07/08/13

Mengendalikan Harga Sembako

Arif Budimanta 

Beberapa ibu datang kepada saya. Mereka mengeluhkan semua biaya hidup yang meroket luar biasa. ”Harga sembako terus bergerak naik, belum lagi biaya transpor, sekolah anak, kontrak rumah. Kalau sampai ada yang sakit, biayanya mahal. Mana ini mau Lebaran lagi. Kami hanya bisa berdoa, tidak tahu lagi harus berbuat apa.”

Itulah fenomena yang dihadapi hampir semua rumah tangga di Indonesia saat ini. Anehnya pemerintah sepertinya tidak berdaya meredam ”kekuatan” pasar. Suatu hal yang sungguh memprihatinkan karena kepentingan sekelompok pelaku pasar telah mengalahkan kepentingan rakyat (negara) dalam urusan pangan.

Data Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga di Indonesia untuk membeli bahan makanan adalah 49 persen dari total pengeluaran, bahkan pada rumah tangga di wilayah pedesaan mencapai 58 persen.

Artinya setiap terjadi kenaikan terhadap bahan makanan akan memengaruhi secara langsung daya beli/pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan kehidupan lainnya seperti kemampuan untuk menyekolahkan anak, membiayai perumahan, atau pendidikan anak-anaknya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.

Sedangkan di negara-negara maju pengeluaran rumah tangga untuk komponen bahan makanan rata-rata kurang dari 30 persen. Hal ini disebabkan bukan hanya pendapatan yang tinggi, melainkan kemampuan negara mengendalikan harga bahan makanan melalui kebijakan yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.

Menjaga inflasi

Dalam setiap kesempatan pembahasan asumsi makro RUU APBN di DPR, kami selalu mengingatkan pemerintah agar selain memprediksi asumsi besaran inflasi umum juga menetapkan target inflasi sembako yang harus lebih kecil dari inflasi umum. Sumbangan terbesar dari inflasi tahunan dari waktu ke waktu selalu datang dari inflasi kelompok bahan makanan yang mencakup 40 persen dari perhitungan inflasi secara keseluruhan.

Setidaknya pemerintah menetapkan asumsi kenaikan harga bahan makanan jenis tertentu yang menjadi kebutuhan pokok rakyat seperti beras, gula, minyak goreng, telur/daging ayam, dan lainnya di bawah inflasi umum setiap tahunnya. Akan tetapi, kelihatannya usulan tersebut sampai saat ini belum bisa dipenuhi dengan berbagai macam pertimbangan.

Pengendalian harga sembako akan mustahil tanpa keberanian pemerintah melawan spekulan pasar. Kita perlu extraordinary actiondan secara struktural menutup ruang gerak para spekulan, memperbaiki tata kelola jalur distribusi, dan sistem logistik nasional.

Penetapan harga maksimum dan minimum dan operasi pasar juga harus kembali dilakukan secara efektif dan tidak setengah hati. Malaysia berhasil dalam mengendalikan harga sembako karena memiliki Undang-Undang mengenai Kontrol Harga dan Pengambilan Keuntungan berlebihan, yakni Act 723 tahun 2011, dan lembaga Majelis Harga Nasional. Undang-undang semacam ini sangat berguna memberantas permainan spekulan.

Selain itu, manajemen stok pemerintah juga harus baik dan harus lebih proaktif dalam menyerap hasil produksi petani dengan harga yang pantas. Dalam proses pengendalian harga sembako, petani tidak boleh dirugikan, malah harus dimuliakan.

Memuliakan petani

Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan proses pengendalian harga pangan dengan cara impor. Selain tidak ada jaminan harga pangan menjadi stabil dan memengaruhi neraca perdagangan, akibat jangka panjangnya adalah mematikan aktivitas para petani produsen pangan nasional. Maka, sejumlah langkah sistemik harus dilakukan.

Luasan pengusahaan lahan pertanian bukan kendala bagi kita untuk berswasembada. Bukankah pada era 1980-an ketika kita berswasembada, kepemilikan lahan pertanian para petani kita khususnya lahan sawah juga kurang dari setengah hektar.

Paul McMahon (2013) dalam bukunya, Feeding Frenzy, mengatakan, dengan luas kepemilikan lahan petani kurang dari setengah hektar, Vietnam berhasil menjalankan revolusi pertanian, menurunkan kemiskinan dari 58 persen pada tahun 1979 menjadi 15 persen pada tahun 2007, dan menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. Fenomena yang sama juga terjadi di Thailand. Artinya, mitos yang mengatakan bahwa pertanian modern membutuhkan lahan yang luas tidak sepenuhnya juga benar.

Untuk mencapai swasembada kembali, diperlukan kebijakan nasional yang terintegrasi. Salah satunya adalah memberikan asas kepastian/keterjaminan kepada petani terhadap lahan yang diusahakan, akses terhadap pengetahuan pertanian yang mutakhir, benih, pupuk, peralatan yang baik, kredit, asuransi, dan harga jual yang pantas, serta memberikan insentif terhadap jenis-jenis pajak tertentu seperti pajak bumi dan bangunan.
Pemerintah juga harus menginvestasikan pembangunan ataupun perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti pengairan, jalan, kereta api, pelayaran rakyat, pergudangan, serta pasar yang menghubungkan aktivitas ekonomi pedesaan dengan perkotaan.

Agar para petani kita dapat bekerja dengan risiko rendah dan terlindungi, perlu diimplementasikan kebijakan seperti kontrol harga, mekanisme tarif, subsidi, dan pengelolaan cadangan pangan.

Kebijakan tersebut harus kita laksanakan secara saksama dan penuh ketekunan. Ini karena masa depan kita bukan tergantung pada ”invisible hand” di pasar.

Arif Budimanta Anggota DPR, KoordinatorKaukus Ekonomi Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar