Rene L Pattiradjawane
DI tengah dinamika ekonomi dan perdagangan di kawasan Asia-Pasifik, masih melemahnya kawasan Amerika Utara dan Eropa akibat krisis keuangan 2008 dan resesi yang mengikutinya, serta perubahan lanskap geopolitik, tuntutan keterbukaan dan pengaturan tata perdagangan dunia melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang pekan ini bersidang di Bali, Indonesia, dirasakan masih relevan.
Perdagangan akan tetap menjadi arena globalisasi di mana kerja sama internasional dan berbagai pengaturannya bekerja saling menguntungkan. Kita melihat WTO sebagai lembaga internasional yang menghancurkan sendi-sendi ketradisionalan perekonomian kita, tetapi secara bersamaan kehadiran WTO mendorong terjadinya liberalisasi otonomi di banyak negara memacu reformasi perdagangan berbagai sektor perekonomian.
Globalisasi telah memacu perubahan drastis yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Kebijakan pertanian bersama Uni Eropa, liberalisasi sektor keuangan di India dan Tiongkok, serta membuka pintu investasi langsung asing (FDI) ke negara-negara miskin adalah fenomena baru yang mempertahankan laju mesin pertumbuhan bagi pembangunan dan kesejahteraan.
Proliferasi berbagai perjanjian bilateral dan regional seperti ASEAN Free Trade Area, perjanjian perdagangan bebas dua negara atau lebih, dan sebagainya akan mencari caranya sendiri untuk memperdalam dan memperluas reformasi berbagai sektor seperti jasa, investasi, dan pengadaan pemerintahan.
Namun, kita khawatir atas beberapa perjanjian selektif antara blok-blok ekonomi besar, seperti perjanjian atas perdagangan dan regulasi atas jasa, yang dilakukan AS dan Uni Eropa atau gagasan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang berhasil menyeret Jepang masuk ke dalamnya, akan menjadi regionalisme baru sebagai proyeksi ancaman dan tantangan serius terhadap proses multilateral. Termasuk terhadap berbagai mekanisme perjanjian dan pengaturan regulasi dalam WTO.
Tidak adanya kemajuan atas Putaran Doha yang terpaku pada masalah pertanian di mana kebijakan perjanjian pertanian menjadi titik kritis kerja sama multilateral perdagangan global. Ironisnya, Indonesia yang menjadi tuan rumah perundingan dua tahunan WTO kali ini tidak memiliki konsep baru ketika sektor ini hancur bersamaan dengan semakin luasnya keterbukaan menerapkan berbagai liberalisasi otonomi yang mendorong sektor pertanian berada di jurang kepunahan.
Pertanian, ataupun sektor sumber daya alam lain, adalah sektor yang paling terproteksi dalam perdagangan internasional, dengan tarif impor yang tinggi, subsidi ekspor, ataupun pemberlakuan kuota di negara ekonomi maju. Celakanya, semangat neo-liberalisme pemerintahan demokratis Indonesia ternyata digerogoti berbagai skandal korupsi, mengabaikan sektor pertanian yang krusial dalam dinamika perubahan global.
Kita pun menjadi pesimistis kalau perundingan WTO di Bali kali ini akan menghasilkan terobosan penting. Setidaknya ada beberapa faktor. Pertama, pergerakan dan mekanisme WTO bekerja berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara anggotanya sehingga tidak mengherankan kalau berbagai reformasi yang dilakukan tidak memiliki presedennya.
Kedua, ada fenomena baru yang disebut sebagai kapitalisme negara yang tidak mengikuti logika merkantilisme pasar sehingga mekanisme pengajian kebijakan perdagangan yang menjadi instrumen diagnosis untuk menyediakan tatanan dialog reformasi perdagangan yang berlaku internasional (seperti yang dilakukan Bank Dunia dan IMF) menjadi tidak berdaya.
Dan ketiga, kepentingan politik global, terutama AS, China, Jepang, dan Uni Eropa, menjadi hambatan serius upaya multilateralisasi yang membangun kanal-kanal perdagangan bilateral dan regional. Berbagai kebijakan negara besar dalam perekonomian dan perdagangan untuk mendorong mesin ekonomi dan keuangan menjadi bumerang tidak hanya pada negara yang melaksanakannya, tetapi juga berimbas secara global.
Kita tidak bisa berharap banyak dari perundingan WTO di Bali, khususnya Indonesia yang masih banyak persoalan domestik yang harus dibenahi menghadapi derasnya globalisasi di mana perdagangan adalah kunci kolaborasi yang paling maju.
Rene L Pattiradjawane; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar