Ali Khomsan
SASARAN beras untuk orang miskin −populer sebagai raskin− yang mencapai 80 juta penduduk Indonesia merupakan indikasi masih banyak masyarakat miskin yang memerlukan akses pangan murah. Kebutuhan pangan memang yang paling utama harus dipenuhi dalam kehidupan seseorang.
Maslow merumuskan teori hierarki kebutuhan manusia yang menempatkan kebutuhan fisiologis (termasuk memenuhi kebutuhan rasa lapar) sebagai peringkat pertama yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Di sisi lain, anemia diperkirakan menjadi masalah mikronutrien (gizi mikro) terbesar di dunia.
Sekitar satu miliar penduduk bumi mengalami anemia. Di Indonesia, anemia diderita oleh lebih dari 100 juta orang pada berbagai kelompok umur (Depkes, 2003). Segmen populasi yang rawan adalah ibu hamil, anak prasekolah, anak usia sekolah, dan lansia.
Masih banyak provinsi di negara kita (14 provinsi, menurut Riskesdas 2007) yang anak-anaknya berstatus kadar hemoglobin rendah atau di bawah rata-rata angka nasional. Hemoglobin rendah merupakan indikasi kekurangan zat besi yang memicu anemia dan ini disebabkan oleh rendahnya kualitas konsumsi pangan. Rendahnya konsumsi pangan hewani, karena tidak terjangkau daya beli, dapat menyebabkan terjadinya anemia.
Banyak publikasi yang menunjukkan bahwa defisiensi besi akan membatasi potensi intelektual anak secara signifikan. Selain itu, perkembangan psikomotorik anak juga terhambat secara permanen. Indeks psikomotorik seorang anak berkurang 5-10 poin ketika anak menderita anemia. Gangguan perkembangan anak ini membawa pengaruh negatif dalam rentang hidup seorang anak yang panjang.
Kelaparan tersembunyi
Masalah defisiensi gizi mikro merupakan wujud hidden hunger yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan politik menyongsong 2014 dan berbagai berita korupsi, kita jangan abai terhadap persoalan gizi yang senantiasa mengintai warga masyarakat yang rawan ekonomi sehingga memicu rawan gizi.
Seharusnya keberhasilan kepemimpinan nasional ataupun daerah (gubernur, bupati/wali kota) dicerminkan oleh prestasinya dalam mengatasi persoalan gizi. Mengapa? Karena gizi kurang adalah pertanda kurangnya perhatian kita terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Apabila pemimpin-pemimpin kita mengabaikan persoalan SDM, bangsa ini akan tetap terpuruk di tengah-te- ngah semakin melajunya bangsa-bangsa lain.
Fortifikasi adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan makanan dengan tujuan agar masyarakat terhindar dari defisiensi (kekurangan) zat gizi tersebut. Di Indonesia, fortifikasi yodium telah dilakukan pada garam. Terigu juga sudah difortifikasi dengan zat besi atau vitamin/mineral lainnya. Raskin menjadi berpotensi sebagai wahana fortifikasi karena distribusinya merata dan menjangkau semua penduduk berkategori miskin. Sebagai pangan pokok dengan harga murah, raskin sangat sesuai untuk difortifikasi dengan zat besi karena zat besi saat ini masih sangat kurang dikonsumsi masyarakat.
Bisa dikontrol
Bulog dengan penggilingan padi yang ada di sejumlah daerah merupakan aktor penting dalam menyiapkan dan mendistribusikan raskin. Salah satu syarat fortifikasi adalah proses produksinya bisa dikontrol dan relatif terpusat. Fortifikasi raskin dengan kelembagaan yang terbatas, seperti Bulog sangat mungkin untuk dilakukan. Konsumsi beras bagi masyarakat Indonesia variasinya tidak terlalu besar.
Oleh sebab itu, raskin yang telah difortifikasi (dengan zat besi) memungkinkan asupan gizi mikro yang relatif sama antarindividu karena beras yang dikonsumsi jumlahnya hampir sama. Kalau raskin dan pangan-pangan penting yang menjadi hajat hidup orang banyak telah difortifikasi dengan gizi mikro, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa bangsa Indonesia akan mengalami masalah gizi yang lebih gawat. Masalah gizi kurang harus ditekan prevalensinya melalui program perbaikan konsumsi pangan. Kebijakan fortifikasi gizi mikro kiranya perlu segera diimplementasikan pada pangan-pangan strategis.
Namun, fortifikasi harus diikuti langkah-langkah pengawasan terhadap produk yang dihasilkan agar memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan pemerintah. Penegakan hukum perlu dilakukan pada siapa pun yang mengklaim suatu produk terfortifikasi, tetapi kenyataannya jumlah fortifikan yang ditambahkan tidak memenuhi syarat kuantitas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan.
Hal penting yang dapat mendukung kebijakan fortifikasi adalah perlunya subsidi untuk tahap awal diterapkannya teknologi fortifikasi. Misalnya, bahan baku gizi mikro, seperti zat besi untuk beras atau terigu, vitamin A un- tuk minyak goreng, dan yodium untuk garam, mungkin perlu disubsidi pada awalnya.
Selain itu, Kementerian Kesehatan dan badan-badan nonprofit, seperti Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Program Pangan Dunia PBB (WFP), Hellen Keller International, Komisi Fortifikasi Indonesia juga harus mendukung dengan studi efikasi untuk mengetahui efektivitas pangan terfortifikasi untuk pencegahan defisiensi gizi mikro. Juga harus terus-menerus dilakukan pemasaran sosial tentang pentingnya masyarakat mengonsumsi pangan terfortifikasi. Dengan demikian, pada permulaannya kebijakan fortifikasi ini tidak hanya dibebankan pada industri pangan, tetapi hendaknya semua pihak mendukung dan memberikan kontribusi.
Ali Khomsan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar