Radhar Panca Dahana
Manusia adalah mesin penghancur diri sendiri yang terbaik. Inilah pelajaran dari sejarah manusia yang manusia sendiri tampak keberatan menerimanya.
Namun, kenyataan lebih banyak membuktikan itu. Berbagai peradaban dunia pupus dan lenyap karena ulah manusia. Bahkan, berbagai bencana alam pelenyap peradaban itu dicari sebab atau mendapat rasionalisasi dari kedegilan makhluk berakal yang membangun peradaban sendiri.
Tampaknya, itulah yang belakangan kita hadapi. Terkuaknya rekaman pembicaraan yang membongkar drama rekayasa hukum untuk memangkas KPK dan menahan dua komisariatnya seperti puncak gunung kekeliruan peradaban manusia Indonesia. Sedikitnya ada tiga alasan.
Pertama, bila rekaman itu sah dan benar, ia tak hanya membuktikan bagaimana selama ini sistem dan dunia hukum di Indonesia berlangsung lewat transaksi politik dan ekonomi. Kenyataan yang tak hanya menghina dan mengkhianati tujuan dan filosofi dasar dibangunnya sistem hukum, tetapi juga publik sebagai subyek dan obyek hukum itu sendiri.
Kedua, kekeliruan mendasar itu selain menjadi refleksi bagi praksis kehidupan di segmen vital lain—ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan lainnya—menunjukkan bagaimana realitas hidup ini dibangun melalui rekayasa semiotik yang menyembunyikan fakta sebenarnya di balik aneka lapisan makna berita-berita yang kita konsumsi tiap hari pada berita utama aneka media massa.
Tragisnya, aneka lapisan tanda (semeio) yang tersembunyi itu tidak membawa kita pada makna yang lebih substansial dan kontemplatif, tetapi tidak lebih dari bongkaran kekerasan dan kejahatan manusia yang kian mengerikan. Pengungkapan ”kebenaran” melalui rekaman itu memberi lentera bagi pemahaman semiotik publik, tentang permainan keangkaraan apalagi yang masih tersembunyi dalam proses kenegaraan lainnya.
Kesadaran ini seharusnya membuka kita pada kekeliruan di tahap ketiga, di mana manusia Indonesia ternyata adalah pihak yang paling bertanggung jawab pada realitas semiotik yang gelap itu. Bila di permukaan (penanda pertama) manusia tampak cukup ideal dengan produk kulturalnya (seperti regulasi, UU, sistem, dan sebagainya), di lapisan makna berikutnya kita mendapati manusia yang sama, yang ternyata menjadi pengkhianat dan perusak utama produk kultural itu.
Tradisi dua milenia
Akan mencemaskan, bahkan mengerikan, bila pola yang sama ternyata tak berhenti di kalangan elite atau pengambil kebijakan (yang dipercaya dan mendapat fasilitas rakyat), tetapi juga berlangsung di berbagai lembaga lain, secara horizontal maupun vertikal. Di tempat yang bisa jadi kita menemukan diri ada di situ sebagai pelaku. Inikah karakter dasar kita, sebagai manusia dan bangsa Indonesia?
Kemungkinan jawaban untuk pertanyaan itu tidak dapat berbentuk pilihan ganda karena semua pilihan dapat benar. Jawaban lebih komprehensif berbentuk esaik, yang melukiskan aneka potensi dasar dari kultur masyarakat/manusia kepulauan yang amat fleksibel dan plastis. Ia bisa positif jika tuntutan dan kondisinya kondusif. Bisa pula bias dan deviatif bila ada keadaan negatif mendesak atau memaksa. Inilah kreativitas, yang selalu memiliki dua wajah (ambigu).
Maka, hal lebih krusial ketimbang tiga alasan kekeliruan adab itu adalah sebuah penegasan perlunya sebuah fondasi (sebuah sistem) nilai yang adekuat untuk mengereksi bangunan kehidupan (modern) yang megah. Dalam arti praktis, material, dan institusional. Dan penegasan ini secara wajar menggiring kita pada kebutuhan akan landasan kebudayaan yang harus dikonstruksi lebih dulu—dengan arsitektur yang kuat—sebagai fondasi gedung megah di atasnya. Bila tidak ingin, aneka bangunan hebat itu (misal sistem ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya) rapuh dan rentan pada setiap guncangan pada dimensi apa pun.
Manusia komunal
Saya hanya hendak menyebutkan satu saja dari khazanah tradisi luar biasa itu, yaitu kesadaran manusia kepulauan ini, yang berlaku dalam tradisi di etnik atau subetnik mana pun di seluruh Nusantara, tentang keberadaan dirinya tidak sebagai individu bebas—secara idealistis dan realistis—sebagaimana dipahami oleh perikehidupan material-pragmatis saat ini.
Namun, keberadaan itu selalu ada dalam ruang tertentu, dalam waktu tertentu, dalam konteks tertentu: konteks yang mengartikulasi kepentingan komunitas, dalam konteks komunalnya. Manusia adalah individu yang komunal. Demikianlah ekspresi dasar semua lapangan kebudayaan kita: hidup sosial, ekonomi, artistik, hukum, dan seterusnya.
Apa pun yang dilakukan harus dalam referensi kepentingan komunal sehingga tanpa perlu diminta pertanggungjawabannya, seseorang akan menempatkan publik dalam modus dan tiap aksi eksistensialnya. Di sini publik, yang selalu diingkari, kembali mendapatkan jati dirinya. Dan penyimpangan, apa pun bentuk, tujuan atau maqam-nya, akan mendapat sanksi. Bahkan, sebelum publik atau hukum menjatuhkan dakwaaannya.
Maka, di mana lagi peluang elite atau pengambil kebijakan menafikan peran kebudayaan dalam perikehidupan kita berbangsa dan bernegara? Argumentasi dalam berbagai cara dan fakta, dan puluhan kali saya suarakan, di tengah ketidakpedulian yang ajek di kalangan mereka.
RADHAR PANCA DAHANA Sastrawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar