Dodi Mantra
Tanah adalah tempat di mana manusia berpijak dan menumbuhkan banyak tanaman untuk memenuhi kebutuhan. Lagi-lagi, hanya dalam kondisi tertentu tanah menjadi kapital.
Demikianlah, kapitalisme tak dapat dipahami hanya sebatas sebuah bentuk modus produksi teknis dalam mencipta barang yang diperjualbelikan, yang terisolasi dari relasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Modus produksi kapitalis, di mana fungsi kapital tercipta melalui pola sirkuler dari uang jadi komoditas dan jadi uang lagi, tak akan dapat bekerja tanpa ditopang penciptaan kondisi-kondisi tertentu di dalam kehidupan masyarakat.
Negara sebagai entitas yang lahir seiring kemunculan kapitalisme memainkan peran besar dalam penciptaan kondisi-kondisi yang menopang bekerjanya sirkulasi kapital. Tanpa negara, sebagai sebuah entitas politik, tak akan ada kuasa yang melindungi kepemilikan pribadi atas alat produksi sehingga kondisi ketidaksetaraan sebagai syarat mutlak bagi pertukaran kapitalis tidak akan tercipta.
Hanya melalui regulasi dan kontrol negara, hidup masyarakat secara total dan sistematis dapat digerakkan, dididik, dan didisiplinkan untuk menjadi pasukan pekerja yang menopang secara berkelanjutan bekerjanya modus produksi yang mensyaratkan eksploitasi ini.
Kemunculan dan kiprah institusi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah manifestasi nyata dari pusat-pusat simpul politik yang mengelola dan memastikan kelancaran sirkulasi kapital pada skala global. Melalui simpul-simpul politik ini, ragam kondisi dicipta pada skala global untuk dapat menopang bekerjanya sirkuit kapital yang menjangkau kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Dalam bingkai inilah, modus kuasa WTO dalam perhelatan akbarnya di Bali, Desember ini, harus dipahami dan diletakkan.
Sebagai simpul politik pengelola arus kapital global, kiprah WTO selama ini secara efektif telah mencipta kondisi-kondisi yang menopang kelancaran bekerjanya sirkuit kapital pada skala global. Lebih dari itu, simpul politik ini bahkan dapat menciptakan basis legal dan institusional bagi kelancaran sirkuit kapital global melalui kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas yang bersifat mengikat.
Adalah kondisionalitas utang yang selama ini dipahami sebagai modus kuasa di mana WTO menjalankan perannya sebagai simpul politik yang mencipta kondisi-kondisi bagi kelancaran sirkulasi kapital global. Sebagai bagian dari tiga serangkai dengan IMF dan Bank Dunia, WTO memainkan peran dalam mengeksekusi syarat utang yang diberikan oleh kedua lembaga tersebut dengan menciptakan kondisi perdagangan yang terbuka di banyak masyarakat dunia.
Akan tetapi, gejolak krisis selama dua dekade terakhir menjadikan peran simpul politik WTO melalui modus kondisionalitas ini dinilai banyak pihak semakin kehilangan efektivitas kuasanya. Negosiasi dalam Putaran Doha, yang terus mengalami kemandekan sejak 2001, merupakan landasan utama dari pandangan banyak pihak yang menilai WTO makin kehilangan tajinya. Diiringi kecenderungan merebaknya liberalisasi perdagangan dalam skema regional dan bilateral, semakin mencuat pandangan yang membanalkan peran dan posisi WTO sebagai institusi internasional yang menopang tatanan dunia kapitalisme neoliberal.
Modus normalisasi
Mendangkalkan eksistensi WTO hanya sebagai ajang seremonial negosiasi yang tak mampu melahirkan kesepakatan perdagangan bebas multilateral merupakan wujud dari kelalaian analisis dalam mencermati transformasi modus kuasa WTO sebagai simpul politik yang menopang kelancaran sirkulasi kapital global. Pandangan ini juga manifestasi nyata dari usangnya bingkai kondisionalitas dalam memahami modus kuasa WTO selama satu dekade terakhir.
Dicermati dari geliat dan gerak-gerik WTO, terutama sejak dibukanya Putaran Doha 2001, tampak jelas bahwa modus kuasa yang dijalankan simpul politik ini mengalami transformasi yang sangat mendasar. Bahkan jauh lebih mendasar ketimbang modus semi-paksaan ala kondisionalitas, yang selama ini mendominasi medan analisis dan perlawanan terhadapnya.
Bergeser dari modus kondisionalitas, gerak-gerik simpul politik WTO sebagai pengelola sirkuit kapital global selama satu dekade terakhir telah menyentuh suatu bentuk modus kuasa yang tidak hanya mencipta kondisi penopang bagi sirkulasi, tetapi juga telah mencipta kehidupan dan bentuk kehidupan yang dianggap normal dan dihasrati masyarakat di berbagai belahan dunia.
Alih-alih memaksa masyarakat di suatu negara untuk menyepakati perdagangan bebas, kiprah WTO sebagai simpul politik hari ini bergerak ke dalam ranah penciptaan hidup dan bentuk kehidupan di mana kapitalisme dinormalkan. Bahkan dihasrati sebagai bentuk kehidupan ”yang memang seharusnya” oleh masyarakat itu sendiri.
Secara lebih spesifik, dapat dicermati dengan jelas bagaimana WTO sebagai simpul politik yang menopang kelancaran dari kapitalisme neoliberal global bergeliat untuk mencipta kondisi yang dibutuhkan bagi jejaring produksi global, sebagai corak pengorganisasian produksi yang spesifik dan hegemonik pada era kontemporer. Dikemas dalam bingkai Bantuan untuk Perdagangan (Aid for Trade), representasi makna ideal atas partisipasi dalam jejaring produksi global dinormalkan, dimapankan, dan direproduksi ke dalam kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Melalui dana yang dikumpulkan dari negara dan lembaga ”donor,” WTO mengelola pelaksanaan program-program penciptaan dan normalisasi bentuk kehidupan pada beragam masyarakat di dunia. Pada 2011, tercatat 33,6 miliar dollar AS dikucurkan dalam bingkai Bantuan untuk Perdagangan (WTO, 2013) untuk membiayai empat kelompok program. Mulai dari aspek regulatif sampai kepada pendidikan dan pelatihan, di mana modus kuasa normalisasi bentuk kehidupan oleh WTO ini dijalankan.
Mencipta kehidupan masyarakat yang compatible untuk dapat menopang kelancaran sirkuit kapital global, yang hari ini berjalan secara berjejaring dan berantai, adalah target utama dari modus kuasa ini. Membuat kondisi dalam kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang menjadi lebih terampil, terdidik, memiliki akses terhadap kapital dan infrastruktur yang memadai sehingga dapat berpartisipasi ke dalam jejaring produksi global yang mensyaratkan standardisasi dan kelancaran arus informasi, adalah tujuan utama dari program-program Bantuan untuk Perdagangan ini.
Mewujud ke dalam ribuan program teknis yang dijalankan bukan hanya oleh lembaga pemerintah penerima ”bantuan,” melainkan juga oleh lembaga multilateral, sektor swasta, dalam skema kerja sama lintas sektor publik-swasta, bahkan oleh organisasi masyarakat sipil, semakin jelas bahwa produksi bentuk kehidupan masyarakat yang menjadi sasaran dari modus kuasa WTO hari ini. Sektor pangan dan pertanian menjadi sasaran utama dari modus kuasa WTO pascakrisis.
Dikemas dalam ”Paket Bali,” di mana tiga agenda dalam wujud fasilitasi perdagangan, pertanian, dan isu terkait dengan peningkatan kapasitas negara-negara miskin menjadi fokus pembahasan utama dari Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali 2013, simpul politik ini terus bekerja dalam modus kuasa penciptaan kehidupan yang menopang sirkulasi kapital global.
Kebuntuan negosiasi yang sulit melahirkan kesepakatan multilateral hanya persoalan perhitungan teknis, yang pada dasarnya adalah pengelola politik bagi kelancaran sirkulasi kapital pada lingkup nasional negara-negara angggotanya.
Terlepas dari itu semua, perdagangan bebas telah dinormalkan sebagai prinsip dan praktik yang ideal, hanya saja ”belum waktunya”. Ketika bentuk kehidupan ini telah dinormalkan dan dimapankan, tanpa perlu paksaan masyarakat sendiri yang akan menghasrati dan menata dengan sendirinya kehidupan mereka dalam bingkai-bingkai yang telah disediakan.
Berlandaskan pemahaman atas transformasi modus kuasa inilah, eksistensi dan perhelatan akbar dari simpul politik WTO di Bali 2013 harus kita sikapi atau bahkan kita hadiahi perlawanan.
Dodi Mantra, Peneliti Jaringan Riset Kolektif; Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar