Arista Atmadjati
AKHIR-akhir ini kita banyak mendengar penundaan (delay) penerbangan berkepanjangan, banyak di antaranya di atas empat jam, terutama di maskapai bertarif rendah. Namun, kalau dulu penumpang tidak mendapat kompensasi apa pun terhadap segala kerugiannya, sekarang sudah ada keputusan yang mengatur penggantian terhadap penundaan berkepanjangan, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Saat ini, menurut Kementerian Perhubungan (2013), maskapai penerbangan yang paling tepat waktu adalah Garuda Indonesia (87,24 persen) diikuti Batik Air (83 persen), Tigerair Mandala (81,7 persen), Sriwijaya Air (80,34 persen), Wings Air (79,38 persen), Citilink (77,8 persen), Lion Air (75,8 persen), AirAsia Indonesia (74,78 persen), dan Merpati (70,46 persen).
Sayang, aturan baru ini belum banyak dipahami pengguna moda transportasi udara karena sosialisasi pemerintah memang sangat kurang.
Padahal, peraturan itu cukup komprehensif, termasuk mengatur kewajiban maskapai penerbangan untuk membayar ganti rugi kepada penumpang sebesar Rp 300.000 apabila pesawat terlambat empat jam atau lebih.
Pemberian kompensasi ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang mulai berlaku pada 1 Januari 2012.
Namun, praktiknya di lapangan ternyata jauh berbeda. Banyak operator maskapai penerbangan yang tidak menerapkan aturan ini, meski jadwal penerbangannya sering terlambat.
Padahal, sebenarnya kewajiban pemberian kompensasi penundaan setelah 4 jam adalah sangat ringan dan sangat toleran bagi para operator.
Kita memahami budaya ketepatan waktu (on time performance/OTP) dalam maskapai penerbangan kita memang hal baru mengingat geliat bisnis penerbangan di Indonesia baru bangun dalam satu dekade terakhir.
Masih tergagap
Wajar jika kesiapan manajemen operator penerbangan niaga di Indonesia masih tergagap-gagap merespons Permenhub No 77/2011.
Sebagian operator kita masih memiliki rekam jejak OTP di bawah standar Asosiasi transportasi Udara Internasional (IATA), yakni 85 persen.
Tak mengherankan jika para operator penerbangan dalam negeri alot menerima aturan kompensasi keterlambatan ini.
Salah satu contoh kasus adalah yang terjadi pada minggu kedua Mei 2012, dengan kasus pada suatu maskapai penerbangan jurusan Jakarta–Pontianak dan Surabaya–Jakarta.
Karena pesawat terlambat terbang berkepanjangan dan tidak jelas ada tidaknya kompensasi kepada penumpang, para penumpang pun berang dan ”menyandera” manajer stasiun di kedua kota.
Mereka dibawa ke Pontianak dan Jakarta untuk menjamin pengeluaran uang penggantian secara kas di bandara tujuan.
Memang ada yang aneh dalam hal ini, para manajer mengeluh tidak mempunyai uang kas.
Bukankah di setiap bandara, apalagi kasus terjadi di bandara awal kota Jakarta (Soekarno-Hatta) dan Surabaya (Juanda), setiap maskapai penerbangan mempunyai gerai penjualan tiket yang semestinya menyimpan uang kas hasil penjualan tiket?
Jika hanya mengeluarkan Rp 50 juta untuk kompensasi, seharusnya bukanlah persoalan. Jadi masalahnya lebih pada sikap dan kemauan baik operator penerbangan kita untuk memenuhi Permenhub No 77 itu.
Kadang sikap tidak ”rela” juga terwujud dalam berbagai trik.
Awalnya penggantian uang kompensasi keterlambatan juga diberikan dengan semacam voucer(makan) dengan kesahihan tertentu bukan uang.
Padahal, penundaan berkepanjangan selama 4 jam sering membuat penumpang menjadi boros karena harus makan dan minum di bandara yang harganya sangat tidak masuk akal.
Sebagai contoh, secangkir kopi hitam di kantin Bandara Soekarno-Hatta yang tidak memakai AC harganya Rp 35.000.
Apalagi jika ditambah makan nasi dengan kenyang. Wajar jika para penumpang pesawat menuntut penggantian uang kontan.
Inilah saatnya pemerintah sebagai regulator yang mengeluarkan Permenhub No 77/2011 bertindak tegas kepada operator nakal dengan mencatat kelakuan buruk mereka terhadap pelanggan/pengguna jasa penerbangan udara.
Jika mereka terus menelantarkan penumpang, bisa diberikan peringatan, sanksi, hingga pembekuan rute.
Arista Atmadjati, Dosen Aviation Prodi S-1 Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar