Retno Listyarti
RENCANA Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melelang jabatan kepala sekolah mengundang pro dan kontra di kalangan guru dan birokrat pendidikan.
Kecemasan dampak lelang tampaknya menghinggapi para birokrat pendidikan dan kepala sekolah yang sedang menjabat. Sebaliknya, optimisme dan harapan baru justru muncul dari sebagian besar guru yang yakin lelang jabatan kepala sekolah akan secara signifikan mendongkrak kualitas pendidikan di DKI Jakarta. Persoalan pokok berkaitan dengan kepala sekolah selama ini adalah tata cara perekrutan dan pengangkatan kepala sekolah melalui penunjukan oleh kepala dinas pendidikan.
Kepala sekolah dan pengawas sekolah adalah dua jabatan yang sewarna karena jabatan pengawas selama ini juga didominasi mantan kepala sekolah. Peran kepala sekolah sangat besar, memberi peluang dan bertindak sebagai penentu kunci seorang guru meraih jabatan kepala sekolah. Guru kritis yang kerap mengevaluasi kebijakan kepala sekolah dalam mengelola sekolah tertutup peluangnya mendapat rekomendasi untuk menjadi calon kepala sekolah.
Guru kritis versus penurut
Dari beragam pengalaman dapat disimpulkan, guru berkarakter penurut, tidak mempermasalahkan kebijakan kepala sekolah yang cenderung sering melanggar peraturan, akan berpeluang besar dapat rekomendasi sebagai calon kepala sekolah dari kepala sekolah tempat si guru tersebut bertugas. Sebaliknya, guru yang kerap mengkritik kebijakan sekolah dan ketaktransparanan di sekolah tertutup peluangnya dapat rekomendasi.
Selama ini, ada sejumlah masalah dalam jabatan kepala sekolah yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pertama, tata cara pengangkatan kepala sekolah yang prosedurnya tak melibatkan pihak luar atau lembaga yang diperkirakan independen, semisal dewan pendidikan, dapat ditafsir proses dan hasil perekrutannya tidak lagi didasarkan pada pertimbangan obyektif, tetapi yang dominan adalah pertimbangan subyektif.
Kedua, masalah antre calon kepala sekolah yang terlalu panjang di level kepala SMA. Akibat daftar antre yang terlalu panjang, ada calon yang sudah memasuki masa pensiun tidak kebagian menjadi kepala sekolah. Pertanyaan setiap orang adalah mengapa Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengambil kebijakan mengadakan atau membuat daftar antre yang terlalu panjang? Alhasil, bagaikan antre yang terlalu panjang saat akan memperoleh tiket kereta api, lahirlah calo yang menawarkan kemudahan: Anda tidak perlu antre, tetapi harga tiket agak sedikit mahal. Bahkan ada yang tidak sabar antre mencari calo tiket lain walau harganya sangat mahal.
Informasi yang dihimpun Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) menyebutkan, lama antre bagi calon kepala sekolah di DKI Jakarta 2 tahun hingga 10 tahun. Di SMA Negeri 50, misalnya, hingga pensiun sang calon tak kebagian menjadi kepala sekolah. Di SMA Negeri 5, calon kepala sekolah yang antre harus menanti menjadi kepala sekolah selama delapan tahun. Sementara di SMA Negeri 59, akibat kelamaan waktu antre, tugas menjadi kepala sekolah hanya dijalani tiga tahun langsung pensiun.
Padahal, sesuai Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat (2), waktu antre yang dimulai dari tahap persiapan sampai pengangkatan dan penempatan calon menjadi kepala sekolah hitungan waktunya selama dua tahun. Daftar antrean calon kepala sekolah menjadi kepala sekolah melebihi waktu dua tahun merupakan bentuk pelanggaran hukum. Selain itu, juga berdampak psikologis yang menekan calon kepala sekolah antrean. Selama ini kuat dugaan, untuk jadi kepala sekolah kuncinya adalah ada yang membawa dan harus ada yang dibawa.
Ketiga, masalah kepala sekolah yang diparkir, yakni kepala sekolah yang sudah menjalani tugas selama dua periode (delapan tahun). Mereka ini masuk dalam daftar parkir untuk menjadi kepala sekolah pada periode ketiga, dengan waktu parkir 6 bulan-24 bulan. Kepala sekolah yang diparkir ini menimbulkan beban psikologis dan dapat memperkecil peluang calon kepala sekolah antre untuk menjadi kepala sekolah. Contoh kasus, mantan Kepala SMA Negeri 13, Jakarta Utara, yang diparkir tiga bulan kemudian diangkat lagi menjadi kepala sekolah di SMA Negeri 111 Jakarta Utara. Padahal, yang bersangkutan tak punya prestasi menonjol saat memimpin sekolah sebelumnya.
Sekolah unggul vs reguler
Keempat, masalah penempatan kepala sekolah. Publik tak tahu dasar dan kriteria seorang calon kepala sekolah ditempatkan di suatu sekolah, Akhirnya setiap orang berpikir jika ditempatkan menjadi kepala sekolah di sekolah yang unggul (favorit), kemungkinan calon kepala sekolah berkompetensi tinggi. Dugaan yang mendekati kepastian, semakin besar kompetensi yang dimiliki seorang calon, ia akan dihadiahi bertugas jadi kepala sekolah di sekolah unggulan.
Seharusnya, yang jadi harapan publik adalah semakin rendah tipe sekolah, semakin membutuhkan calon yang berkompetensi tinggi. Dengan begitu, barulah dapat terjadi perubahan di suatu sekolah, yaitu terangkatnya tipe sekolah dari semula bertipe reguler jadi sekolah bertipe unggul. Kalau calon kepala sekolah berkompetensi tinggi ditempatkan di sekolah unggulan, keadaan seperti ini membuat kepala sekolah tak kreatif karena tidak ada tantangan. Tanpa kerja keras pun ia akan diuntungkan karena kondisi sekolah yang sudah sempurna
Kelima, masalah mutasi kepala sekolah. Dinas Pendidikan DKI Jakarta diduga tidak memiliki dasar, kriteria, dan peta acuan memutasi kepala sekolah. Sebagai contoh Kepala SMA Negeri 100 didesak dimutasi, padahal sisa waktu berdinas tinggal setahun karena memasuki usia pensiun. Sementara Kepala SMA Negeri 113 dipindahtugaskan ke SMA Negeri 100 walau sisa waktu berdinas tinggal satu tahun lagi karena juga memasuki usia pensiun. Pertimbangan mutasi seperti ini sungguh tidak mempertimbangkan efektivitas serta hasil pencampaian program pengelolaan sekolah.
Lelang jabatan kepala sekolah adalah salah satu langkah Pemprov DKI Jakarta mengatasi kelima permasalahan tersebut. Lelang mendesak dilakukan karena hendak mendongkrak kualitas pendidikan di DKI Jakarta langsung ke akar masalahnya.
Kualitas kepala sekolah sangat menentukan kemajuan suatu sekolah mengingat salah satu fungsi kepala sekolah adalah penjaga mutu. Melalui lelang jabatan ini, diharapkan DKI Jakarta dapat kepala-kepala sekolah berkualitas guna mendorong peningkatan kualitas sekolah di DKI Jakarta.
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar