J Suryo Prabowo
Tema Hari TNI tahun ini menunjukkan, TNI berkomitmen untuk bisa menjadi profesional, militan, dan solid serta dekat dengan rakyat. Tanpa itu semua, mustahil TNI akan kuat.
Bila kata profesional adalah ”...terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya....”, pemilihan tema ini tentu bukan retorika. Lihat saja, TNI tidak lagi berbisnis. Mereka telah mendapatkan jaminan kesejahteraan remunerasi dan sejak tahun 2010 setiap tahun telah dialokasikan rusunawa bagi prajurit TNI. Pada tahun 2013, TNI mendapatkan alokasi rusunawa sebanyak 57 tower (masing-masing terdiri atas 70 unit rumah tipe 36) senilai Rp 1 triliun.
TNI pun juga tetap teguh tidak berpolitik praktis, dan tentang hal ini Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lugas mengimbau agar semua elemen tidak menarik TNI ke ladang politik praktis. Begitu pula dengan peningkatan penyelenggaraan pendidikan, latihan dan modernisasi alutsista TNI. Sejak diterbitkannya Perpres No 41/2010, pemerintah telah menyediakan anggaran (2010-1014) sebesar Rp 156 triliun untuk modernisasi alutsista.
Profesionalitas TNI
Meski demikian, untuk bisa mencapai profesionalitas, masih ada banyak hal yang perlu atensi. Pertama, pengadaan alutsista dalam program MEF secara kuantitas belum dapat meningkatkan kemampuan tempur TNI. Alutsista yang diadakan baru dapat digunakan untuk diplomasi militer dalam bentuk penyelenggaraan latihan bersama dengan negara-negara sahabat. Oleh karena itu, tentu tak tepat bila masih ada yang berpendapat itu adalah bagian dari strategi penangkalan.
Kedua, modernisasi alutsista harus diikuti dengan modernisasi paradigma dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Sekarang ini tidak tepat lagi mendesain pertahanan negara dengan mengasumsikan adanya agresor yang akan menginvasi Indonesia melalui laut (ALKI). Perang yang terjadi di abad ini ”hanya” untuk menjatuhkan rezim yang menjadi musuh dunia, dan perang tdak ada lagi yang terjadi hanya antardua negara, tetapi sudah melibatkan banyak negara, dan hanya bisa terjadi ”atas izin” PBB.
Ketiga, kita harus realistis. Sejarah mencatat, ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI selama ini adalah pemberontakan/separatis bersenjata, yang umumnya proxy dari negara-negara yang memusuhi Indonesia. Oleh sebab itu, skenario ”perang dunia mini” yang selalu digunakan dalam Latihan Gabungan TNI menjadi tidak relevan. Doktrin, strategi, dan taktik sama sekali tidak bisa dibuat hanya ikut-ikutan tentara negara lain. Begitu juga untuk bisa menjadi world class pun TNI tidak perlu berpenampilan dan berpakaian seperti tentara asing.
Keempat, modernisasi alutsista seharusnya juga diimbangi dengan modernisasi organisasi yang didesain dengan menggunakan kekuatan yang ada secara tepat (zero growth dan right sizing). Bukan sekadar pembagian pangkat atas dasar kesetaraan. Dengan demikian, sebaiknya ditinjau kembali rencana pembentukan Kogabwilhan, Kohanla, dan Kohanud yang masing-masing dipimpin perwira tinggi bintang tiga. TNI tidak akan pernah terlibat dalam pertempuran besar-besaran di laut dan udara seperti zaman PD II.
Sementara itu, bila Ko(gab)wilhan pernah dilikuidasi pada tahun 1985 karena tidak efektif tentu tidak tepat bila dibentuk lagi. Begitu pula dengan Puskersin TNI yang dibentuk secara spontan seharusnya ditinjau kembali karena terkesan mengambil alih porsi Kemhan. Organisasi TNI seperti ini mengakibatkan: pemborosan keuangan negara; bertentangan dengan right sizing; dan terkesan tidak profesional.
Kelima, dengan asumsi setiap tahun TNI mendapatkan 57 rusunawa, untuk memenuhi kekurangan 274.571 rumah masih diperlukan 68 tahun dengan anggaran sekitar Rp 70 triliun. Itu pun bila rumah yang ada tetap terpelihara, dan tidak semakin banyak ditempati purnawirawan.
Militansi dan soliditas TNI
Siapa pun prajurit TNI yang melakukan tindak pidana tentu harus dipidana. Begitulah seharusnya hukum ditegakkan. Dalam hal penegakan hukum ini, komitmen TNI tidak perlu diragukan. Namun, dalam beberapa kasus, situasi psikologis yang melatarbelakangi terjadinya suatu tidak pidana juga harus direduksi. Hal itu misalnya pada kasus penembakan napi di Lapas Cebongan. Ditinjau dari aspek hukum, mereka memang salah. Namun, perlu dipahami mereka melakukan karena merasa tak pernah ada yang membela rekannya yang menjadi korban kriminalitas. Bahkan, ketika ada prajurit TNI yang gugur karena kekejian OPM di Papua, jangankan menangkap pelakunya, mengevakuasi jenazahnya pun perlu waktu lama. Situasi seperti ini dapat menimbulkan terjadinya dekadensi moral dan moril prajurit TNI. Akibatnya tidak hanya soliditas yang terusik, tetapi juga militansi prajurit dalam pelaksanaan tugas menjadi sesuatu yang sangat sulit didapatkan.
Harapan
Diharapkan peningkatan profesionalitas TNI dapat berlangsung tanpa diwarnai rivalitas angkatan dan bebas dari kepentingan politik praktis. Kebijakan peningkatan profesionalitas dan program menghapuskan dehumanisasi dalam kehidupan prajurit TNI perlu didukung segenap komponen bangsa. Karena baik- buruknya TNI tanggung jawab negara. Bukan hanya TNI.
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah pemberian peningkatan kesejahteraan untuk meningkatkan profesionalitas TNI berpotensi menjauhkan prajurit TNI dari rakyat. Jati diri TNI sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang akan dapat tereduksi. Oleh sebab itu, tentu akan lebih bijak bila peningkatan jaminan kesejahteraan bagi prajurit TNI juga diimbangi dalam menyejahterakan segenap rakyat Indonesia.
Bersama rakyat TNI kuat. Dirgahayu TNI.
J Suryo Prabowo Letjen TNI Purnawirawan; Kasum TNI 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar