Indra Tranggono
Tentu, para bapak yang menganggap Pancasila sebagai ”obat manjur” untuk mengatasi penyakit kronis bangsa ini terperangah. Bahkan mungkin marah. Anak muda itu dianggap tidak sopan, bahkan kurang ajar.
Namun, diam-diam mereka pun sadar, selama ini Pancasila hanya jadi ”jimat” yang disimpan dalam almari keramat bernama memori kolektif bangsa. Sejatinya bangsa ini, terutama para penyelenggara pemerintahan dan negara, lebih menyukai ideologi ”kudu sugih” (harus kaya) daripada Pancasila.
Ideologi kudu sugih tumbuh dan menguat sejak Orde Baru berkuasa. Di bawah kekuasaan Soeharto, Orde Baru telah sukses meringkus dan membekukan nilai-nilai Pancasila. Fungsi Pancasila pun berubah dari ideologi yang inspiratif jadi sekadar peranti untuk melegitimasi kekuasaan. Atas nama Pancasila, Orde Baru merasa sah melakukan apa saja, termasuk memberangus pikiran-pikiran kritis.
Sangat besar ongkos kebudayaan yang harus dibayar bagi suksesnya proyek penaklukan kolektif itu. Bangsa kehilangan orientasi nilai dan horizon harapan atas perubahan menuju peradaban yang lebih tinggi. Etika dan etos bangsa dipasung dalam mesin bernama pembangunan serta isme-isme yang menyertainya: kapitalisme dan industrialisme. Bangsa ini akhirnya bergerak menjadi ”mesin” yang knop on dan off-nya digerakkan oleh kuasa kapital.
Rezim-rezim kekuasaan yang ”menggantikan” Orde Baru kian tak peduli dengan Pancasila. Mereka menaruh Pancasila di area ritus sosial dan budaya. Di lapangan ekonomi, sosial, dan politik mereka mengganas dan menggaruk apa saja. Korupsi dirayakan di berbagai level kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Parpol dan kalangan pengusaha hitam turut bermain dalam ”teater pencolongan berjemaah” itu.
APBN demi APBN jebol. Aset bangsa pun didol (dijual). Mereka menjelma jadi rezim yang berfungsi secara ironik: ”memiskinkan negara-bangsa sendiri”. Kekuatan asing pun berkibar-kibar di negeri yang kekayaannya terus dikuras habis. Penyelenggara pemerintahan dan negara tanpa sadar telah mendorong bangsa ini jadi bangsa ”kuli” dan ”makelar” yang menyembah kepada kekuatan kapital. Dari sinilah tumbuh dan menguat ideologi kudu sugih. Dalam sehari-hari artikulasi ideologi ini berbunyi wani piro (berani bayar berapa)?
Rezim uang
Penguatan ideologi kudu sugih menghasilkan rezim kekuasaan yang buruk: rezim uang. Pemerintahan dan praktik-praktik bernegara tak lagi digerakkan nilai-nilai ideal berbasis pada spiritualitas, humanitas, solidaritas, demokrasi berkesejahteraan dan keadilan, tetapi oleh uang. Popularitas idiom wani piro secara sinikal menandai tradisi transaksional yang berlaku di berbagai lini kehidupan. Uang jadi satu-satunya kanta kunci untuk memasuki kekuasaan dan menggaruk harta negara.
Di dalam rezim uang, nilai dan ukuran hanya ditentukan secara material. Jika Anda presiden, menteri, gubernur, wali kota/bupati, camat, atau lurah, Anda tidak ditanya apa yang telah dilakukan dan hasil apa yang telah diberikan kepada publik, tapi ”Berapa kekayaan kamu?”. Anda dianggap aneh jika menjawab, ”Belum kaya atau masih miskin”. Orang pun akan mengejar Anda dengan ucapan: ”Mosok, sih? Bukankah bagi kamu uang tinggal nggaruk, semau kamu?”.
Jika kebetulan jadi penyelenggara pemerintahan dan negara, Anda mestinya tersinggung karena dianggap hanya punya cita-cita jadi orang kaya.
Anggapan itu pelecehan harkat dan martabat Anda. Namun, kini sensitivitas atas harga diri dan martabat semakin menipis. Bisa jadi, Anda malah kecewa ketika orang tak memuji perolehan kekayaan Anda yang melimpah. Maka, Anda pun perlu pamer melalui rumah Anda yangmagrong-magrong (mewah), deretan mobil mahal, pemilikan tanah yang maha- luas, dan deposito yang deretan angkanya tak bisa lagi diingat.
Dengan semua kesuksesan material itu, Anda pun merasa sah berorasi tentang pentingnya dedikasi terhadap negara, komitmen sosial, keadilan, dan hidup sederhana. Anda pun merasa wajib untuk selalu mengutuk korupsi meskipun dengan kekuasaan di tangan, Anda tidak melakukan apa-apa.
Rezim uang akhirnya hanya jadi rezim omong kosong bagi rakyat yang merindukan kesejahteraan. Kesejahteraan, bahkan kemewahan, sudah diborong orang-orang macam Anda. Anda adalah ”makhluk unggul” yang telah dilahirkan rezim uang, yang ideologinya bukan lagi Pancasila, melainkan kudu sugih. Anda pun bisa menganggap semua kritik tak lebih daripada orang iri. Hati Anda pun jadi tenang. Tenang?
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar