23/04/14

Koalisi dan Zaken Kabinet

Kiki Syahnakri

MENYUSUL beredarnya hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 versi quick count, kini media diramaikan oleh wacana publik tentang pembentukan koalisi.
Potret perolehan suara serta manuver elite politik mengindikasikan bakal ada tiga atau empat kelompok koalisi. Langkah koalisi tak terhindarkan karena tak ada satu pun partai yang berhasil melewati presidential threshold 20 persen suara untuk mengusung calon presiden/wakil presiden secara mandiri.

Berbagai diskursus bermunculan membahas kemungkinan pola koalisi yang akan lahir. Misalnya, tentang corak koalisi yang mungkin dibangun berdasarkan kesamaan ideologis dan platform kepartaian, atau sekadar karena kebutuhan pragmatis, temporer.

Pola koalisi macam apa yang akan mampu menumbuhkan soliditas di parlemen serta dapat membangun zaken kabinet atau kabinet ahli yang berorientasi pada kepentingan nasional dan meninggalkan kepentingan kelompok, mampu memberikan performa (ter)baik sehingga menjamin efektivitas kinerja pemerintahan ke depan.

Pola koalisi

Menilik pola gaul elite politik serta model pendekatan antar-parpol dalam beberapa hari belakangan ini, ada isyarat masih adanya kemungkinan koalisi yang tidak didasarkan atas kesamaan ideologi atau platform partai politik, seperti pendekatan antara Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Indikasi corak koalisi dengan orientasi bagi-bagi kekuasaan pun masih cukup besar karena masih ada parpol papan tengah yang menawarkan calon wakil presiden sebagai syarat berkoalisi, seperti yang dilakukan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Namun, patut pula diberi acungan jempol atas sikap Partai Nasdem yang bersedia untuk berkoalisi dengan PDI-P tanpa menyodorkan cawapres atau meminta kursi menteri. Penilaian atas hal ini sangat penting karena koalisi dengan motif kekuasaan yang biasanya berujung pada politik dagang sapi dapat dipastikan akan melahirkan pemerintahan yang mudah goyah dan sulit mewujudkan kinerja optimal manakala setiap partai merasa kepentingannya tidak lagi diakomodasi.

Rapuhnya pemerintahan era SBY serta selama era sistem parlementer tahun 1950-an—karena pola koalisi pragmatis yang tidak mampu melahirkan dukungan bulat di parlemen ataupun kabinet—seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para elite politik. Sistem demokrasi dalam kondisi multipartai seperti yang sedang berjalan di Indonesia saat ini mutlak membutuhkan pola koalisi yang kuat.

Pola koalisi seperti itu hanya mungkin terbentuk bila tiap-tiap parpol beserta elite politiknya mampu meninggalkan kepentingan kelompok dan berorientasi pada kepentingan nasional, mendukung presiden terpilih dan kabinet profesionalnya, serta presiden terpilih punya keberanian untuk membentuk zaken kabinet apa pun risikonya.

Oposisi di parlemen tetap dibutuhkan, tetapi harus merupakan koreksi atas kebijakan dalam upaya mencapai tujuan nasional, bukan dengan orientasi pada kepentingan kelompok/parpol.

Zaken kabinet

Siapa pun presiden terpilih nanti niscaya akan langsung dihadang banyak pekerjaan rumah yang amat rumit. Kondisi perekonomian nasional dihadapkan pada total utang luar negeri (pemerintah dan swasta) pada akhir 2013 yang mencapai Rp 3.000 triliun, sementara debt service ratio (DSR) atau perbandingan antara devisa dari ekspor yang didapatkan dihadapkan pada kewajiban membayar utang pokok dan bunganya setiap tahun mencapai 41,4 persen. Persentase ini telah jauh melampaui lampu merah.

Rasio gini yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan telah mencapai 0,41 (Data Badan Pusat Statistik, 2012), naik tajam dari 0,32 (2002). Kemunduran serius yang menunjukkan jurang antara si kaya dan miskin tambah menganga. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2013 menempati urutan ke-121 dari 185 negara, dengan skor 0,629, jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, dan Filipina. Posisi kita hanya berada satu tingkat di atas Vietnam dan negara-negara Indochina lainnya, serta Myanmar dan Timor Leste.

Laporan BPS September 2013 mencatat 11,37 persen (28,55 juta) penduduk Indonesia berstatus miskin. Angka ini dihitung dengan ambang batas kemiskinan BPS, yaitu Rp 271.626 per bulan. Bila menggunakan standar Bank Dunia, yaitu 2 dollar AS
per kapita per hari, penduduk berstatus miskin Indonesia menjadi hampir 100 juta orang. Data BPS lainnya menyebutkan pada Agustus 2012 jumlah penganggur terbuka mencapai 7,6 juta atau sekitar 6,32 persen dari angkatan kerja 120,4 juta orang.

Dari perspektif politik, implementasi otonomi daerah (otda) yang bertendensi federalistis, melahirkan banyak ”raja kecil” yang cenderung feodalis dan korup, pada ujungnya telah menumbuhkan hasrat pemekaran daerah yang nyaris tak terkendali. Di bidang pertahanan dan keamanan, kita masih memiliki pekerjaan rumah besar, terutama di Papua dan Aceh. Dalam aspek budaya tumbuh subur materialisme, hedonisme, KKN, dan anarkisme.

Potret di atas menuntut pemerintahan mendatang harus merupakan kabinet ahli (zaken kabinet). Kebiasaan dagang sapi harus segera diakhiri. Koalisi di parlemen harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi/kelompok. Para menteri di kabinet harus terdiri atas para profesional. Kalaupun direkrut dari kader parpol,  harus merupakan ahli di bidangnya.

Dalam pemilu presiden/wakil presiden yang akan datang, sebaiknya para kandidat telah menyertakan susunan kabinet. Bersamaan dengan itu, media massa menyosialisasikan biodata serta rekam jejak mereka.

Dengan demikian, para pemilih akan melihat sekaligus menyeleksi para calon presiden/wapres serta para calon pembantunya sehingga kemungkinan terbentuknya zaken kabinet menjadi lebih besar, sekaligus bisa dihindarkan kebiasaan politik dagang sapi. 

Kiki Syahnakri, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS, 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar