16/08/13

Hidup yang Kita Ringkus

Radhar Panca Dahana

Anak muda dua puluh tahunan itu sedang protes, menentang orang-orang tua yang dihargai dan dipanuti, karena mereka semua tetua adat suku Daya, Kalimantan Barat. Dalam skenario film dokumenter tersebut, sang anak muda menentang tetuanya yang coba mempertahankan tanah ulayat dari serbuan kapitalis.

Kita membutuhkan mereka, karena kami butuh jalan bagus, butuh rumah, sekolah, dan penghasilan untuk bertahan hidup,” begitu retorika sang anak muda. Para tetua hanya diam, mulut menggaris keras dan rapat, sekeras adat yang ribuan tahun mereka pelihara dan memelihara mereka.

Cerita semacam itu bisa dibilang klasik dalam sejarah suku-suku bangsa di negeri ini. Terus berlangsung sejak masa kolonial, kemerdekaan, hingga hari ini. Dalam konflik─ yang dapat dikatakan—internal itu—ada pihak eksternal yang ikut ”bermain”: negara, cqpemerintah. Inilah pihak yang seharusnya memiliki obligasi tertinggi untuk memahami, menyediakan sekian regulasi yang melindungi, tetapi malah ikut bersengketa.

Bila kemudian timbul keresahan dan kedukaan, tidakkah hasil yang menyedihkan itu indikasi bagi tidak terselenggaranya kerja dan tugas pemerintah? Begitu kacau dan karut- marutkah kerja pemerintah hingga banyak masalah menyeruak?

Bukankah indikasi serupa kita dapatkan ketika orang mudik Lebaran dengan sekian kesulitan di perjalanan? Lihatlah jalan-jalan utama di pantai utara Jawa dan selatan yang ”wajib” rusak dan diperbaiki setiap tahunnya. Begitu pun lalu lintas yang kian kacau di hampir semua kota besar, kriminalitas yang meningkat, pasar-pasar yang tak kunjung tertata baik, korupsi, dan harga pangan yang melambung.

Apa yang dapat dibaca, kecuali indikasi yang sama, ketika seorang Presiden marah kepada para pembantunya karena harga cabai dan daging meroket? Ketika seorang Presiden mengetahui terjadinya bencana bukan dari pejabat teknis bawahannya, tetapi justru dari media? Berjalankah sistem di negeri ini?

Data dan fakta

Negeri kita kini, dengan pendapatan 3.000 dollar AS per kapita, jauh lebih tinggi dari 600-1.000 dollar AS pada era Orde Baru. Maka dengan logika sederhana, ada peningkatan minimal tiga kali lipatnya. Namun, kenyataannya justru kesenjangan ekonomi meninggi, yang ditunjukkan oleh koefisien Gini. Uang yang dihasilkan segenap keringat rakyat itu ternyata dinikmati hanya oleh 2 persen elite orang kaya. Selebihnya sama, bahkan lebih miskin daripada sebelumnya.

Lalu untuk apa setiap tahun rakyat menyerahkan uangnya hingga Rp 1.800 triliun sebagai modal eksekutif menyelenggarakan negara, kalau kenyataannya gagal memenuhi ekspektasi pemilik saham sebenarnya (rakyat)? Jika negeri ini sebuah perusahaan, eksekutif itu pasti dipecat. Inilah kenyataan miris APBN kita.
Modal sebesar itu harus dipotong setengahnya untuk overhead yang meningkat drastis dengan tumbuhnya institusi-institusi baru negara dan wilayah-wilayah administratif baru. Dari sisanya, separuh yang menjadi program di semua lembaga negara ternyata harus dipotong lagi 35-50 persen, untuk sedikit pajak dan kongkalikong manipulasi-korupsi di internal birokrasi bersama rekanan usahanya dalam proses tender.

Ini rahasia yang sesungguhnya bukan rahasia, karena semua pihak terlibat, termasuk para pejabat publik yang tutup mata seraya mengembangkan telapak tangan untuk menerima jatahnya. Dari sisa anggaran program yang hanya 50-60 persen, masih harus dipotong lagi untuk keuntungan pengusaha pemenang tender dan penyusutan nilai barang yang dikorupsi.

Maka dana yang bisa digunakan untuk mengerjakan program dan menjalankan pembangunan tinggal 30-40 persen. Artinya, hanya sekitar Rp 700 triliun dari Rp 1.800 triliun keringat rakyat yang kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Itu pun harus diuji lagi kualitas fasilitas yang dihasilkan.

Akhirnya, dengan modal kerja terbatas, kualitas pemenang tender rendah, dan laporan hasil kerja yang berfokus hanya pada keuangan dan bukti fisik-administratif, setiap dana APBN yang dikucurkan merosot nilainya tinggal 20 persen saja sampai ke publik. Ini sangat mengenaskan, karut-marut, dan menyedihkan.

Bila karut-marut manajemen pemerintahan yang akut itu diperbaiki, sesungguhnya kita bisa melipatduakan angka pertumbuhan di atas, lebih dari bangsa mana pun. Tentu saja, kerja-kerja immaterial yang lunak harus lebih banyak ditunaikan. Mulai dari dilaksanakannya tertib regulasi/konstitusi, disiplin dan etika kerja, hingga perangkat-perangkat lunak yang menjadi dasar sistemik dari kerja pemerintah.

Diterima saja

Saat ini, semua mengamini situasi ini sebagai satu hal yang given: sebuah sistem dasar (cara kita hidup, bernegara, berekonomi, berhukum, dan berpolitik) yang justru meringkus hidup kita dalam pragmatisme hiper, di mana perjuangan dan ekspresi manusia hanya didedikasikan pada melulu pencapaian material yang berdimensi praktis.

Tak ada pengendapan, kontemplasi, apalagi transendensi yang menempatkan kerja (kebudayaan) kita dalam jangkauan ruang dan waktu yang lebih lapang. Hilanglah visi. Miskinlah kita akan pemimpin juga calon-calonnya yang visioner.

Kasus anak muda suku Daya yang berhadapan dengan para tetuanya, adalah gambaran dua pihak yang hidup dalam batas ruang dan waktu berbeda. Yang satu praktis dan pragmatis (hidup untuk hari ini), dan yang satu lagi visioner dan futuristik (hidup untuk menghidupi generasi nanti).

Bayangkanlah bila sebuah negara atau bangsa dikelola dengan pemahaman ontologis-kosmis sebagaimana anak muda di atas. Enam puluh delapan tahun umur republik kita, ternyata kita masih saja memfoya-foyakan waktu, energi, dan sumber daya, tanpa ingat anak dan cucu kita

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar