Oleh Bernard L Tanya
Sulit dipercaya! Hingga kini ruang penegakan hukum kita ternyata masih dihuni para mafioso hukum.
Rekaman sadapan KPK berdurasi 4,5 jam yang diperdengarkan pada Sidang MK, Selasa (3/11) siang, mempertontonkan sindikasi busuk. Hampir semua komponen penegak hukum terlibat sindikasi ini, hanya demi menyelamatkan seorang pelaku korupsi. Yang lebih menggelikan, lembaga KPK disasar sebagai target penghancuran.
Sindikat mafia
Akal sehat siapa pun sulit mengingkari, isi rekaman itu benar-benar menunjukkan sindikat mafia. Pertama, ada upaya bersama yang disusun rapi untuk melindungi kejahatan dan pelakunya (korupsi yang dilakukan Anggoro Widjojo).
Kedua, target yang disasar untuk diserang dan dideligitimasi adalah lembaga penegak hukum dan aparatnya (KPK dan Bibit-Chandra) yang amat ngotot mengusut kasus itu.
Ketiga, ada kisah suap-menyuap yang coba dipakai sebagai alat penjinak aparat KPK.
Keempat, aktor yang terlibat adalah kombinasi berbagai kekuatan besar (pengusaha, polisi, jaksa, pengacara, oknum Lembaga Perlindungan Saksi) yang mampu membuat hitam-putih sebuah kasus.
Kelima, selain sejumlah pejabat teras kepolisian dan kejaksaan, presiden juga disebut- sebut, serta keterlibatan media.
Keenam, ada pembagian tugas yang relatif jelas, siapa kerja apa, berikut dana operasionalnya segala untuk mendukung skenario yang dipesan bos besar (Anggoro melalui Anggodo).
Ketujuh, ada intrik the end justifies the means ala Machiavelianisme dengan cara merekayasa kasus untuk menghabisi musuh, bahkan ada rencana penghilangan nyawa yang ditujukan kepada Chandra Hamzah.
Nasib Socrates
Kisah mafioso ini mengingatkan kita pada pesan Socrates, filsuf eudaimonia dan guru kebajikan. Kata Socrates, celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum. Tahu sebabnya? Hukum, kata Socrates, adalah landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan. Karena itu, tiap pengabaian hukum, sekecil apa pun (entah dengan melanggar, memandulkan, atau memanipulasi) merupakan tindakan keji yang amat berbahaya bagi eksistensi bangsa. Begitu hukum tercabik-cabik, kehancuran di depan mata, karena yang akan terjadi adalah kesewenangan, penindasan, ketidakadilan, dan merajalelanya kebiadaban.
Socrates tidak berkhotbah. Ia bertindak dan memberi contoh, bahkan mempertaruhkan nyawanya demi kewibawaan hukum. Kita tahu, Socrates mengalami kasus yang mirip Bibit-Chandra. Konspirasi yang dibuat kaum Sofis dan pimpinan religi Olympus mengantar Socrates sebagai pesakitan di pengadilan Athena.
Pokok soalnya adalah, pertama, kritik pedas Socrates yang tiada henti terhadap kiprah kelompok filsuf Sofis yang cenderung memanfaatkan kehormatan dan keahlian mereka sebagai ahli retorika untuk memengaruhi kaum muda Athena pada cara hidup yang tidak terhormat. Kepandaian retorika bukan dipakai sebagai jalan menemukan kebenaran, tetapi sebagai alat kelicikan: membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar.
Kedua, penolakan Socrates atas kebenaran ”wangsit ilahi” yang disampaikan pimpinan religi Olympus. Konon pimpinan religi Olympus bertanya kepada para dewa tentang siapa orang paling bijak di Athena dan jawabannya adalah Socrates. Socrates menolak ”wangsit” itu, tidak mau ditokohkan sebagai orang paling bijak.
Atas sikapnya itu, Socrates dituduh kelompok Sofis dan pimpinan Olympus sebagai ”penjahat” yang berujung ke pengadilan. Meski kerabat, teman, dan murid-muridnya membujuk dan menawarkan jasa untuk menghindari ”pengadilan sesat”, Socrates menolaknya.
Kata Socrates: pantang baginya untuk melecehkan hukum di negerinya; karena tahu hukum, maka ”wajib baginya menjalankan dan menghormatinya”; hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat lebih utama dari materi.
Dampak
Pesan Socrates ini sebaiknya direnungkan oleh semua komponen bangsa, dari pemimpin hingga rakyat jelata. Kita sudah merasakan ragam ”penderitaan” akibat bermain-main dengan hukum; sulit mendapat kepercayaan dunia internasional, investor enggan menanamkan modal, kemiskinan meluas akibat korupsi, dilecehkan sebagai bangsa liar, dan banyak dampak buruk yang berbiak dari ketakacuhan terhadap hukum.
Saatnya pimpinan dan aparat penegak hukum menjadi contoh. Peristiwa memalukan (seperti dalam rekaman yang disadap KPK) harus menjadi kasus terakhir. Karena itu, perlu langkah segera dari pemerintah/presiden untuk membersihkan kepolisian dan kejaksaan. Tidak perlu reposisi lembaga. Yang perlu dibenahi adalah aparat dan sistem pengawasannya. Tidak ada manfaatnya reposisi lembaga jika aparat dan sistem pengawasannya tidak berubah. Biarkan institusi kepolisian dan kejaksaan tetap independen karena penegakan hukum harus tetap terjaga imparsialitasnya. Tidak ada salahnya jika sistem pengawasan yang dijalankan KPK diterapkan di kepolisian dan kejaksaan.
Bernard L Tanya Dosen Fakultas Hukum Undana, Kupang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar