21/09/13

Menghargai Petani Kedelai

Soekam Parwadi 

Inilah ironi petani kedelai. Setelah bertahun-tahun menanam dengan pola padi-padi-kedelai, dua tahun terakhir kedelai ditinggalkan para petani di Desa Genengadal, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hasil panen dan harga kedelai yang tidak memadai menjadi alasan utama.

Kebiasaan menanam kedelai sebenarnya menguntungkan karena air irigasi saat kemarau tidak cukup untuk bertanam padi, sekaligus menyuburkan tanah.

Namun, musim lalu, dari setengah hektar pertanaman kedelai hanya diperoleh tak lebih dari 6 kuintal wose kering. Dengan harga Rp 4.000/kg, pemasukan kotor hanya Rp 2,4 juta. Kalah jauh jika dibandingkan dengan jagung, melon, atau semangka yang mulai mereka tanam.

Keputusan petani Grobogan juga terjadi di kawasan Demak, Pati, Kebumen, Brebes, Tegal hingga Bali. Alasannya hampir sama, produktivitas rendah dan harganya murah. Mereka tak sanggup bersaing dengan kedelai impor yang dianak-emaskan pemerintah.

Inilah penyebab utama rendahnya produksi nasional saat ini yang hanya sekitar 800.000 ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai produsen tempe-tahu sebesar 2,5 juta ton lebih, pemerintah mengimpor kedelai.

Tidak ada perubahan

Ketika tahun lalu Amerika Serikat sebagai negara eksportir utama kedelai mengalami kekeringan sehingga produksi turun dan ekspor ke Indonesia berkurang, harga kedelai di pasar Indonesia melonjak. Pemerintah membuka keran impor, mempermudah izin, dan mempermurah biaya impor. Tahun ini, saat harga kedelai melonjak lagi karena nilai rupiah turun, solusi pemerintah masih juga impor.

Padahal, saat inilah momentum untuk mengubah sikap terhadap produksi dan konsumsi kedelai. Sesuai dengan UU No 41/Tahun 2009 yang di dalamnya mengatur kedaulatan pangan, pemerintah harus membuat desain baru perkedelaian.

Pertama, secara agronomi, jutaan hektar lahan sawah Indonesia sangat cocok ditanami kedelai. Dengan demikian, tak sulit mengembangkan intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai di sawah Indonesia. Perbaikan lahan sawah dengan pemberian pupuk organik sulit karena pupuknya langka untuk skala besar dan butuh tenaga banyak. Maka yang paling baik adalah penyuburan alami dengan menanam Leguminoseae, termasuk kedelai.

Kedua, kedelai adalah kebutuhan pangan pokok ”kedua” setelah beras karena masyarakat suka mengonsumsi tempe-tahu. Jika harus terus menerus impor, itu pemborosan devisa.

Ketiga, produktivitas kedelai kita rata-rata hanya sekitar 1,4 ton/ha dan harga kedelai di tingkat petani saat ini murah sehingga petani tidak mau lagi menanam kedelai.

Maka jika pemerintah mengharapkan petani menanam kedelai lagi, harus ada perubahan mendasar agar petani tertarik menanam kedelai. Untuk itu, perlu ditemukan varietas kedelai baru atau metode budidaya baru yang bisa meningkatkan produktivitas menjadi lebih dari 3,5 ton/ha dan berbiji besar. Inilah pekerjaan rumah bagi para peneliti kedelai.

Di Jember kabarnya sedang diuji coba jenis kedelai baru yang produktivitasnya 4 ton/ha. Hal ini tentu menggembirakan karena dapat menggiatkan petani lagi untuk menanam kedelai.

Dulu, tahun 1976/1977, saat ditemukan kedelai varietas Orba, presiden langsung mengalokasikan dana Rp100 juta untuk pengadaan benih Orba dan dibagikan secara gratis kepada petani disentra-sentra kedelai di seluruh Indonesia. Dalam waktu singkat kedelai Orba menyebar di mana-mana dan berhasil menarik perhatian petani karena mampu menaikkan produksi.

Mungkin pola yang baik itu bisa dilakukan sekarang terhadap varietas kedelai-kedelai yang menjanjikan. Kalau membuat varietas kedelai baru masih susah, mulai tahun depan pemerintah bisa mengimpor benih kedelai biji besar. Bukan mengimpor kedelai konsumsi.

Jaminan harga

Pemerintah juga harus menjamin harga kedelai minimal Rp 6.000/kg kepada petani produsen kedelai. Desain harga kedelai minimal Rp 6.000/kg ini akan berdampak banyak: menarik minat petani menanam kedelai, menyuburkan tanah, dan menyejahterakan petani. Tanah sawah yang kembali subur dapat diwariskan kepada anak cucu. Kalau harga tempe-tahu harus naik, itulah konsekuensi mewujudkan kedaulatan pangan yang memang harus kita pikul bersama.

Harga eceran kedelai sekarang (sehingga sebagian perajin tempe-tahu mogok tidak berproduksi) sekitar Rp 8.000/kg. Biasanya, kalau impor lancar, harga kedelai di eceran sekitar Rp 5.000/kg. Berarti harga kedelai lokal dari petani hanya Rp 4.000/kg.

Dengan harga Rp 4.000/kg, sementara produksi hanya 1,4 ton/ha, output hanya Rp 5,6 juta/ha. Padahal biaya produksi (input) Rp 4,5 juta. Ini pun hitungan efisien karena menerapkan teknologi minimum tillage tanpa olah tanah. Keuntungan Rp 1,1 juta/ha/100 hari tentu saja tidak rasional.

Kalau ada varietas atau teknologi baru dengan produktivitas 3,5 ton/ha, lalu harga minimal Rp 6.000/kg saja di petani, output menjadi Rp 21 juta/ha. Kalaupun input bertambah menjadi Rp 6,5 juta, masih ada keuntungan Rp 14,5 juta/ha.

Selanjutnya agar petani menikmati harga kedelai yang ”sebenarnya”, sebaiknya petani dapat menjual kedelai melalui pasar komoditas nasional di sejumlah kota. Petani difasilitasi dan dijamin memperoleh harga terbaik. Sebaliknya, agar bisa menggalang kekuatan, petani juga perlu aktif bergabung di organisasi petani, baik Gapoktan maupun koperasi pertanian.

Melihat pentingnya peran kedelai dalam membangun kedaulatan pangan kita, sebaiknya juga ada semacam rencana induk kedelai yang disusun bersama para pemangku kepetingan: produsen (petani, penangkar benih), konsumen (perajin tempe-tahu, industri), dan pemerintah (peneliti, teknisi, pengambil kebijakan).

Kalau situasi dibiarkan, bahkan harga kedelai selalu ditekan agar tidak naik, petani ”diam-diam” akan meninggalkan kedelai. Ketika pengusaha tempe-tahu ribut-ribut demo, petani hanya diam. Diam merenungi nasibnya dan diam tak tertarik menanam kedelai.

Soekam Parwadi Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar