09/05/14

Koruptor Membunuh Negara

Jakob Sumardjo

KEDUDUKAN koruptor tidak berbeda dengan pemberontak negara, teroris, anarkis, yang akhirnya meniadakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika setiap teroris dan pemberontak dapat dikenai hukuman mati, belum ada koruptor dihukum mati.

Korupsi menggerogoti negara seperti kanker menggerogoti tubuh manusia, sedangkan teroris dan pemberontak terang-terangan terlihat seperti virus memasuki tubuh manusia. Negara yang penuh koruptor akhirnya akan ambruk juga karena kehabisan daya hidup. Koruptor seperti kambing hitam dalam keluarga, yang menghabiskan seluruh harta benda keluarga hingga menyebabkan anak-anak, orangtua, dan keluarga dekatnya telantar. Keluarga menunggu kehancurannya.

Korupsi adalah penggerogotan material negara, sama berbahayanya dengan penggerogotan ideologi negara. Mungkin teroris dan pemberontak masih memiliki kebangsaan negara meski berbeda ideologinya. Kaum koruptor benar-benar tidak memiliki rasa kebangsaan. Mereka manusia-manusia oportunistis yang tak segan-segan membawa lari hasil korupsinya ke luar negeri dan jika perlu menetap di sana agar tidak terjangkau hukum nasional Indonesia.

Hidup membutuhkan sumber hidup material, baik berupa tanah pertanian, hasil hutan, bidang jasa, maupun kelautan. Begitu pula kehidupan negara membutuhkan biaya hidup berupa kekayaan negara. Kekayaan itu kepemilikan, yang di sini berarti milik lembaga kenegaraan. Lembaga ini digerakkan orangorang yang terpilih bangsanya untuk menduduki jabatan-jabatan lembaga itu. Jika negara ini tak memiliki apa pun kecuali utang negara, rakyat bangsa itulah yang akhirnya harus menanggung pembayarannya.

Itulah yang terjadi dengan pesta pora korupsi sekarang ini. Kekayaan yang dibelanjakan negara untuk menghidupi bangsa ternyata digerogoti para pejabat negara sendiri. Seperti penyakit kanker yang baru terasa akibat fatalnya puluhan tahun kemudian, begitu juga dengan penyakit korupsi ini. Boleh jadi para koruptornya sudah lama mati dan tak bisa menikmati hasil korupsinya, tetapi akibat perbuatannya akan ditanggung cucu dan buyutnya sendiri. Penyair Abdul Hadi WM pernah menulis sajak mengenai perkara ini. Intinya para koruptor itu sibuk memetik dan memakan habis buah-buah yang diperuntukkan bagi anak cucunya nanti.

Pembunuh skala nasional

Gejala korupsi yang sebenarnya berakibat fatal ini, yang tidak segera terlihat akibatnya atau akibatnya tidak pernah dihubungkan dengan kejahatan korupsi, membuat para pelaku korupsi dijatuhi hukuman ringan. Mereka hanya dikategorikan sebagai maling besar atau tikus negara. Sebenarnya mereka pembunuh dalam skala nasional.

Jika ada sekolah dasar ambruk, jembatan ambruk, jalan hancur yang memakan korban; atau pembangunan puskesmas ataupun rumah sakit yang terbatas  dan lamban; bantuan sosial bagi kesehatan, kesejahteraan, pendidikan bagi mereka yang tak mampu sehingga banyak warga miskin tidak tertolong, padahal negara telah menyediakan anggarannya; siapakah yang harus bertanggung jawab atas musibah ini?

Tak ada hubungan antara pelajar yang tewas tertabrak truk akibat menghindari lubang di jalan dan pejabat yang harus bertanggung jawab atas terpeliharanya jalan dan ketertiban lalu lintas. Tak ada hubungan antara jutaan balita yang meninggal akibat kurangnya jaminan keuangan dan pejabat yang seharusnya bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Belanja negara untuk rakyatnya barangkali telah diperhitungkan secara cermat, tetapi kenyataannya tak mengubah apa pun pada rakyat selama puluhan tahun berdirinya negara nasional ini. Korupsi para pejabat negara justru semakin merajalela dan berani sehingga menjadi ciri-ciri salah satu gaya hidup mereka. Mereka tersenyum bangga ketika digiring ke Kantor KPK. Semakin besar nilai korupsinya semakin tegak busung dadanya. Mereka ini orang sehat atau orang
sakit?

Medan korupsi semakin luas. Ada korupsi belanja negara dan ada korupsi masukan negara. Para pejabat negara yang korup berada di antara lembaga pemberi dan penerima. Memberinya digerogoti, menerimanya juga digerogoti. Akibatnya, rakyat hanya menerima sisa-sisa ”kebaikan hati” kaum koruptor. Tentu saja para koruptor ini tak dapat menggasak habis belanja negara atau pemasukan negara karena hal itu tidak mungkin. Masalahnya sekarang seberapa banyak yang mereka korup? Seperempatnya? Setengahnya? Tiga perempatnya? Sebab, pada dasarnya manusia itu dapat serakah, tentu saja jatah korupnya juga semakin meningkat sampai mereka ketahuan dan tertangkap basah.

Gaji pegawai negara naik Rp 1 juta sudah merupakan loncatan luar biasa. Biasanya kenaikan tingkat atau golongan hanya bergerak antara Rp 200.000 dan Rp 700.000. Pegawai negeri itu jika dilihat dari standar gaji resmi, tidak mungkin masuk kategori orang kaya. Pegawai negeri itu kategori orang miskin di Indonesia. Pegawai negeri dengan gaji puluhan juta saja sudah tidak masuk akal dan tidak adil. Jika ada yang memiliki kekayaan ratusan juta, tentu pegawai negeri yang luar biasa.

Namun, kini banyak pegawai negeri dan pegawai negara yang rekeningnya miliaran rupiah bahkan triliunan rupiah. Dari mana mereka memiliki simpanan sebanyak itu? Sejauh mana kerusakan negara yang telah mereka perbuat? Berapa banyak jiwa tidak tertolong oleh timbunan korupsinya?

Vampir yang sesungguhnya adalah mereka, para koruptor. Dan beberapa dari mereka telah tertangkap akibat bangun kesiangan.

Jakob Sumardjo, Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar