupsi, mencari politikus dan aparat penegak hukum di luar KPK yang memiliki integritas dan komitmen adalah prioritas. Memang, bergandengan tangan dengan mereka-khususnya dengan politikus-pada awalnya membuat canggung.<br />
<br />
Namun, dari pengamatan penulis, masih ada politikus muda anggota legislatif daerah yang mumpuni. Penulis sangat yakin masih ada politikus, walau minoritas, yang memiliki komitmen membuat Indonesia berintegritas dan berkeadilan.<br />
<br />
Begitu juga dengan menggerakkan masyarakat. Perlu energi ekstra untuk mengajak warga aktif dan berani meninggalkan kebiasaan "pasrah" terhadap sistem koruptif. Pembenahan korupsi memerlukan pelibatan sebanyak mungkin elemen bangsa.<br />
<br />
Merambahnya korupsi penting dilokalisasi dengan membangun tidak hanya sistem, tetapi juga gerakan publik secara masif. KPK perlu memproduksi semangat kolektif guna meredam korupsi. Ajakan fastabiqul khairat, berlomba-lomba berbuat kebaikan, haruslah menggugah elemen bangsa untuk memberantas korupsi.<br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Luky Djani, <i>Peneliti Institute for Strategic Initiatives</i></div>
Media Hehehttp://www.blogger.com/profile/16289435737753568693noreply@blogger.com0