23/04/14

Menunggu Kesatria Konstitusi

Indra Tranggono

Rendra pernah bilang, rakyat tidak membutuhkan ratu adil, tetapi hukum yang adil. Pernyataan ini menghardik cara berpikir mesianistik yang lebih dekat dengan mitologi dan ”klenik”, dua fakta mental yang tetap hidup dalam kebudayaan bangsa kita.

Penyair dan dramawan itu lebih melihat nasib rakyat sebagai problem struktural dan sistemik dibanding problem budaya spiritual. Menjadikan hukum sebagai panglima menjadi cara strategis untuk mengatasi persoalan dibanding berharap kepada figur sentral. Hukum sebagai panglima meniscayakan keadaban yang memungkinkan terwujudnya keadilan dan rasa keadilan publik.

Para penyelenggara negara bukan lagi sebagai pemilik dan pengendali hukum, yang selalu memborong kebenaran sepihak, melainkan hamba/penegak hukum yang bertugas mulia mewujudkan cita-cita konstitusi. Namun, dalam sejarah pengelolaan negara, bangsa ini belum pernah merasakan nikmatnya hasil pelaksanaan hukum sebagai panglima.

Meskipun negeri ini selalu dimaknai sebagai negara hukum, belum ada praktik kekuasaan setiap rezim yang menjadikan hukum sebagai panglima. Soekarno lebih suka menjadikan politik sebagai panglima. Soeharto lebih enjoy menjadikan ekonomi sebagai panglima dengan langgam kapitalisme (yang dikontrol) negara.

Rezim-rezim pasca Soeharto sekadar menjadi resonansi kebijakan ekonomi kekuasaan Orde Baru. Hanya aksentuasinya saja yang berbeda: kapitalisme liberal yang memanjakan pasar bebas. Ini berjalan tanpa pengawalan hukum secara ideal atau mendekati ideal.

Jika dicermati, setiap rezim yang datang dan berkuasa selalu menciptakan hubungan yang berjarak antara praktik penyelenggaraan negara dan hukum sebagai panglima.
Padahal, negara ini mengambil model negara modern berbasis demokrasi. Lazimnya demokrasi selalu menyertakan penegakan hukum sebagai syarat penting selain kompetensi, transparansi, dan kesetaraan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).

Akibatnya, demokrasi hanya menjadi label dan prosedur kekuasaan tanpa substansi: kedaulatan di tangan rakyat.

Demokrasi hanya menjadi milik kelompok tertentu yang menguasai kapital. Demokrasi ”wani piro” (transaksional) pun berjalan secara dominan. Berbagai dekadensi dalam praktik penyelenggaraan negara pun tak bisa dihindari.

Korupsi menjadi anutan tunggal para penyelenggara negara. Semua ini menunjukkan, tanpa hukum sebagai panglima, kekuasaan berbasis demokrasi cenderung brutal. Tak ada kepastian hukum. Tak ada keadilan.

Modus eksistensi

Apakah Pemilu 2014 mampu melahirkan wakil rakyat partai yang mampu melahirkan sistem berupa legislasi berkualitas dan berpihak kepada kepentingan rakyat? Juga, apakah akan lahir presiden dan wakil presiden yang mampu menciptakan dan menjalankan regulasi sesuai amanat konstitusi? Itulah dua pertanyaan genting yang hidup dalam benak rakyat.

Kita berharap para caleg dan capres-cawapres mampu menangkap dan menerjemahkan kegelisahan yang terkandung dalam pertanyaan rakyat itu. Pemberian suara rakyat harus dimaknai sebagai kepercayaan, pesan moral, dan aspirasi politik yang harus diwujudkan oleh caleg dan capres dalam peran legislatif dan eksekutif mereka.

Rakyat tidak membebani Anda semua untuk menjadi ratu adil. Tugas itu terlalu tinggi dan berat. Rakyat hanya ingin Anda semua bisa menjadi penyelenggara negara yang baik, berani menempuh langkah etis, dan mampu melahirkan karya besar berupa legislasi, regulasi, dan kebijakan politik tata kelola kekuasaan.

Tolong, singkirkan impian untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara mengeksploitasi kekuasaan. Sekali dalam hidup Anda semua, jadilah kesatria konstitusi, yang berani bertarung secara total menciptakan kesejahteraan rakyat. Ada tokoh yang dapat menginspirasi Anda semua, misalnya Presiden Venezuela Hugo Chavez (1954-2013).

Sepanjang masa kepemimpinannya, Hugo telah menerapkan konstitusi baru, mendirikan dewan demokrasi partisipasi, menasionalisasi sejumlah industri penting, meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan, dan mengurangi tingkat kemiskinan secara besar-besaran.

Tentu Anda semua sudah memahami modus eksistensi ala Erich Fromm, yakni ”memiliki” dan ”menjadi”. Rakyat berharap Anda semua memilih modus eksistensi ”menjadi”, yakni menjadi negarawan, bukan sekadar politikus.

Rakyat berharap, tanpa menjadi ratu adil pun Anda semua mampu mengakhiri mimpi buruk bangsa ini. Namun, tidak dengan janji dan pencitraan, tetapi dengan kemampuan, integritas, komitmen, dan dedikasi.

Tolong, sekali dalam hidup beranilah Anda semua menjadi manusia baik yang memiliki kesalehan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Sudah lama buku sejarah bangsa ini menganggur, tidak mencatat munculnya tokoh besar.

Catatan sejarah yang bagus merupakan salah satu penanda tingginya peradaban bangsa. Anda semua pasti tak mau membiarkan bangsa ini absen dalam membangun kebudayaan dan peradaban, hanya karena para penyelenggaranya sibuk memperkaya diri dan tenggelam dalam hedonisme.

Anda semua punya kapasitas untuk menjadi pribadi-pribadi asketis ala para begawan atau brahmana. Suatu ketika, anak cucu kita akan menemukan Anda semua sebagai tuan rumah sejarah bangsa. Semoga.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan, Sastrawan
KOMPAS, 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar