05/10/13

Memberdayakan Manajemen

Bob Widyahartono  

BANYAK sumber daya manusia, terutama eselon menengah, yang menjadi mapan dan enggan belajar. Mereka tersebar di organisasi bisnis, perbankan, dan instansi pemerintah, yang tidak punya semangat untuk lebih bermutu dan menumbuhkan ”jiwa kewirausahaan”. Alasan-alasannya biasanya klasik, seperti kurang waktu, balas jasa yang tidak memadai untuk berkarya lebih profesional, dan beretika dalam melayani.

Sebaliknya, banyak manajemen puncak kita justru terbawa kebiasaan manajemen Barat yang menuntut ke bawah untuk berinovasi sehingga menganggap manajer tingkat menengah langka berinovasi, dalam arti terbelakang dalam operasi manajerial, stagnan dalam kegiatan sehari-hari, dan tidak mau mengubah diri.
Maka, kini saatnya berinisiatif menjadi pemimpin yang efektif dan menggerakkan perubahan.

Namun, sebelum menjadikan diri ”pemimpin efektif”, seseorang harus melihat realitas dengan menggugat diri. Baru setelah itu membangun kesadaran bersama dalam organisasi agar jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) berpeluang tumbuh.

Inovasi jadi kunci

Kita perlu belajar dari pengalaman pelaku manajemen Jepang, Korea Selatan, dan China, yang sejak dekade 1980-an gigih membuka peluang dan mengatasi hambatan dalam diri dengan satu kata kunci: inovasi.

Ilmuwan Jepang, Prof Ikujiro Nonaka, bersama Prof Hirotaka Takeuchi, pada tahun 1995 sudah mengungkapkan inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation). Namun, ini harus didukung interaksi dalam organisasi antara tingkatan puncak, menengah, dan bawahan dan sekaligus untuk menggerakkan peran manajemen menengah.

Dalam hal ini, ada yang tidak terucapkan dan terucapkan. Yang terucapkan dapat dibagi dalam dua jenis: know-how (aspek prosedural) dan semacam frame of reference.

Inilah yang dikenal sebagai mental model, mencakup paradigma dan kepercayaan tradisional dalam memersepsi dunia dan lingkungan.

Berikutnya adalah yang dinyatakan secara eksplisit (articulable). Pengetahuan yang nyata (articulable) adalah berkenaan dengan pengetahuan yang dialihkan (transmittable) dalam bahasa formal, sistematik, sedangkan pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit) adalah mempribadi, sulit diformulasi, dan tidak mudah dikomunikasikan.

Dengan pendekatan di atas, muncul pertanyaan, apa langkah konkret untuk memberdayakan manajemen menengah?

Model penyintesis

Model top-down dan bottom-up sudah lama dianggap sebagai dua proses dikotomis manajerial yang saling bertentangan dalam kebanyakan organisasi, dengan kebekuan di pihak manajemen menengah.

Maka, kehadiran middle-up-down menjadi sintesis untuk membuka spektrum baru dalam mengontribusikan semangat untuk menyerap pengetahuan.

Misalnya, menerima hasil kemajuan teknologi informasi, seperti telepon seluler dan internet, sebagai sarana untuk menstimulasi pelayanan tepat waktu.

Inilah tantangan ke depan. Langkah-langkah yang perlu digerakkan oleh pimpinan dalam arti menstimulasi kebersamaan manajemen dalam mengembangkan praktik-praktik dasar nyata yang menstimulsi kreativitas tanpa terjebak kepuasan instan.

Bob Widyahartono  Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar