28/11/13

Kepantasan Dokter Melakukan Mogok

Ali Ghufron Mukti
 
DOKTER adalah profesi luhur dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter.

Banyak anak jika ditanya, bercita-cita menjadi dokter. Namun, tak semua anak yang bercita-cita menjadi dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya mengandalkan kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong sesama, ketekunan, ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.

Pendek kata, dokter adalah manusia pilihan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki jiwa pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau masyarakat.

Masalahnya kenapa para dokter spesialis kebidanan dan kandungan mogok pada 27 November 2013? Dapatkah diterima secara etis dokter melakukan pemogokan? Tentu jawabannya sangat dipengaruhi sudut pandang, posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri.

Dokter yang kebetulan istrinya sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh Indonesia mogok.  Seorang pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan kesehatan masyarakat berjalan lancar tentu akan merasa prihatin jika dokter kandungan mogok, apalagi secara nasional.

Risiko dokter

Bisa dimengerti jika Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit. Surat edaran tersebut terkait dengan rencana aksi solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dan kawan-kawan yang isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga  kesehatan di rumah sakit mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan.

Kedua, melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, kesembuhan pasien, serta keamanan dokter Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan agar pelayanan berlangsung seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.

Seorang profesor di fakultas kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya mogok, padahal sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi strategi dan teknik mogok.   Lantas mengapa dokter mogok? Penulis mencoba memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi solidaritas. Meski  penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali ada alasan kuat untuk itu.

Para dokter kandungan yang mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar praktik kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah memberikan layanan sesuai standar praktik kedokteran, tetapi mereka yakin tidak bisa menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi menyangkut nyawa dengan kondisi pasien yang parah.

Mereka ingin dalam menjalankan profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien terutama dalam keadaan  emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin kasus sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka ingin didengar masyarakat bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil, tetapi hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering dokter sudah divonis lalai atau melakukan malapraktik. Seakan-akan semua perjuangan dan kebaikan berbuat maksimal untuk kebaikan pasien hilang dan tenggelam.

Bagaimana seharusnya

Tentu dari sekian banyak dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan status dokter. Ada dokter yang kurang kompetensi, keterampilan, dan pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang sudah diatur agar masyarakat dapat mempertanyakan apakah seorang dokter melanggar etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik.

Tidak perlu langsung aparat penegak hukum, tetapi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dengan mekanisme ini, semua akan diuntungkan dan semua tidak dirugikan.

Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar