03/11/09

Penyumbatan Birokrasi

Oleh Gatot Irianto

Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota mengadakan pertemuan puncak pada 29-30 Oktober 2009.

Targetnya, pertumbuhan 2010 di atas 6,3 persen dan akhir 2014 perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7,0 persen. Tahun 2020 terjadi swasembada semua kebutuhan pangan domestik dan ekspor secara simultan sebagai implementasi visi pemerintah memberi makan dunia.

Investasi swasta (88 persen) menjadi keniscayaan karena kemampuan investasi pemerintah pusat melalui APBN hanya 8,0 persen dan APBD 4,0 persen. Syarat dasarnya, penghapusan sumbatan birokrasi di segala lini. Penyumbatan utama terjadi pada penyediaan lahan untuk usaha. Tumpang tindih izin penggunaan lahan dalam sektor maupun antarsektor terjadi di banyak tempat akibat skala tata ruang terlalu kecil dan berbeda, benturan kewenangan dan kepentingan antara pusat dan daerah, benturan interes parpol maupun dunia usaha. Pertanyaannya, bagaimana mengakselerasi sumbatan? Diperlukan pemimpin dan pengusaha dengan keberanian luar biasa, memaksa dan mendobrak penyumbat birokrasi demi kepentingan bangsa.

Kemampuan memaksa
Benturan dan tabrakan kepentingan akan terjadi dengan adanya sumbatan. Penyumbatan birokrasi bisa terjadi karena dirancang atau kesalahan koordinasi sehingga ketidakpastian usaha dan batas keuntungan amat rendah. Berdasarkan fakta lapangan, penyempitan terjadi jika dan hanya jika presiden dan jajarannya tega dan berani membongkar sumbatan birokrasi sebagaimana sering disampaikan pengusaha maupun media.

Kata berani dan tega merupakan refleksi ekspektasi tinggi masyarakat atas keluarnya tekanan dan hukuman nyata presiden terhadap mafia, broker lahan dan perizinan lahan yang selama ini bergentayangan di birokrasi pemerintah, pengusaha, dan di jalanan.

Ploting terbuka atas lahan baru dengan dukungan infrastruktur menjadi kunci utama dan pintu masuk nyata dalam menghapus sumbatan birokrasi dan biaya tinggi. Daya juang pengusaha nasional dan daerah juga harus tinggi, berani mengambil risiko, tidak merengek, mengeluh, dan menuntut fasilitas lebih.

Terlalu banyak pengorbanan masyarakat terhadap pengusaha nasional, mulai monopoli impor gandum hingga bea masuk. Namun, tengoklah, adakah keberpihakan pengusaha terigu terhadap pengembangan tepung lokal sebagai bahan substitusi? Hanya bangsa primitif dan terbelakang yang selalu mengeluh dan meminta fasilitas berlebihan.

Kini ujian pemerintah dan pengusaha adalah bagaimana menghimpun kemampuan guna menghapus sumbatan birokrasi agar menghasilkan pertumbuhan dahsyat sekaligus mendorong pemerataan dan kesejahteraan yang selama ini dinikmati segelintir orang.

Arus utama publik
Teladan nyata dalam menghapus penyumbatan birokrasi lainnya adalah melawan arus utama publik menuju swasembada daging sapi dan buah berkelanjutan. Menghentikan impor daging sapi, bakalan, buah, dan benih hortikultura secara bijak melalui karantina dan persyaratan kesehatan, seperti dilakukan Australia atas buah dan makanan Indonesia, dapat digunakan sebagai latihan. Permintaan impor ketan menjelang hari raya dengan segala argumen pembenarnya dapat dijadikan teladannya.

Argumennya, meski kebutuhan ketan amat tinggi saat Lebaran, tetapi dalam sejarah tidak pernah ada orang mati karena tidak mengonsumsi ketan. Sebaliknya, di dalam negeri, petani ketan menikmati harga amat baik. Analog dengan ketan, penurunan/penghentian impor daging sapi dan buah hortikultura akan memacu produksi buah lokal karena ada insentif harga.

Dipastikan investor Indonesia, yang selama ini membangun peternakan di Australia dan Selandia Baru, akan membawa pulang modal dan mengembangkan sapi di Indonesia. Pasti ada gejolak nasional dan internasional, tetapi tak perlu takut. Kita perlu belajar dari Kuba, Libya, dan Iran yang tanggung menghadapi embargo dengan mendayagunakan sumber daya lokal.

Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dan buah buahan secara mandiri. Pemerintah dan Kadin dapat memberi argumentasi kepada importir buah dan daging yang selama ini menikmati rezeki nomplok sehingga tidak ingin menanamkan investasinya di Tanah Air.

Mengubah paradigma pengambil kebijakan dan pengusaha merupakan keharusan. Memanfaatkan pendekatan masa depan dengan teknologi maju untuk menyelesaikan persoalan daging dan buah merupakan teladan. Jeruk keprok dapat diproduksi jutaan batang dalam waktu singkat dengan somatic embryogenesis, bukan dengan penyambungan atau mata tempel yang memakan waktu, biaya, dan tenaga. Demikian juga pengembangan sapi kembar memungkinkan pertumbuhan populasi ternak naik minimal 25 persen per tahun apabila dilakukan serius.

Kini, teknologi itu tersedia di Balitbang Pertanian, menunggu investor. Penggunaan pendekatan masa lalu untuk menyelesaikan masalah saat ini dan masa depan, seperti dilakukan, harus dihentikan karena terbukti tidak dapat menyelesaikan masalah.

Gatot Irianto Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar