10/05/14

Uang dan Sunyinya Suara Agama

Paulinus Yan Olla MSF

PEMILU legislatif baru saja berlalu. Euforia pesta demokrasi berubah menjadi kabung nasional para caleg gagal.

Janji-janji pemilu dan rezeki musiman yang ditaburkan para caleg dan dinikmati sebagian besar pemilik suara berubah menjadi petaka. Yang dihasilkan hanya caleg stres dan kepentingan umum yang terancam terabaikan oleh bayang-bayang politik uang.

Jika pemilu merupakan partisipasi minimal masyarakat dalam politik untuk merajut masa depan sebuah bangsa, kiblatnya seharusnya terarah pada pertarungan program-program partai untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat.

Hasil jajak pendapat memperlihatkan arah yang sebaliknya. Sebanyak 69,2 persen dari 536 responden yakin bahwa telah terjadi politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Caleg atau partai politik cenderung memberi keuntungan materi secara langsung agar terpilih. Mereka memberikan keuntungan materi kepada pemilih ketimbang menawarkan program (Kompas, 28/4/2014). Jangankan program partai, anggota sebuah partai bahkan saling menjepit menuju puncak kekuasaan.

Membelenggu bangsa

Politik uang yang selanjutnya akan membiakkan pejabat yang korup membelenggu bangsa. Suara keagamaan (baca: profetis) sangat sunyi. Negeri yang dalam konstitusinya mengusung nilai dasar keagamaan dibuat lumpuh di hadapan wabah politik jual-beli suara.

Tak ada pelaku politik uang yang ditindak secara hukum. Tak ada yang mencela secara moral apalagi memberikan sanksi sosial. Para pembeli suara seba- liknya disambut sebagai pembawa berkah dalam kondisi rakyat kebanyakan yang terbelit aneka kesulitan hidup perekonomian.

Jika berbagai indikasi kecurangan politik uang tidak diungkap dan diadili secara transparan serta dipersoalkan sebagai sebuah cacat etis, demokrasi yang ingin dihasilkan keropos dari awalnya karena wakil yang terpilih kebanyakan merupakan hasil manipulasi suara rakyat.

Nilai-nilai keagamaan yang seharusnya diusung sebagai dasar pijak sikap etis dalam berpolitik ternyata tak dihayati secara substansial, tetapi sekadar baju pemoles diri. Secara lahiriah para calon pemimpin saleh, tetapi di ranah etis terjadi defisiensi moral. Tragisnya, ritus keagamaan hanya dihadirkan sebagai opium bagi caleg stres, tetapi gagal mencegah kesehatan jiwa berpangkal pada nilai keagamaan yang lebih mendasar seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, dan nurani yang bening. Apa yang dapat disumbangkan agama-agama?

Di Amerika Serikat, sejak 2004, terdapat diskusi hangat di kalangan para pemimpin gereja Katolik untuk menghukum politisi yang mendukung legislasi yang dianggap tak berpijak pada moralitas Kristiani. Beberapa senator dikeluarkan (ekskomunikasi) dari gereja.

Pada 2008, ada yang terancam sanksi serupa seperti dialami Joe Biden (kini Wakil Presiden AS) jika posisi politiknya dalam hal moralitas tidak direvisi. Di Indonesia pun telah digulirkan fatwa haram soal korupsi sejak 2000. Namun, sepertinya hal itu tak berdampak terhadap perubahan tabiat korupsi dan politik uang di negeri ini.

Pengusungan nilai-nilai etis-religius di ranah publik bukanlah usaha moralisasi agar negara mengabdi pada kepentingan agama-agama. Agama, yang dalam akar kata bahasa Latinnya religare (merekatkan, secara erat), pada hakikatnya membentuk atau mengikat penganutnya pada nilai-nilai mendasar yang seharusnya membentuk tabiat pribadi dan sosialnya. Dalam kerangka itu, tabiat politikus seharusnya diikat nilai-nilai dasar yang diperoleh dari agamanya.

Dalam konteks Indonesia yang mengakui peran agama di ranah publik, agama-agama seharusnya melahirkan inspirasi etis-religius dalam pengambilan kebijakan publik. Meminjam pemikiran teolog kelahiran AS, Richard G Malloy (A Faith that Frees, 2007), agama-agama perlu memperkuat ”mitos”, yakni narasi tentang makna dan orientasi kehidupan.

Demokrasi pun, menurut dia, merupakan sebuah mitos. Artinya, kepercayaan akan demokrasi akan mendorong para politisi dan rakyat kebanyakan untuk mengusung nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan publik. Di dalamnya ada kepercayaan bahwa memberikan suara dalam pemilu merupakan sebuah nilai. Adapun pembelian suara merupakan tabiat tercela.

Tugas agama-agama

Tugas agama-agama dalam kondisi bangsa yang ditandai politik uang yang tak terkendali adalah merawat imajinasi rakyat akan mitos demokrasi. Melalui mitos sebagai sumber inspirasi makna dan arah hidup, suara keagamaan berfungsi mengadakan transformasi imajinasi individu dan sosial. Imajinasi yang dimiliki dalam kepala merupakan basis bagi kata-kata yang berada dalam pikiran dan landasan bagi perasaan dalam sanubari terdalam. Kata dan rasa itu selanjutnya mewujud dalam tingkah laku kehidupan yang menjadikan hidup mendapat makna.

Imajinasi bangsa ini harus diubah agar pikiran, perasaan, dan sanubarinya tidak dibenamkan oleh uang, harta, dan kekuasaan. Imajinasi sosial bangsa ini harus didekonstruksi agar bayangan di dalam benak, kata-kata dalam pikiran, perasaan dalam hati, tindakan dan makna hidup diarahkan untuk kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa yang menjalankan demokrasinya secara bermartabat. Agama-agama terpanggil untuk terus-menerus menyucikan imajinasi bangsa ini agar terbebaskan dari diktator uang, harta, dan kekuasaan yang kini jadi wabah sosial yang tak terbendung.

Paulinus Yan Olla MSF, Rohaniwan, Lulusan Program Doktor Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma; Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar