23/04/14

Melindungi Mimpi ASEAN

Rene L Pattiradjawane

MENULIS mengenai masalah-masalah hubungan internasional dan diplomasi pada tahun 2014 ke depan akan menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, persoalan nasionalisme, regionalisme, dan multilateralisme sekarang berhadapan dengan jalur patahan (fault lines) tatanan hubungan internasional dan diplomasi selama lima tahun terakhir di semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain, dampak berbeda dan implikasi krisis ekonomi yang mulai melanda kawasan Asia akibat luberan krisis keuangan di AS dan krisis zona euro, ketika situasi regional di banyak negara Asia secara utuh menggambarkan logika Doktrin Natalegawa yang dicetuskan Menlu Marty Natalegawa tentang dynamic equilibrium (kesetimbangan dinamis).

Buah pikiran Natalegawa sekali lagi menegaskan bahwa persoalan hubungan internasional dan diplomasi di kawasan Asia tidak akan (dan tidak akan pernah) menghadirkan sistem hegemoni tunggal di tengah maraknya berbagai persoalan.

Dalam konteks ini, kita memahami bahwa tatanan hegemoni, khususnya berkaitan dengan kebangkitan kekuatan adidaya berhadapan dengan kekuatan tunggal yang ada, tidak akan lama mampu mengatur dunia sesuai kemauan kepentingan geopolitik, geostrategi, dan nasionalnya sendiri.

Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke kawasan Asia mulai Selasa (22/4), setelah membatalkan sepihak kunjungannya tahun lalu dan tidak hadir dalam dua kali konferensi tingkat tinggi (APEC dan EAS), tidak akan mampu menghadirkan perubahan signifikan terhadap kebijakan poros (pivot) yang sejak lama dicanangkan. Di tengah krisis Crimea, AS terkesan sudah kehilangan kemampuannya dalam diplomasi, kekuatan ekonomi, dan supremasi militer karena pengurangan dana yang diterapkan akibat krisis keuangan dalam negeri.

Ada kekhawatiran, ketika sistem internasional dan diplomasi sudah tidak lagi berjalan sesuai nilai, norma, dan hukum internasional, benturan-benturan kepentingan strategis dan nasional akan menjadi ancaman baru seperti yang terjadi di Suriah dan Crimea belum lama ini.

Bersamaan dengan ini, kita di Asia pun khawatir ancaman yang diproyeksikan Tiongkok pada klaim tumpang tindih kedaulatan dengan Jepang dan negara-negara anggota ASEAN akan tergeletak dan bergesekan dengan kepentingan Beijing mengikuti preseden Suriah dan Crimea.

Sikap represif Beijing terhadap Filipina karena tuntutan arbitrase ataupun sikapnya terkait perilaku Jepang yang ingin mengubah posisi pasifismenya berpeluang menjadi ancaman balkanisasi Asia.

Ketika pemerintah dan negara sudah tidak saling berbicara satu sama lain, seperti Beijing-Manila atau Beijing-Tokyo, atas persoalan-persoalan serius yang ada di antara mereka (bahkan condong saling menghina satu sama lain), ada dua persoalan yang muncul. Pertama, apakah AS secara default harus menjadi interlocutor dan wasit, dan kita membiarkan persoalan kawasan diselesaikan oleh negara luar kawasan?

Kedua, ketika ketergantungan ekonomi di kawasan Asia sudah sangat tinggi, apakah kita masih perlu masuk dalam kancah aturan keterlibatan (rules of engagement) atau apakah melalui strategi pengepungan (containment) membiarkan konflik mengancam melalui penawaran perlindungan keamanan, bahkan perdamaian?

Kita tidak ingin Beijing ataupun Washington menjalankan kebijakan balkanisasi Asia atas nama kesejahteraan rakyat, perdamaian, dan stabilitas hanya melulu untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing. Kita tidak ingin melihat ”Kebangkitan Tiongkok” yang menerapkan ”politik dan keamanan berkarakteristik Tiongkok” menjadi terlalu percaya diri dalam proyeksi agresif ”tidak ada alternatif”.

”Jalan ASEAN” yang kita tempuh selama ini, yang kita sebut sebagai ”jalan tengah” dalam konsepsi pemikiran Natalegawa, sesuai kepercayaan kita seutuhnya pada cita-cita ketertiban dunia, khususnya integrasi dan keamanan kawasan Asia.

Dan ini adalah ”Mimpi ASEAN” yang harus selalu disinkronisasikan dengan ”mimpi siapa pun”, memastikan kesinambungan perdamaian dan stabilitas sebagai syarat utama pertumbuhan ekonomi bersama. 

Rene L Pattiradjawane, Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar