23/06/15

Stabilisasi Harga Pangan

Dwi Andreas Santosa

New England Complex Systems Institute, Cambridge, Amerika Serikat, melakukan studi menarik berkaitan dengan krisis pangan dengan ketidakstabilan politik di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara teori, kerusuhan sosial merupakan refleksi dari berbagai faktor utama, di antaranya kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Ketiga faktor tersebut merupakan buah dari kegagalan sistem politik pemerintah dalam jangka panjang. Berbeda dengan teori tersebut, New England Complex Systems Institute (NECSI) menemukan bahwa kerusuhan sosial terjadi karena kegagalan pemerintah dalam jangka pendek untuk memberikan jaminan keamanan bagi penduduknya, yang dapat berupa proteksi terhadap ancaman dari luar hingga jaminan kecukupan pangan.

Pada tahun 2008 dunia mengalami krisis pangan yang ditandai dengan kenaikan harga jagung, kedelai, beras, dan gandum. Harga pangan meningkat rata-rata 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000, beberapa bahkan 200-300 persen. Krisis pangan 2008 menimpa 37 negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia kemudian dikeluarkan dari daftar itu karena iklim kemarau basah yang menyelamatkan produksi padi tahun tersebut. Tercatat 60 kerusuhan sosial terjadi di 30 negara di dunia dan 84 orang meninggal.

Pada tahun 2009 kondisi stok pangan dunia pulih dan indeks harga pangan turun drastis dari 220 menjadi 140. Masa bulan madu tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun 2010 indeks harga pangan sudah berada di posisi ke-170. Pada tahun tersebut NESCI membuat laporan tentang bahaya krisis pangan dan keterkaitan erat antara harga pangan, kerusuhan sosial, dan instabilitas politik (Lagi dan Bar-Yam, 2010). Dunia membiarkan harga tetap liar dan indeks harga pangan tahun 2011 menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 230, melampaui titik kritis sebesar 210.

Indeks harga pangan yang tinggi tersebut dengan segera melibas banyak negara berkembang terutama yang sangat tergantung pada impor pangan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Banyak rezim dan pemerintahan di wilayah tersebut runtuh. Kejadian itu dikenal dengan istilah Arab Spring (Musim Semi Arab) yang dalam perjalanannya tidak lagi berupa "musim semi", tetapi musim kehancuran politik, ekonomi, kohesi sosial, infrastruktur, dan bahkan hancurnya berbagai peninggalan peradaban manusia yang agung.

Di tahun tersebut dalam tempo yang sangat singkat belasan ribu orang meninggal di Libya dan di negara-negara lain. Pada tahun-tahun berikutnya kekacauan tereskalasi yang menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan jutaan terpaksa meninggalkan negaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk dan tidak tersembuhkan sampai saat ini.

Stabilisasi harga

Berkaitan dengan uraian di atas, sangat tepat apa yang disampaikan Presiden Jokowi yang menaruh perhatian khusus terhadap potensi krisis/rawan pangan dan upaya stabilisasi harga pangan. Dua peraturan presiden (perpres) disusun, yaitu Perpres tentang Penetapan Harga dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting serta Perpres tentang Badan Pangan Nasional.

Pada perpres pertama yang telah ditandatangani Presiden Jokowi, pemerintah akan melakukan pengawasan dari produksi, distribusi, hingga di tangan konsumen jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting. Jenis barang kebutuhan pokok yang akan diatur adalah beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan bandeng, ikan kembung, dan ikan tongkol/tuna/cakalang (Setkab, 18/6/2015).

Perpres kedua tentang Badan Pangan Nasional merupakan turunan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Lembaga tersebut memiliki enam fungsi utama, yaitu fungsi perumusan kebijakan, pelaksanaan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi, pengelolaan data dan informasi pangan, serta pembinaan dan pengawasan. Badan Pangan Nasional akan mengoordinasikan aktivitas badan usaha milik pemerintah dari produksi, pengadaan, penyimpanan, distribusi, hingga stabilisasi harga pangan pokok.

Sulit diharapkan bahwa kedua perpres tersebut akan efektif dalam jangka pendek untuk meredam gejala kenaikan harga yang terjadi saat ini ataupun menjelang Lebaran nanti. Dalam jangka panjang, kedua perpres tersebut berpotensi bertabrakan satu sama lain karena mengurus hal yang hampir sama sehingga memicu masalah dalam koordinasi dan tumpang tindih kebijakan antar-kementerian dan lembaga terkait.

Intervensi sektor pangan

Selama 30 tahun terakhir ini, rekomendasi lembaga-lembaga internasional berkaitan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan hampir selalu mengacu pada tiga hal: 1) hindari intervensi langsung terhadap pasar melalui integrasi sistem pangan nasional ke sistem pangan global dan liberalisasi pasar, 2) bantu masyarakat kurang mampu melalui jaring pengaman sosial, dan 3) promosikan instrumen manajemen risiko berbasis pasar (Gouel, 2015).

Tiga kaidah tersebut secara masif telah diadopsi pemerintah selama 15 tahun terakhir ini. Melalui adopsi tersebut, dengan cepat peran pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan pangan diambil alih oleh kalangan swasta. Semakin lama swasta yang bergerak di sektor pangan semakin besar dan kuat. Importir juga memainkan peran yang semakin lama semakin besar. Hal itu yang menyebabkan terpuruknya sektor pertanian pangan di Indonesia, terjadi fluktuasi harga pangan yang cukup tinggi, dan peningkatan impor pangan sebesar 346 persen selama 10 tahun terakhir ini.

Berbeda dengan saran dan rekomendasi analis kebijakan dan lembaga pangan dunia, negara-negara yang terbukti mampu menjaga stabilitas harga pangan dan pejal terhadap krisis pangan justru yang melakukan intervensi sangat kuat terhadap sektor pangan, stok dan perdagangan pangan, misalnya India dan Tiongkok.

Manmohan Singh awal tahun 2009 berhasil terpilih lagi menjadi perdana menteri India karena kesuksesannya melindungi India dari krisis pangan tahun 2007/2008. Ketika harga beras dunia meningkat 160 persen, harga beras di India hanya meningkat 7,9 persen (Gouel, 2013).

Sejarah kebijakan stabilisasi harga pangan antara India dan Tiongkok dengan Indonesia sangat berbeda. Kedua negara tersebut menjalankan kebijakan stabilisasi harga sudah sangat lama dan secara konsisten dijalankan. India mengawali sejak tahun 1955 dengan mengeluarkan The Essential Commodities Act yang praktis tidak berubah kecuali amandemen kecil terkait dengan jenis dan jumlah barang yang dilindungi. Undang-undang tersebut memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah dan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.

Di Tiongkok pada awalnya pangan pokok hanya boleh dibeli dan dijual oleh pemerintah. Meskipun telah berubah, sektor pangan tetap menjadi salah satu sektor yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian, dari sisi legislasi pengendalian harga melalui perpres tidak cukup kuat, apalagi terjadi disharmoni antara satu peraturan dan peraturan lain. Pembentukan kelembagaan pangan yang kuat dengan kewenangan besar jauh lebih penting dari sekadar penerbitan perpres pengendalian harga.

Hal lain yang sangat penting, setiap kebijakan terkait pengendalian harga pangan tidak akan pernah berjalan apabila sisi produksi tidak dibenahi. India mampu melakukan pengendalian harga beras melalui pelarangan ekspor beras non-Basmati sehingga terjadi peningkatan stok domestik. Di Indonesia, stok beras justru terus menurun selama tiga tahun terakhir ini, dari 7,4 juta ton (awal tahun 2013), 6,45 juta ton (2014), menjadi 5,5 juta ton (2015), dan diperkirakan akan menurun lagi sebesar 15 persen pada akhir tahun 2015 (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3/2015).

Selama ini pembenahan sisi produksi selalu top-down dan bersifat charity melalui bagi-bagi pupuk, benih, traktor, pompa air, serta alat dan mesin pertanian (alsintan) lainnya. Kebijakan tersebut terbukti tidak efektif, yang dicirikan dengan stagnasi produksi dan impor yang membesar. Kebijakan perlu fokus ke peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan petani. Ketika kesejahteraan petani meningkat, kegairahan bertani dan ketertarikan di dunia pertanian meningkat sehingga produksi secara otomatis meningkat.

Apabila sisi produksi tidak berhasil dibenahi, upaya stabilisasi harga pangan akan jadi "isapan jempol belaka".

Dwi Andreas Santosa; Guru Besar IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar