23/04/14

Tiongkok, Kekuatan Teguh Pertahankan Perdamaian dan Kestabilan

Liu Hongyang

PADA 6 April lalu, Kompas memuat artikel berjudul ”Jalan ASEAN: Arbitrase dan Tata Kedaulatan” yang mendukung langkah Filipina mengajukan gugatan mengenai sengketa Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Artikel itu juga mengkritik kebijakan regional Tiongkok.

Terkait hal tersebut, saya ingin menanggapinya agar para pembaca mengetahui fakta dan masalah-masalah yang terjadi.

Bagi negara mana pun, teritori dan perbatasan merupakan warisan sejarah. Dari segi sejarah dan yuridis, Tiongkok-lah yang pertama kali menemukan, menamakan, mengembangkan, dan mengelola Kepulauan Nansha (juga disebut Kepulauan Spratly).

Tiongkok jugalah yang pertama dan terus-menerus melaksanakan hak kedaulatan di seluruh Kepulauan Nansha. Sejak 700 tahun yang lalu, yaitu pada era Dinasti Yuan, Tiongkok sudah mulai melaksanakan yurisdiksi terhadap Kepulauan Nansha.

Setelah Perang Dunia II, menurut Deklarasi Kairo, Deklarasi Postdam, dan dokumen-dokumen hukum internasional yang lain, Tiongkok mendapatkan kembali Kepulauan Nansha yang diduduki Jepang.

Selanjutnya Tiongkok mengambil serangkaian tindakan untuk mengonfirmasi dan menegaskan kembali kedaulatan terhadap Kepulauan Nansha. Pada waktu itu, Filipina yang telah memproklamasikan kemerdekaannya tidak mengajukan keberatan apa pun atas kedaulatan Tiongkok terhadap Kepulauan Nansha.

Batas wilayah Filipina ditentukan oleh sejumlah perjanjian, di mana garis perbatasan barat Filipina ditetapkan pada koordinat 118 derajat bujur timur. Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan (Beting Scarborough) di Kepulauan Zhongsha sama sekali tidak termasuk dalam wilayah Filipina yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian yang bersangkutan.

Sebelum tahun 1970-an, baik dokumen-dokumen hukum maupun pernyataan pemimpin negara Filipina sama sekali tak pernah menyebutkan bahwa wilayah teritorial Filipina mencakup Kepulauan Nansha dan lain sebagainya.

Namun, setelah ditemukannya cadangan minyak bumi di perairan Kepulauan Nansha pada tahun 1970-an, Filipina mulai mengklaim kedaulatan dan menduduki sebagian pulau dan karang. Pemerintah Tiongkok sejak awal sudah berulang kali mengajukan protes serius kepada pihak Filipina.

Pendudukan ilegal Filipina terhadap sebagian pulau dan karang di Kepulauan Nansha merupakan penyebab utama persengketaan Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Filipina.

Upaya penyelesaian

Tiongkok selalu menghargai fakta sejarah dan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa teritorial dengan negara-negara lain. Berdasarkan semangat kesetaraan dan saling memahami, Tiongkok mengadakan perundingan damai dan bersahabat dengan negara-negara tetangga, dan berhasil menyelesaikan sebagian besar masalah perbatasan dan teritori tersebut.

Sampai sekarang, garis perbatasan yang digambarkan dan ditetapkan sudah mencapai 90 persen dari keseluruhan garis perbatasan wilayah daratan Tiongkok. Fakta telah membuktikan bahwa persetujuan yang dicapai melalui perundingan dapat diterima oleh kedua pihak, dan merupakan yang paling adil dan bertahan lama.

Mengenai sengketa Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Filipina, Tiongkok berpegang teguh untuk menyelesaikannya melalui perundingan. Sikap itu kami pegang teguh dengan mempertimbangkan kepentingan besar hubungan Tiongkok-Filipina, perdamaian dan kestabilan di Asia Tenggara, dan menjalankan pendekatan konsisten Tiongkok dalam menangani isu semacam ini.

Apalagi, penyelesaian melalui perundingan bilateral merupakan konsensus yang secara nyata tercantum, baik dalam pernyataan bersama Tiongkok dan Filipina maupun dalam ”Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan (DoC)” yang ditandatangani oleh Tiongkok dan negara-negara ASEAN.

Akan tetapi, hal yang sangat disesalkan adalah tindakan berlawanan dari pihak Filipina dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Hal itu menunjukkan Filipina tak berkeinginan menaati konsensus yang telah disepakati kedua pihak dan negara-negara lain di kawasan tersebut.

Saya ingin menegaskan bahwa menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) sendiri, sengketa kedaulatan teritorial berada di luar jangkauan yurisdiksi konvensi itu.

Sebagai negara penandatangan UNCLOS, Tiongkok telah menyerahkan pernyataan tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB pada 2006. Dalam pernyataan tertulis itu, Pemerintah Tiongkok tidak menerima yurisdiksi peradilan atau arbitrase internasional apa pun yang disebutkan dalam Ayat 2 bagian ke-15 UNCLOS.

Sikap Tiongkok itu didasarkan pada Pasal 298 UNCLOS yang mengatur mengenai persengketaan apa pun yang disebutkan dalam Pasal 298 Nomor 1 (a), (b), (c), yaitu sengketa penetapan perbatasan laut, sengketa teritori, dan kegiatan militer. Oleh karena itu, pendirian Tiongkok yang tidak menerima dan tidak berpartisipasi dalam tindakan sepihak Filipina itu bersifat rasional dan legal.

Impian Tiongkok

Dewasa ini, perdamaian dan kerja sama merupakan tendensi dunia. ”Diplomasi Kapal Meriam” dan ”Politik Kekuasaan” sudah dibuang oleh kebanyakan negara. Sampai kapan pun, Tiongkok tidak akan mengambil jalan hegemoni.

Namun, perlu ditegaskan bahwa jika wilayah suatu pihak bukanlah wilayah kami, sedikit pun kami tidak akan mengambilnya. Akan tetapi, jika memang wilayah suatu pihak itu adalah milik kami, sejengkal tanah pun akan kami pertahankan.

Saya juga ingin menegaskan bahwa negara mana pun memiliki visi, misi, dan jalan perkembangan sendiri. Karena, kalau tidak, negara itu akan kehilangan arah tujuan dan daya dorong.

Impian Tiongkok adalah visi indah seluruh rakyat Tiongkok yang mengharapkan negaranya kuat dan makmur serta rakyatnya bahagia dan sejahtera. Impian Tiongkok juga merupakan harapan untuk berkembang secara damai dan bekerja sama saling menguntungkan sehingga dapat hidup berdampingan secara harmonis dan mencapai perkembangan dan kemakmuran bersama seluruh negara.

Saya juga ingin menegaskan bahwa Tiongkok mendukung integrasi dan pembangunan komunitas ASEAN, menghargai konsensus ASEAN, mendukung ASEAN memainkan peran dominan dalam mekanisme kerja sama regional, dan berharap Indonesia sebagai negara besar regional bisa memainkan peran konstruktif yang lebih besar. 

Liu Hongyang, Kuasa Usaha Sementara Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok
KOMPAS, 21 April 2014

1 komentar: