21/09/13

Demokrasi atau Borjuasi?

Ferdy Hasiman

Setelah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diamendemen oleh UU No 32/2004, otoritas pemberi konsesi pertambangan beralih ke pemerintah daerah: gubernur, bupati, atau wali kota. Lisensi yang diberikan UU menjadi (mesin) ATM untuk menarik banyak uang dari investor.

Pemda tak peduli apakah pemberian izin konsesi menabrak aturan hukum yang berlaku atau tidak. Asal saja ada potensi tambang, emas, nikel, batubara, dan mangan di bawah perut bumi, semuanya digadaikan kepada korporasi tambang. Pemberian izin tiap tahun pun meningkat tajam. Sampai 2012, izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 10.235. Dari jumlah itu, hanya 4.151 IUP dinyatakan bersih. Adapun 6.084 IUP dinyatakan ilegal.

Kekuasaan an sich tidak baik dan tidak buruk. Persoalannya, bagaimana kekuasaan itu digunakan, sangat bergantung pada integritas sang penguasa. Jika integritas penguasa runtuh, kebijakan publik untuk kepentingannya. Begitulah pemda pada zaman otonomi daerah ini menggunakan kekuasaan.

Mental borjuis

Merajanya korporasi lokal membuat pemda lebih menempatkan diri sebagai sa- habat investor daripada penyelenggara negara. Transaksi, mulai dari perizinan hingga pengapalan bahan tambang, dipermudah.

Ketika ada warga setempat yang menuntut kedaulatan atas tanah, aparat militer dan kepolisian mengokang senjata mengamankan aset investor tambang dengan dalih pertambangan dapat meningkatkan penerimaan daerah, investasi, dan lapangan kerja.

Tak ada tanda-tanda rakyat sejahtera dari tambang. Pembangunan di daerah masih bergantung kepada pusat, sementara lapangan kerja menyempit. Aparatur pemda bak borjuasi. Rumah dan mobil mereka mewah-mewah. Mental borjuasi menyebabkan pemda sesuka hati menjual tanah rakyat kepada investor.

Pemda tak peduli lagi dengan masa depan pertambangan dan kedaulatan ekonomi. Yang mereka pikirkan bagaimana duduk manis di singgasana kekuasaan dengan menjual kekayaan rakyat.

Padahal, otonomi daerah digagas untuk menegasi konsep pembangunan asimetris pada masa Orde Baru ketika pusat menentukan isi perut daerah. Dengan otonomi daerah, pemda diberi ruang untuk kreatif dan inovatif mendesain pola pembangunan berbasis kearifan lokal. Harapannya, lapangan kerja tersedia dan eksodus warga desa ke kota minimal. Dengan menggerakkan ekonomi lokal, lulusan sarjana tidak berebutan jadi pegawai negeri sipil yang menguras belanja negara. Dengan begitu, porsi belanja modal seperti infrastruktur publik—transportasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan—meningkat.

Otonomi daerah kini hampir tumbang. Investasi berskala raksasa, seperti pertambangan, malah mengincar daerah. Grup-grup besar di sektor pertambangan yang pada zaman Orde Baru mendapat karpet merah dari penguasa sekarang melakukan deal gelap dengan pemda.

Di Morowali, Sulawesi Tengah, ratusan hektar luas konsesi tambang nikel yang diberikan pemda dikuasai pengusaha kakap: Artha Graha, Billy Resources, Salim Group, dan Harita Group (Clear & Clean, Morowali, 2013). Di Ketapang, Kalimantan Barat, Harita Group dan puluhan anak usahanya menguasai 223.480 hektar konsesi tambang bauksit untuk diekspor ke China. Ekspansi korporasi asing pun tak terkontrol. Di Konawe (Sulawesi Tenggara) dan Morowali, anak usaha raksasa Trans National Corporation, Rio Tinto Plc, PT Sulawesi Cahaya Mineral, mengontrol 132.200 hektar lahan konsesi nikel (Rio Tinto, 2012). Di NTT, dari 22 perusahaan asing masuk NTT dengan total investasi Rp 82 miliar, 99 persen korporasi tambang. Belum terhitung korporasi lokal (BKPM-NTT, 2011).

Penetrasi korporasi lokal-global menimbulkan desentralisasi korupsi. Pada masa Orde Baru, korupsi di sektor pertambangan menyemut di pusat. Setelah pemberlakuan otonomi daerah, korupsi berpindah ke lokal. Pada awal 2013, Bupati (nonaktif) Kolaka Buhari Matta dipenjara karena terlibat dalam penjualan bijih nikel berkalori rendah yang merugikan negara Rp 24 miliar. Ia diduga menjual 220.000 bijih nikel porsi pemerintah kabupaten kepada PT Kolaka Mining Internasional.

LSM lokal di Ketapang juga mendesak KPK melakukan investigasi terhadap Bupati Ketapang yang serampangan mengeluarkan izin konsesi kepada Harita Group. Terlepasnya bangsa ini dari jeratan sentralistik Orde Baru rupanya tak mengubah banyak wajah republik ini. Reformasi tidak membawa kita kepada penghayatan kebajikan demokrasi: patriotisme dan cinta akan keberlangsungan republik. Para elite kekuasaan suka mereduksi kepentingan rakyat. Demokrasi tak lebih dari dongeng karena secara faktual pelaku kekuasaan lokal merupakan pilihan kelas elite. Tengoklah pemilihan gubernur, bupati/wali kota yang menyelundupkan kepentingan tersembunyi: mendapat konsesi pertambangan.

Maka, oligarki, korporatokrasi, kolusi, dan korupsi bukan hal baru di republik ini. Otonomi daerah hanya instrumen merekayasa pengalokasian sumber alam di daerah. Padahal, rakyat berharap, dengan otonomi daerah, kekuasaan itu lebih dekat dengan rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 tentang tugas negara memaslahatkan rakyat.

Amanat konstitusi dibuang ke tong sampah. Urusan kesejahteraan rakyat tetap pada pelaku-pelaku pasar, sementara pasar tak dapat menjamin keadilan sosial, membangun infrastruktur, membangun komunitas sosial, mengatasi masalah kemiskinan. Pasar hanya mengenal ”logika” kepentingan diri. Hasrat akumulasi menyebabkan manajemen pertambangan kian amburadul. Uang telah melicinkan perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung dan menabrak tata ruang wilayah.

Kehadiran korporasi terus menyulut konflik agraria dan konflik sosial dengan warga karena lingkungan hidup yang tak terurus dan melebarnya kesenjangan sosial. Tambang bak imperialisme baru yang memperbudak. Rakyat daerah yang tak terdidik terisap jadi buruh tambang.

Presiden melampaui prosedur

Selain melanggar tata ruang, pemda tak transparan dalam lelang dan pembagian royalti saat memberi konsesi. Karena itu, prosedur-prosedur ini perlu diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika ada kejanggalan, BPK harus meneruskannya ke KPK untuk ditertibkan sekaligus meredam perampasan kekayaan alam.

Korupsi oleh perusahaan tambang akan membunuh demokrasi kita. Penanganannya tak bisa biasa. Presiden harus melampaui prosedur dan konstitusi yang berlaku. Misalnya, bersama DPR, presiden mengeluarkan aturan hukum ketat agar memublikasikan semua cek atau dana yang dikirim ke tingkat lokal (tidak hanya diketahui PPATK). Pemda harus memublikasikan jumlah hasil penjualan konsesi pertambangan dan jumlah bagi hasil untuk pusat-daerah kepada rakyat daerah.

Demokrasi harus dikembalikan kepada substansinya, patriotisme. Jangan kita jatuh kepada borjuasi yang gemar mengempaskan kepentingan rakyat.

Ferdy Hasiman  Peneliti Indonesia Today

Tidak ada komentar:

Posting Komentar