06/10/13

TNI Tetap Tentara Pejuang

Budiman 

Hari ini, 5 Oktober, adalah Hari Tentara Nasional Indonesia. Jenderal Besar Soedirman pernah mengatakan bahwa hubungan antara tentara dan rakyat ibarat ikan dengan air. Itu adalah diktum. Tanpa rakyat, TNI tidak eksis. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi TNI untuk selalu menyayangi dan berada di pihak rakyat.

Dalam konstruksi seperti itu, kewajiban untuk berbuat segalanya bagi rakyat hanya akan mewujud apabila TNI menjadi profesional. Maknanya, semua prajurit TNI—meminjam karakteristik Huntington (1957)—harus mumpuni (berkeahlian), bertanggung jawab, dan bersemangat kesatuan. Dalam konteks ini, saya berpendapat kedisiplinan perlu ditambahkan sebagai bagian integral dari karakteristik TNI profesional.

Dengan demikian, sebagai alat pertahanan negara, TNI akan berkemampuan menghadapi pusaran perubahan masa depan yang semakin cepat, kompleks, penuh kejutan, dan ekstrem, terutama menyangkut pergeseran geopolitik dan lingkungan strategis kawasan dan internasional.
Memperdalam paradigma

Menyimak kemampuan prajurit kita—baik secara mental, fisik, maupun olah pikir—tidak ada keraguan sedikit pun yang perlu dilekatkan pada mereka sebagai tentara profesional. Meskipun TNI baru akan memiliki alat utama sistem persenjataan (alutsista) setara dengan 30-35 persen minimum essential force (MEF) pada 2014, dan secara obyektif tingkat kesejahteraan prajurit juga masih terbatas, nilai-nilai yang mencerminkan profesionalisme TNI semakin melembaga. Ini merupakan modal dasar ketangguhan TNI selama ini.

Semua itu berakar dari persepsi diri bahwa TNI membentuk dirinya sendiri sebagai tentara pejuang. Suka atau tidak, hal ini membentuk mental prajurit yang tangguh. Dengan demikian, ketika militer secara institusi memutuskan melakukan reposisi dan reaktualisasi perannya di era awal reformasi, semua prajurit menyambut penuh semangat.

Melalui paradigma baru, militer memutuskan untuk tidak terlibat dalam bidang- bidang nonmiliter (ekonomi dan politik) dan berfokus pada masalah pertahanan negara. Dalam perjalanannya, peta jalan menuju TNI profesional dengan tolok ukur kompetensi, akuntabilitas, dan kesejahteraan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tak mengherankan jika banyak analis mengatakan, reformasi internal TNI dianggap paling maju dibandingkan dengan institusi lain.

Akan tetapi, ketangguhan prajurit tersebut tidak akan pernah menjelma menjadi postur ideal TNI apabila tidak dilengkapi dengan teknologi militer yang canggih dan peralatan modern. Sejauh ini, peralatan militer kita secara umum masih ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Namun, dengan alokasi dana Rp 156 triliun untuk pengadaan senjata pada periode 2010-2014 dan konsistensi anggaran pada masa depan, Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan militer modern setara dengan target MEF pada 2024.

Maknanya, Indonesia tidak bisa lagi dipandang remeh karena ke depan anggaran militernya menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Sebagai kebanggaan awal, tahun ini saja modernisasi peralatan tempur Indonesia akan dilengkapi dengan beberapa jet tempur canggih, helikopter, kendaraan tempur, dan kapal perang. Dengan langkah ini, negara-negara di kawasan kini memandang Indonesia telah melangkah dengan serius dalam membangun kekuatan militernya demi menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Modernisasi peralatan militer tersebut juga menjadi sandaran untuk menjaga komitmen Indonesia pada politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tanpa kemampuan deterrent atau jika belum mencapai kekuatan progresif untuk melindungi diri sendiri, mustahil politik bebas aktif dan nilai kejuangan TNI untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia bisa dijalankan. Pendeknya, konsistensi kebijakan mewujudkan kemampuan militer setingkat MEF pada tahun 2024 harus dijaga terus oleh semua komponen bangsa.

Dua strategi

Hal itu berkaitan dengan konsensus nasional untuk menjalankan praktik politik demokratis. Memperkuat kemampuan alat utama sistem persenjataan, TNI berarti memperkokoh spirit dan posisi TNI sebagai tentara pejuang. Ini dapat dipandang sebagai pendalaman paradigma baru TNI yang sejak awal reformasi memutuskan tidak terlibat di dalam urusan nonmiliter.

Selain modernisasi sistem persenjataan, pendalaman paradigma baru TNI juga bisa diwujudkan dalam hubungan sipil-militer yang harmonis. Dukungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada profesionalisme TNI yang lahir dan tumbuh sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat dapat direalisasi melalui kesepahaman bersama menyangkut beberapa paket undang-undang yang sampai sekarang belum tuntas.

Hal itu, misalnya, Rencana Undang-Undang Keamanan Nasional, Komponen Cadangan dan Pendukung, Bela Negara, Mobilisasi, Peradilan Militer, dan Tugas Perbantuan. Tanpa regulasi itu, termasuk juga peningkatan anggaran operasional TNI yang sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, profesionalisme TNI dapat terhambat. Dengan istilah lain, TNI tidak bisa mendalami lebih lanjut pada paradigma barunya.

Akibat lebih lanjut dari situasi tersebut adalah tidak maksimalnya peran TNI meskipun secara postur sistem persenjataan dan personel sudah ideal. Padahal, sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat, TNI harus memainkan dua strategi sekaligus, yaitu melalui soft politics (resolusi damai) dan jika terpaksa melalui militeristik dalam menyelesaikan setiap konflik internal ataupun eksternal. Apa pun kondisinya, TNI akan tetap menjadi tentara pejuang. Dirgahayu TNI!

Budiman Jenderal TNI; Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar