Sukardi Rinakit
DUA minggu lalu, Emak tiba-tiba berkata, ”Kamu harus hormat kepada Megawati. Begitulah seorang ibu. Selama ini menanggung beban sendiri, dikritik, bahkan mungkin diremehkan lawan. Namun, dalam diam itu, seorang ibu sejatinya sedang mempersiapkan yang terbaik.” Tentu Emak bicara dalam bahasa Jawa.
Anehnya, ketika penulis bertamu ke Rektor Universitas Mercu Buana Aris Soehardjo, Kamis (29/11), Pembantu Rektor Purwanto mengatakan hal sama tentang pengorbanan Megawati tersebut. Sebelumnya, ketika penulis ke Malang, Jawa Timur, seorang calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Eddy Susetyo, juga berpendapat serupa.
Memang sulit dimungkiri, seperti pernah saya tulis sebelumnya, dari tangan dingin dan gemblengan Megawati telah lahir politisi-politisi muda mumpuni. Bahkan, menurut publik dan narasi yang berkembang luas, salah satu dari mereka diyakini bisa memimpin Republik dengan hati, yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
Langkah yang ditempuh Megawati tersebut, yakni bekerja dalam diam, dalam batas-batas tertentu boleh disebut sebagai jalan kebudayaan. Menyiapkan kader partai yang mau bekerja untuk rakyat, yang sederhana dan tidak glamour, yang rakyat merasa nyaman dengan mereka adalah sebuah kerja budaya dan bukan sekadar politik. Ini sebuah pelembagaan nilai budaya.
Kesimpulan seperti itu penulis ambil setelah menonton pergelaran tari Bagong Kussudiardja yang disutradarai Djaduk Ferianto di Taman Ismail Marzuki, Kamis (29/11). Seperti dinyatakan Butet Kartaredjasa, malam itu, Republik ini akan hancur kalau hanya dijaga dengan politik. Apalagi praktik politik yang berlaku sekarang miskin kebajikan. Sebaliknya, kalau dijaga dengan kebudayaan seperti yang dulu dilakukan Bung Karno, Indonesia akan abadi.
Indonesia hari ini adalah Indonesia yang dangkal. Meskipun kelas menengah tumbuh dan kebebasan pers terjaga, dilihat dari preferensi politik masyarakat, misalnya, orientasinya menurun dari ideologi (Orde Lama) ke partai politik (Orde Baru), dan akhirnya ke figur (pascareformasi). Dilihat dari rezim pemilu, praksis prosedural masih kental ketimbang substansial. Dilihat dari tatanan demokrasi, seluruh kinerjanya belum membuat rakyat merasa bahagia.
Situasi itu diperburuk dominasi politik mereka yang secara ekonomi kuat, tetapi merasa masih miskin. Jauh-jauh hari Max Weber (1946) memperingatkan, apabila kelompok seperti itu memegang kekuasaan, kelangsungan hidup bangsa dipertaruhkan. Ini terjadi karena mereka tidak merasa perlu melakukan pertemuan kepentingan pribadinya dengan kepentingan bangsa.
Tidak mengherankan jika ranah politik di Tanah Air sekarang ini dipenuhi politik uang dan korupsi. Hasrat untuk memusatkan kekuasaan juga melebar. Ini bisa dilihat, misalnya, dari wacana penggabungan Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina.
Secara prinsip, ide itu melawan kodrat demokrasi yang dari garbanya jelas-jelas memuliakan pembagian kekuasaan dalam tiga pilar (Trias Politica). Maknanya, spesifikasi tugas dan tanggung jawab adalah bukan sekadar masalah teknis, melainkan juga etis. Dengan demikian, biarlah PGN secara profesional tetap mengurusi gas dan Pertamina memegang garda pengelolaan minyak. Selemah apa pun, pembagian seperti itu akan memperkuat transparansi dan menumbuhkan mekanisme check and balances.
Kedangkalan Indonesia saat ini juga ditunjukkan miskinnya perspektif kepemimpinan nasional. Secara simplistis ini bisa dilihat dari bertubi-tubinya Bali dijadikan tempat penyelenggaraan pertemuan-pertemuan akbar internasional, khususnya Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Forum Kebudayaan Dunia (WCF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Boleh saja para pemimpin berargumen bahwa dari segi infrastruktur, Bali paling siap menjadi tuan rumah acara-acara itu. Namun, kalau mereka mau membuka telinga dan hati, terbuka peluang mengalirnya kegalauan dari belahan lain di Tanah Air.
Itu berkaitan dengan fakta bahwa perhelatan-perhelatan tersebut biasanya sudah diketahui jauh-jauh hari sehingga bisa saja infrastruktur yang diperlukan dipersiapkan, seperti Bali yang membangun jalan tol di atas laut. Dengan demikian, pemerataan pembangunan dan integrasi ekonomi nasional terjadi. Jangan sampai nanti muncul keluhan Merauke, Sabang, dan tempat-tempat lain tak lebih dari anak tiri Republik.
Konstruksi kedangkalan Indonesia masa kini hanya bisa dihancurkan melalui jalan kebudayaan. Untuk itu, seperti Megawati yang konsisten menggembleng politisi muda dengan kebajikan politik atau Bung Karno yang mengumpulkan seniman seluruh Indonesia untuk tinggal bersama, berinteraksi, dan berkreasi sehingga mereka merasa satu Indonesia, para calon pemimpin utamanya calon presiden harus melakukan pembalikan cara pikir tentang kebudayaan. Siapa yang tidak paham, ia tidak layak memimpin.
Jalan kebudayaan bisa dimulai dengan pembalikan cara pikir tentang paradigmatik pembangunan nasional. Paradigma yang selama ini hanya bersandar pada perhitungan ekonomika harus diubah menjadi bertumpu kepada ruang sosial. Jadi, kearifan lokal, kemaritiman, dan asas musyawarah mufakat, untuk menyebut beberapa contoh, akan menjadi identitas dan pilar kebahagiaan bangsa.
Sukardi Rinakit, Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar