23/04/14

Menyelamatkan Demokrasi

Yonky Karman

DEMOKRASI  bukan tujuan pada dirinya sendiri, hanya sebuah cara rakyat untuk hidup adil sejahtera dengan jalan bernegara. Karena itu, demokrasi tidak hanya oleh rakyat, tetapi juga untuk (kebaikan) rakyat.

Ukuran sukses demokrasi bukan massa demokrasi berada di bilik suara selama dua menit, melainkan kualitas elite demokrasi yang berperan sebagai wakil rakyat. Elite memiliki kewajiban moral mengartikulasikan nilai-nilai demokrasi dengan cerdas dan beradab. Dalam trias politika, tiada demokrasi tanpa legislatif.

Namun, demokrasi rawan disusupi penumpang gelap. Selepas dari belenggu otoritarianisme rezim Soeharto, rakyat sempat mengalami euforia demokrasi. Partisipasi warga dalam Pemilu Legislatif 2004 sempat mencapai 84 persen, tetapi pada 2009 menjadi 70 persen. Akankah Pemilu Legislatif 2014 mengikuti kecenderungan menurun itu? Ada alasan ketidakpercayaan terhadap DPR dan partai politik yang ada.

Barometer Korupsi Global 2013 yang dirilis Transparency International Indonesia (0 untuk sama sekali tak korup, 5 untuk korupsi akut dan endemik) memperlihatkan skor tertinggi 4,5 justru diraih DPR dan 4,3 untuk partai politik. Dengan skor yang kurang lebih sama tinggi dari kedua institusi publik itu, pusaran korupsi beralih dari pendulum eksekutif ke legislatif dan (koalisi) partai penguasa.

Wakil (kesejahteraan) rakyat

Korupsi politik bukan soal individu. Celah-celah hukum sengaja dibuat dan dipertahankan untuk lolos dari jerat hukum. Korupsi sudah terstruktur dalam persekongkolan oligarki. Partai bisa berkilah bahwa tidak ada instruksi untuk mengisi pundi-pundi partai dari hasil korupsi. Namun, partai menutup mata terkait asal-usul kontribusi kader dalam melancarkan kerja mesin partai. Partai menutup mata dengan gaya hidup kader yang berubah dan akrab dengan simbol-simbol kemewahan.

Anggota DPR menyandang sebutan sebagai wakil rakyat. Sosok yang mewakili aspirasi rakyat dalam mempertahankan kemandirian rakyat di dalam negeri. Sosok yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Dengan segala fasilitas negara yang diterimanya, sosok yang seharusnya mewakafkan hidupnya bagi rakyat. Sosok yang siap pasang badan membela rakyat berhadapan dengan tirani dalam bentuk apa pun.

Nyatanya, pendapatan bersih seorang anggota DPR periode 2009-2014 sebesar Rp 46.100.000 per bulan. Dalam perbandingan dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita, nyatanya besaran pendapatan elite demokrasi di Indonesia 19 kali (The Economist, 20-26 Juli 2013). Gaji seorang legislator di Nigeria 189.500 dollar AS per tahun, 116 kali PDB per kapita dan menjadikannya tertinggi di dunia. Legislator di Inggris hanya menerima gaji 2,7 kali PDB per kapita. Dengan gaji legislator di Indonesia 65.800 dollar AS per tahun, posisi Indonesia nomor empat di dunia, bahkan tertinggi di Asia Tenggara.

Lembaga legislatif tidak bisa menyejahterakan diri sendiri karena kas negara dipegang eksekutif. Karena kini legislatif terlalu berkuasa, eksekutif pun memanjakan legislatif. Keduanya saling melayani kebutuhan masing-masing. Aroma busuk korupsi politik tertangkap oleh skor integritas. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan luar biasa untuk menjerat koruptor. Namun, tidak mudah membongkar korupsi di dalam rumah demokrasi. Tambahan lagi, karakter masyarakat kita permisif dengan anomali kemewahan wakil rakyat.

Legislator minus legislasi

Persoalan serius lain dengan DPR kita adalah rendahnya kinerja legislasi, dilihat dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang mereka susun sendiri. Untuk tahun 2010, hanya delapan undang-undang (UU) berhasil disahkan dari target 70 rancangan undang-undang (RUU), sedangkan 10 UU lain berasal dari RUU kumulatif terbuka (sewaktu-waktu bisa dibahas, tak termasuk Prolegnas). Tahun 2011 hanya 18 UU disahkan dari target 91 RUU (empat UU lain dari RUU kumulatif). Tahun 2012 hanya 10 UU disahkan dari target 69 RUU (20 UU lain dari RUU kumulatif). Tahun 2013 hanya tujuh UU disahkan dari target 75 RUU (sembilan UU lain dari RUU kumulatif).

Anggota legislatif adalah pembuat undang-undang (lawmaker). Legislator menyusun RUU atau membahas RUU dari pemerintah untuk diterima atau ditolak. Memang sulit dibayangkan sosok yang tidak biasa berpikir secara konseptual tiba-tiba dapat menunaikan fungsi legislasi dan budgeter, meski tersedia staf ahli. Namun, mereka tidak bisa dipersalahkan. Itulah pilihan kita lima tahun yang lalu.

Sekarang 90 persen dari mereka mencalonkan diri kembali untuk dipilih. Mereka dan partai pendukung optimistis dengan kans terpilih, berdasarkan karakter massa pemilih yang tidak kritis, cenderung memilih yang sudah dikenal. Bukan hanya elite kita mempraktikkan demokrasi tanpa evaluasi, masyarakat juga.

Memanfaatkan keawaman politik itu, para ketua umum atau calon presiden jauh lebih rajin berkampanye untuk menaikkan elektabilitas partai dan diri mereka sendiri. Pesannya adalah siapa pun calegnya, pilihlah partainya. Maka, masa kampanye pra-pemilu legislatif tidak memperlihatkan kualitas caleg. Tidak sedikit caleg kurang percaya diri dan dengan alat peraga yang mendompleng popularitas ketua umum ataupun capres. Dapat dipahami apatisme mereka yang memilih untuk tidak memilih (golput). Tiada jaminan caleg baru dengan janji-janji politiknya.

Kendati demikian, demokrasi selalu memberi harapan. Selalu ada sosok wakil rakyat yang bermental baja, yang tak hanyut dalam sistem yang korup, yang siap menanggung risiko terburuk disingkirkan oleh partainya. Selalu ada caleg berkualitas dan layak pilih. Pemilu legislatif adalah upaya melipatgandakan sosok demikian agar skor integritas DPR membaik. Pemilu adalah cara mengoreksi penyimpangan demokrasi agar kemudi demokrasi jatuh ke tangan wakil rakyat yang jelas kompetensi dan integritasnya, yang lebih setia kepada negara daripada kepada partai.

Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar