Hermawan Sulistyo
Senang karena ramalan mereka benar dan sedih karena yang mereka sarankan untuk bangsa Amerika tidak atau belum sempat direalisasikan untuk menyelamatkan kasus-kasus seperti Detroit. AS memang sedang galau. Defisit anggaran, stagnasi ekonomi, pengangguran, dan sejumlah persoalan pelik lainnya, termasuk perang melawan terorisme yang tak ada ujungnya.
Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik bagi Indonesia? Friedman dan Mandelbaum mengajukan lima pilar bagi kesejahteraan AS masa depan: pendidikan, infrastruktur, keterbukaan imigrasi, riset, dan peraturan dalam bidang ekonomi. Kelimanya harus jadi prioritas kalau AS tak mau nasibnya terpuruk ditelan China, India, dan lain-lain.
Pilar pendidikan sudah jadi prioritas dengan alokasi anggaran minimal 20 persen. Jika masih amburadul, masalahnya pada manajemen dan muatan, bukan lagi kemauan politik bangsa ataupun pemerintah.
Pilar keterbukaan imigrasi tidak relevan untuk Indonesia. Pilar kebijakan ekonomi sejak Orde Baru hingga sekarang sudah dilakukan sekalipun masih ”bukan- bukan”: etatisme bukan, liberalisme juga bukan. Apa pun, di sektor ini juga sudah ada kemauan politik bangsa dan pemerintah.
Kini fokus Indonesia tinggal dua pilar: infrastruktur dan riset. Sekitar 10 tahun lalu, Friedman berkunjung ke Indonesia, setelah bukunya, The Lexus and the Olive Tree, laris manis. Andai kata ia datang lagi sewaktu menulis That Used to be Us, barangkali contoh buruk bandara bukan LAX (Los Angeles), melainkan Soekarno- Hatta yang macet luar biasa, kumuh, tak aman, dan sumpek.
Contoh lain, jalur Anyer-Panarukan. Jalur ini dibangun Gubernur Jenderal Daendels empat abad yang lalu. Selama itu pula kondisinya tak berubah. Kecuali diaspal, lebar jalan tak bertambah, dan kondisi di beberapa ruas masih sama buruknya seperti saat dilewati kuda-kuda ratusan tahun lalu. Pemimpin kita memang menghargai sejarah, tak mau mengubah jalan itu.
Nah, tentang riset—research and development—kebijakan nasional kita dalam bidang ini mencengangkan! Jika ditotal, anggaran riset di seluruh lembaga pemerintah tak akan lebih dari Rp 10 triliun. Sangat jauh dari 1 persen APBN. Itu pun mayoritas untuk rutin: gaji dan lainnya. Bahkan, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan BLSM untuk orang miskin.
Bandingkan dengan AS. Ketika kebanggaan bangsa AS tersentuh karena Uni Soviet sudah lebih dulu mengirim satelit Sputnik ke luar angkasa pada 1957, anggaran riset AS melonjak dari 0,5 persen GDP menjadi 2,2 persen GDP. Hasilnya? AS bukan hanya mengejar Uni Soviet dengan mengirim Aldrin dan Armstrong untuk menginjak bulan, melainkan juga embrio revolusi di bidang teknologi informasi (ponsel, internet, dan lain-lain).
Namun, sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, anggaran riset AS turun hingga di bawah 1 persen GDP dan bertahan hingga pemerintahan Obama sekarang. Friedman mengutip data, pada 2009 orang Amerika belanjapotato chips 7,1 miliar dollar dibanding dengan riset bidang energi yang hanya 5,1 miliar dollar AS.
Jangan mimpi
Manakala anggaran riset AS tetap di bawah 1 persen GDP, Jepang dan China melipatganda- kannya. Akibatnya? General Motors kalah melawan Toyota dan lain-lain hingga Detroit pun bangkrut. Kini China mulai mengambil alih abad ke-21. Daftar contoh hampir tak berbatas.
Jadi, jangan mimpi kita bisa mengejar Jepang, China, Singapura, bahkan Malaysia sekalipun, selama riset tetap menjadi sektor marjinal. Program remunerasi peneliti memang sudah direalisasikan, setidaknya sebagian, seperti janji Presiden SBY dua tahun lalu di Bandung. Namun, program itu dan yang lainnya justru kontraproduktif karena basisnya adalah rasionalitas PNS. Misalnya, kinerja (berimplikasi imbalan) berbasis kehadiran. Ini mirip buruh pabrik kaleng.
Ada beberapa langkah strategis yang efektif sambil menunggu kemauan politik bangsa ini untuk riset sebagaimana dalam pendidikan. Pertama, segera bebaskan ”penghasilan” institusi untuk setor sebagai PNPB. Kebijakan PNPB menggusur minat funding agencies, swasta, dan lain-lain, karena tidak pas ke dalam sistem mereka. Mengapa agencies harus setor ke Pemerintah RI?
Kedua, lebih fokus pada proses dan produk riset ketimbang birokratisasi parameter capaian, seperti presensi atau aturan teknis lainnya. Seorang peneliti ”nakal” yang lebih produktif harus diapresiasi pemerintah, melalui pemimpin setempat, ketimbang peneliti bodoh yang rajin ke kantor, tapi tak menghasilkan apa-apa.
Ketiga, penghargaan bagi para pencapai. Penyanyi dangdut yang bagus saja diberi penghargaan, tapi peneliti seperti Akmal Taher (penemu Viagra) tak diberi apresiasi. Masih untung dia menjadi dirut RSCM (sekarang dirjen). Apresiasi ini dapat berupa pendidikan lanjutan, pascasarjana, bahkan program pascadoktor bagi peneliti senior.
Keempat, menambah dana paket-paket penelitian seperti pada Program Riset Unggulan. Demi menambah kapasitas, pemerintah perlu memfasilitasi swasta yang menyediakan dana seperti itu, misalnya melalui program CSR atau tax holiday.
Dalam jangka menengah, harus dilakukan sosialisasi di kalangan pengambil kebijakan mengenai pentingnya riset bagi sebuah bangsa yang ingin maju. Untuk itu, perlu bantuan lobi-lobi karena peneliti bekerja di ruang sunyi dan tak mampu menyediakan gratifikasi. Hasilnya memang baru bisa dinikmati satu generasi kemudian.
Hermawan Sulistyo Profesor Riset di LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar