05/11/09

Tahan! Mana Tahan?

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Keangkuhan kekuasaan di negeri ini tampaknya tak lagi dapat melawan nurani publik. Sebagian besar rakyat Indonesia tersentak, marah, dan kaget betapa parah skandal penegakan hukum di negeri ini.

Mahkamah Konstitusi harus diacungi jempol, berani utuh memperdengarkan rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo—adik Dirut PT Masaro Anggoro Widjojo, yang terlibat korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan—dan para lawan bicaranya untuk mengatur kriminalisasi Wakil Ketua (nonaktif) KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Dari rekaman itu tampak ada persekongkolan busuk antara penguasa, pengusaha nakal, dan aparat penegak hukum di Polri dan Kejaksaan Agung untuk mengatur berita acara penahanan Chandra dan Bibit, membunuh mereka saat dalam tahanan, dengan sasaran akhir, penutupan KPK. Hal yang membuat publik marah ialah mengapa perangkat hukum negeri ini begitu mudah dibeli. Kemarahan tidak hanya dari aktivis antikorupsi, cendekiawan, dan tokoh masyarakat, tetapi juga dari warga Tionghoa.

Berita di media cetak dan elektronik mungkin tidak akan menjadi perhatian publik jika istilah ”cicak lawan buaya” tak muncul menjadi wacana pertarungan antara KPK dan Polri. Berita juga tidak akan membesar jika Polri dan Kejaksaan Agung menyelesaikan kasus ini melalui proses hukum yang benar dan transparan.

Masyarakat menilai dua lembaga hukum itu telah melanggar asas kepatutan hukum karena tidak profesional, transparan, imparsial, tidak memiliki kepentingan, dan tidak memiliki perhatian asimetris untuk memenangkan salah satu pihak. Namun, pemutaran hasil sadapan KPK atas pembicaraan Anggodo Widjojo dengan beberapa elite di Kejaksaan Agung dan Polri dengan mencatut nama Presiden Yudhoyono telah menimbulkan dugaan keras adanya persekongkolan busuk.

Pelajaran berharga
Kasus ”cicak lawan buaya” ini membawa pelajaran berharga bagi penegakan hukum di negeri ini. Pertama, dari sisi penegakan hukum, kini kian transparan betapa isu adanya mafioso (mafia pengadilan) yang mempermainkan rasa keadilan masyarakat dengan mengatur proses hukum di pengadilan bukanlah isapan jempol. Ini adalah saat paling tepat untuk menghabisi praktik mafia pengadilan itu. Tanpa itu, karut-marut penegakan hukum di negeri ini akan terus berlangsung.

Kedua, dalil Lord Acton, ”kekuasaan cenderung untuk korup”, masih terjadi di negeri kita. Pada masa Orde Baru, hukum dapat dikalahkan oleh sabda penguasa. Namun, pada era reformasi/demokrasi ini tampaknya sulit bagi penguasa bermain-main dengan kekuasaannya karena adanya kebebasan masyarakat untuk mengkritik dan melawan ketidakadilan. Keangkuhan kekuasaan dalam mempermainkan hukum dapat dilawan melalui nurani publik. Ini menunjukkan kebangkitan kelompok masyarakat madani yang berani melawan kesewenang-wenangan penguasa demi menjaga demokrasi, transparansi, pemerintahan yang bagus dan bersih.

Ketiga, meski cicak (KPK) jauh lebih kecil daripada buaya (Polri), aparat penegak hukum lupa, cicak yang agung dan dapat menjadi tumpuan masyarakat dalam upaya memberantas korupsi memiliki basis kekuasaan yang lebih kuat, yakni adanya sekutu KPK di dalam masyarakat madani. Di sini timbul harapan agar Polri dapat menjadi institusi yang benar-benar melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan dapat dipercaya sebagai aparat penegak hukum. Kita juga berharap Kejaksaan Agung dapat benar-benar steril dari praktik mafia pengadilan yang selama ini masih berlangsung. ”Cicak” dan ”buaya” adalah sama-sama satu keluarga yang seharusnya bekerja sama demi penegakan hukum, khususnya memberantas korupsi di negeri ini, dan bukan institusi yang saling mematikan.

Keempat, pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum oleh Presiden SBY mudah-mudahan bukan menjadi sarana ”pemadam kebakaran” untuk memadamkan kemarahan publik dan mengembalikan citra penguasa, tetapi benar-benar menjalankan tugas secara benar sesuai asas kepatutan meski harus berlawanan dengan kepentingan politik dan hukum penguasa yang membentuknya. Hasil dari tim ini sepatutnya diimplementasikan secara benar dan patut pula. Pada masa lalu, tim pencari fakta semacam ini, seperti dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, dan kasus Semanggi, meski telah bekerja secara baik, hasilnya hanya dibuang ke keranjang sampah.

Kelima, kekuatan media massa ternyata memberi nilai lebih pada penegakan hukum di negeri ini. Pemberitaan media yang begitu memukau publik telah menjadikan media massa sebagai pilar keempat demokrasi di negeri ini, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Bola panas bagi Presiden SBY
Kasus penahanan Bibit dan Chandra telah menjadi ”bola panas” bagi Presiden Yudhoyono. Pertanyaan publik yang harus dijawab SBY ialah adakah intervensi penguasa terhadap aparat penegak hukum agar Bibit dan Chandra ditahan, dan KPK dilumpuhkan. Publik memiliki dugaan keras atas keterlibatan SBY dalam kasus ini karena namanya disebut-sebut mendukung Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga serta mengizinkan penahanan Bibit dan Chandra.

Apakah kata tahan itu berarti Polri dan Kejaksaan Agung harus menahan diri agar kasus Bibit dan Chandra tidak membesar, ataukah pihak Polri menginterpretasikannya sebagai perintah penahanan.

Pertanyaan kedua yang harus dijawab SBY ialah adakah kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa atas kasus yang menimpa dua wakil ketua (nonaktif) KPK itu? Jika hasil tim independen membuktikan adanya keterlibatan penguasa, tentu akan sulit bagi SBY menahan gelombang kritik dan tekanan publik atas adanya persekongkolan busuk penguasa, pengusaha nakal, dan aparat penegak hukum. Kita berharap asumsi ini salah dan nama SBY hanya dicatut semata. Jika tidak, citra SBY akan tercemar dan sulit diperbaiki kembali. Kita juga berharap Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK tidak dijadikan tumbal demi kepentingan penguasa semata.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestik Affairs di Pusat Penelitian Politik LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar