03/11/09

Perlu Menimbang Manfaat Investasi Langsung

Oleh IVAN A HADAR

Umumnya investasi langsung asing atau FDI dianggap positif. Sejak dua dekade terakhir, berbarengan penurunan jumlah utang berbunga rendah yang menjadi sumber utama dana pembangunan di banyak negara berkembang, terjadi peningkatan drastis FDI.

Ketika dana publik untuk biaya pembangunan tidak mencukupi, kita perlu mencari alternatif dana dari sumber lain. Terkait hal ini, oleh banyak pihak, FDI dianggap paling bermanfaat dari segi kebijakan pembangunan. Dalam kondisi ideal, sebuah perusahaan asing yang melakukan investasi di negara berkembang memuluskan transfer teknologi, membuka lapangan kerja, menstimulasi industri, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diyakini, FDI selain tidak meningkatkan utang luar negeri juga tidak mudah hengkang saat krisis.

Bahkan dalam New Horizons for Foreign Direct Investment (OECD 2002), Michael Klein dari Bank Dunia menyebut FDI adalah alat terampuh memerangi kemiskinan. Maka, aturan yang mensyaratkan investor asing agar bekerja sama dengan pemasok dalam negeri dianjurkan dihapus. Hal yang sama terkait regulasi yang mensyaratkan sebanyak mungkin menggunakan produk lokal, menghindari impor bahan baku untuk produksi. Penghapusan berbagai aturan itu konon meningkatkan pertumbuhan ekspor perusahaan mobil asing yang beroperasi secara tajam.

Pengaruh

Namun, suara yang tidak sependapat dan bertanya siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan itu juga perlu dipertimbangkan. Begitu pula dengan dampak pemutusan hubungan kerja dengan pemasok dan perusahaan lokal. Lalu, apa pengaruhnya terhadap lapangan kerja dalam negeri. Jawaban atas pertanyaan itu diperlukan sebagai bahan analisis kebijakan pembangunan.

Bob Woodword dalam buku The Next Crisis? Direct and Equity Investment in Developing Countries (2001) mengingatkan, FDI jarang membawa berkah. Arus yang masuk bersamaan FDI sering jauh lebih kecil dibandingkan dengan arus ke luar. Kondisi itu terkait transfer keuntungan ke luar negeri dan pengeluaran impor yang dibutuhkan untuk produksi. Bahkan, bagi Woodword, FDI bisa menyebabkan defisit neraca anggaran belanja sebuah negara, dengan demikian sebenarnya ikut mempertajam krisis utang luar negeri.

Liberalisasi

Dalam Undang-Undang Penanaman Modal pertama (No 1/1967), beberapa bidang usaha dilarang dimasuki modal asing. Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga nuklir, serta media dikategorikan bidang usaha bernilai strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat, yang tidak boleh dipengaruhi pihak asing (Pasal 6 Ayat 1).

Setahun kemudian, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No 6/1968) menyebut, ”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurangnya 51 persen dari modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki negara dan/atau, swasta nasional” (Pasal 3 Ayat 1). Dengan kata lain, pemodal asing hanya boleh memiliki modal sebanyak-banyaknya 49 persen dalam sebuah perusahaan.

Namun, pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95 persen saham perusahaan yang bergerak di bidang ”...pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan, pelayaran, KA; air minum; pembangkit tenaga nuklir; dan media” (PP No 20/1994 Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 5 Ayat 1).

Pada International Infrastructure Summit (17/1/2005) dan BUMN Summit (25-26/1/2005) diputuskan secara eksplisit, semua proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapat keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga jelas menyatakan, tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia atau bisnis asing yang beroperasi di Indonesia.

BUMN Summit jelas menyatakan, semua BUMN bisa dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan, semua barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapat laba.

Rembuk Nasional (National Summit), 29-31 Oktober 2009, antara lain, bermaksud ”menyapu bersih” berbagai peraturan yang dinilai menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tahun 2014 (Kompas, 29/10/2009). Demi efisiensi dan pemerintahan yang bersih, maksud itu patut didukung.

Namun, suara kritis mencemaskan, semua kebijakan dan keputusan beberapa pertemuan puncak itu menunjukkan, proses liberalisasi sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia. Dorongan untuk meningkatkan FDI di Indonesia dirasa telah menyingkirkan semangat ayat-ayat dalam UUD 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis.

IVAN A HADAR Pemerhati Sosial-Ekonomi; Co-Pemred Jurnal SosDem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar