Asep Salahudin
TAHUN 2014 segera datang. Tahun 2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.
Awal tahun kita sambut dengan harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.
Kelahiran dan kebaruan hakikatnya adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).
”Lahir” sebagai simbol terlepasnya diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.
”Baru” itu interaksi simboliknya dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan akal budi, ekonomi yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi, ”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).
Tahun politik
Negara orde ”baru” tempo hari dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”, terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama 32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal, dan korup.
Tahun 2014 bukan sekadar peralihan tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan kita sedang memasuki tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang siur, masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.
Tentu semua harus tetap berjalan. Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya panta rhei kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna. Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan pergantian tahun itu sendiri.
Hakikat tahun baru
Bukan sekadar perayaan kembang api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali menyisakan upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.
Tahun baru jadi pintu masuk meraih pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan. Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu. Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari- hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.
Ini juga barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal 'ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”
Tidak mungkin Tuhan sampai bersumpah segala, kecuali di seberangnya terhamparkan realitas yang dianggap penting dan harus jadi perhatian seluruh ciptaannya. Hanya manusia (pejabat) yang menganggap sumpah tidak penting sehingga sumpah pun berubah jadi sampah. Kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang bikin Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, sekaligus menggerakkan seorang Amir Hamzah di pengujung usianya menulis penuh kesunyian: ”Lalu waktu-bukan giliranku… menapaki waktu, mencipta jejak sambil menunggu giliran yang barangkali masih jauh”.
Asep Salahudin, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar