21/08/13

Makna 68 Tahun Merdeka

Ahmad Syafii Maarif

Bagi saya, kemerdekaan Tanah Air sejak 68 tahun yang lalu adalah sebuah gerbang utama untuk dilalui dalam upaya menjadi manusia penuh (full human). Di bawah sistem penjajahan, rakyat Nusantara diperlakukan sebagai separuh manusia, jika bukan malah sepertiga.

Bagi Indonesia secara keseluruhan, kemerdekaan adalah syarat utama untuk mengembangkan potensi kebangsaannya sejauh-jauhnya, sedahsyat-dahsyatnya, sedangkan pihak asing tak punya hak menghalanginya dalam proses dinamis dan kreatif itu. Akan tetapi karena berbagai kendala mental dan kultural, potensi Indonesia yang luar biasa itu ternyata tidak berjalan mulus untuk aktualisasi diri.

Anak udik dan kemerdekaan

Kita belum menemukan pemimpin puncak yang bebas sepenuhnya dari daftar ”tetapi”. Apakah tahun Pemilu 2014 akan membuka pintu untuk menampilkan sosok pemimpin yang diharapkan itu? Tentu saja akan sangat bergantung pada calon- calon yang akan muncul ke panggung dan tingkat kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihan. Demokrasi dalam teori adalah sistem politik untuk menghargai seorang warga sebagai manusia penuh.

Sebagai seorang anak udik di kawasan Bukit Barisan yang lahir 78 tahun silam, tanpa kemerdekaan pendidikan tertinggi saya barangkali hanyalah sampai pada tingkat sekolah rakyat (SR) di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Pada waktu itu satu-satunya SR yang tersedia untuk empat nagari: Unggan, Silantai, Sumpur Kudus, dan Mangganti.

Kemudian, dalam perjalanan waktu, tentu akan beranak pinak di nagari sempit dan miskin itu sebagai manusia terjajah yang tunacita-cita. Sekalipun pihak penjajah secara fisik belum tentu sampai ke sana karena harus melalui jalan setapak dengan berjalan kaki, atau paling-paling naik kuda. Penjajah mana pula yang mau berjibaku berkunjung ke kawasan tersuruk itu?

Berkat kemerdekaan, di Sumpur Kudus sekarang telah berdiri beberapa SD negeri, satu madrasah tsanawiyah (MTs) negeri, satu SMA negeri, dan dua puskesmas, sesuatu yang tak terbayangkan di era penjajahan. Jalan setapak sudah masuk ke masa silam, kuda beban dan kuda tunggang sudah lama menghilang, digantikan transportasi serba mesin dengan segala plus-minusnya. Anak muda biasa ugal- ugalan dengan kendaraan roda duanya, beberapa orang sudah tewas.

Dulu, jika mau ke pasar Kumanis yang jaraknya hanya 30 kilometer akan menghabiskan waktu tiga hari, pergi-pulang, sekarang hanya dalam hitungan jam. Dalam perjalanan ke pasar itu, sekali-sekali orang bertemu dengan harimau yang melintas. Sangat menakutkan. Sekarang, entah kenapa, raja hutan itu jarang muncul. Akibatnya, babi hutan sering merajalela sebab keberadaan predatornya sudah sangat langka. Sumpur Kudus sekarang sudah menjadi bagian dari modernisasi Indonesia dengan segala dampaknya.
Rahmat kemerdekaan itu semakin lengkap ketika, pada 2005, listrik telah menyala di nagari itu dan di nagari-nagari sekitarnya, berkat uluran tangan Herman Darnel Ibrahim, Direktur Produksi dan Transmisi PLN saat itu.

Bagi yang sigap menangkap peluang, keberadaan listrik bisa digunakan untuk keperluan berbagai usaha ekonomi yang menguntungkan. Akan tetapi karena sebagian besar penduduk tidak terlatih, hanya segelintir yang telah memanfaatkan aliran listrik itu di luar untuk penerangan.

Bukan main gembiranya masyarakat karena kampungnya telah terang benderang di waktu malam, seolah-olah Sumpur Kudus bagai kota kecil di tengah hutan. Sejak Desember 2010, nagari itu telah dipecah jadi dua: Sumpur Kudus dan Sumpur Kudus Selatan. Dua wali nagari, tetapi tetap satu dalam lembaga adat.
Sekali lagi, berkat kemerdekaan bangsa, segalanya menjadi berubah. Akan lebih hebat lagi sekiranya bangsa dan negara ini diurus para pemimpin yang tepat, jujur, dan tidak gila kuasa, jumlah desa tertinggal akan jauh mengecil.

Sumpur Kudus dan Indonesia

Dari sekitar 74.000 desa di Indonesia, 32.000 desa dalam kategori tertinggal, tersebar di 183 kabupaten dengan penduduk 57,5 juta. Dalam kaitannya dengan aliran listrik, ada sejumlah 10.211 desa yang belum kebagian, dan Sumpur Kudus sebelum tahun 2005 adalah salah satu di antaranya.

Karena tingginya angka desa tertinggal itu, sekitar 19 persen dari 250 juta penduduk Indonesia masih harus bergumul dengan segala macam masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kategori itu.
Di tengok dari kacamata ini, ternyata setelah 68 tahun Indonesia merdeka rakyat kita yang belum merasakan benar apa makna kemerdekaan itu masih berjibun bilangannya. Semestinya, ke depan, program untuk membebaskan Indonesia dari kategori desa tertinggal itu dijadikan prioritas utama.

Hanya para pemimpin yang negarawan sajalah yang bersedia melangkah ke arah pemberdayaan masyarakat secara tuntas. Elite bangsa yang hanya terpukau oleh ”politik sebagai lahan ekonomi” tidak dapat diharapkan untuk diajak berpikir sejauh itu.

Jangkauan perhatian para elite bangsa semacam itu sangat terbatas. Sumpur Kudus sebagai bagian dari desa tertinggal di Indonesia, dengan listrik dan aspal sudah sedikit melampaui ribuan desa lain yang tetap saja hidup dalam serba penantian: ”Kapan rahmat kemerdekaan itu mengalir ke kawasan desa mereka”.

Akhirnya, dengan berkibarnya Sang Sangka Merah Putih di seluruh Nusantara dan di kantor-kantor perwakilan kita di luar negeri dalam rangka peringatan 68 tahun kemerdekaan Indonesia, kita syukuri semua anugerah Tuhan ini dengan perasaan yang sangat dalam. Akan tetapi, di sisi lain, bidikkan pulalah perhatian kepada nasib ribuan desa tertinggal yang sedang menunggu uluran tangan negara dan kita semua. Merdeka!

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar