10/05/14

Penunggang Demokrasi

M Subhan SD

PENDAMBA demokrasi percaya popularitas dan figur akan linier dengan elektabilitas. Maka, politisi seperti Nurul Arifin (Partai Golkar) atau Eva Kusuma Sundari (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bakal tak sulit mempertahankan kursinya di DPR. Nurul adalah mantan aktris top, penggerak kaum perempuan, dan punya rekam jejak cukup bagus selama berkiprah di DPR 2009-2014. Eva juga dikenal piawai berpolitik. Namun, argumen rasional itu tiba-tiba irasional. Keduanya tampaknya terpental dari Senayan. Sebaliknya banyak orang yang bermasalah yang terpilih.

Kekalahan Nurul, seperti diakuinya sendiri, karena persaingan tidak sehat. Meminjam Thomas Hobbes (1588-1679), para politikus menjadi serigala yang memakan temannya sendiri (homo homini lupus), bahkan di internal partai. ”Tidak ada etikanya lagi, saling makan,” kata Nurul. Popularitas dan figur rupanya tak cukup. Politik uang (money politics) menunggu momen penting untuk menyalip di tikungan terakhir. Uang tetap berkuasa dan menjadi segala-galanya.

Seorang calon anggota legislatif (caleg) berkisah walaupun suara yang diraihnya terbilang banyak, ia tak berdaya melawan politik uang ketika koleganya sesama satu partai ngebom pada detik-detik akhir. Dengan 200.000 amplop dan setiap amplop berisi Rp 30.000, jumlahnya sungguh fantastis. Pantas saja Pemilu 2014 ini, seperti diakui para politikus juga, merupakan pemilu paling ngeri dan brutal, dalam praktik politik uangnya. Rupanya banyak politisi tidak percaya pada demokrasi yang mulia. Mereka lebih percaya uang.

Demokrasi sangat rentan dan mudah ditelikung. Pemilu dan uang, seperti dua sisi mata uang. Selalu berlawanan, tetapi selalu bersama-sama. Bahkan di negara demokrasi Amerika Serikat, politik uang tak bisa diredam. Tahun 2012, Pemilu di AS benar-benar banjir uang. Jurnalis John Nichols dan profesor komunikasi Robert W McChesney mengkritik keras bahwa demokrasi berubah menjadi dollarocracy. Dalam bukunya Dollarocracy: How the Money and Media Election Complex is Destroying America (2013), Nichols dan McChesney menguliti pemilu di AS itu. Belanja kampanye dan iklan politik meningkat tajam dan uang-uang itu sebagian besar berasal dari para konglomerat dan masuk ke kantong-kantong perusahaan media. Pesta demokrasi yang menyedihkan.

Pemilu 2012 adalah pesta demokrasi paling mahal dalam sejarah AS, menghabiskan dana sekitar 10 miliar dollar AS (saat ini setara dengan Rp 115 triliun), melonjak jauh dari laporan resmi 6 miliar dollar AS (kira-kira Rp 69 triliun). Padahal, itu belum memperhitungkan suntikan dana-dana besar yang berseliweran selama kampanye. Barack Obama dan pendukungnya menghabiskan biaya sekitar 1,1 miliar dollar AS (sekitar Rp 12,6 triliun), sedangkan Mitt Romney dan pendukungnya menghabiskan biaya 1,2 miliar dollar AS (setara Rp 13,8 triliun). Untungnya, gerakan akar rumput Obama bisa menumbangkan kekuasaan uang besar.

Seperti di AS, banjir uang di Indonesia pada Pemilu 2014 juga tak mudah dilacak. Anggaran penyelenggaraan pemilu sekitar Rp 24 triliun. Namun, dana partai politik pasti lebih besar, dan tentu sulit ditelusuri. Laporan awal resmi belanja pemilu 12 parpol sekitar Rp 1,93 triliun. Belum lagi biaya yang dikeluarkan caleg. Pada pemilu lalu, ada 20.257 caleg (tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional). Asumsikan saja anggaran per caleg Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar, total dana caleg Rp 10,1 triliun-Rp 20,2 triliun. Namun, itu perkiraan minimal yang tampak di permukaan.

Banjir uang terus mencederai demokrasi. Indonesia selalu terbuai dengan pujian internasional. Kalau ukuran penyelenggaraan pemilu atau kebebasan berpendapat, tentu demokrasi kita bisa dibanggakan. Namun, menurut Global Democracy Ranking 2013, kualitas demokrasi kita juga tidak berada di peringkat terbaik. Peringkat Indonesia masuk kategori sedang, di peringkat ke-66, di bawah Thailand (65) dan di atas India (67). Best democracy adalah Norwegia, Swedia, Finlandia, Swiss, Denmark, Belanda, Jerman, Selandia Baru, Austria, dan Belgia. Di negeri kita, politik uang melukai kebebasan dan partisipasi yang dibangun sejak reformasi, yang membuat demokrasi kita pun cacat (flawed democracy).

Koalisi parpol menghadapi pemilu presiden 9 Juli mendatang, yang pekan-pekan belakangan ini terus berisik, juga mustahil tanpa ”mahar uang”. Selain bagi-bagi kuasa, kemungkinan besar akan ada bagi-bagi uang. Itu pernah terlintas ketika ribut-ribut di PPP beberapa waktu lalu. Wakil Ketua Umum PPP Ahmad Dimyati Natakusumah menuding sejumlah pihak yang ingin menggulingkan Suryadharma Ali karena berambisi menjadi menteri. ”Ini aroma fulus, ingin menjadi menteri,” kata Dimyati kala itu.

Di warung kopi, memang kerap terdengar ”di politik tak ada makan siang gratis”. Meminjam istilah Nichols dan McChesney, demokrasi di negeri ini mungkin juga telah berubah menjadi ”rupiahkrasi”. Ketika demokrasi tidak tumbuh efektif, korupsi akan subur. Padahal, seperti kata senator Robert LaFollette (1855-1925) dari Wisconsin, demokrasi adalah sebuah kehidupan, yang menuntut perjuangan terus-menerus tanpa lelah. Demokrasi harus dirawat dan dijaga.

Ketika para politisi lebih memilih menggunakan uang agar bisa meraih suara atau jabatan, sesungguhnya dia tidak percaya kepada demokrasi yang mengajarkan cara-cara yang lebih mulia. Mereka yang tidak memperjuangkan demokrasi dengan cara-cara mulia itu, seperti para politisi kita, sesungguhnya adalah penunggang-penunggang demokrasi, yang lebih banyak memikirkan diri sendiri. Merekalah perusak demokrasi.

M Subhan SD, Wartawan Senior Kompas

1 komentar:

  1. Judul dan Isi yang sangat Inspiirativ, Realitasnya Demikian. trims Inspirasinya. erwinsyah
    jadiunik.web.id

    BalasHapus