14/12/13

Islam Pascanegara Bangsa

Zuly Qodir

Indonesia perlu merumuskan teologi yang dapat menegosiasikan antara Islam dan negara secara tepat dan bijaksana, bukan dikotomik sebagai sebuah negara bukan sekuler, melainkan bukan pula negara agama.
(Abdulahi Ahmed An Naim, 2009)

TAHUN 2013 hampir kita tinggalkan. Masa depan bangsa ini tak bisa dibiarkan dalam karut-marut karena persoalan keagamaan. Intoleransi dan kekerasan atas nama agama harus dicegah.

Salah satu umat yang diharapkan adalah umat Islam. Penganut Islam Indonesia yang mencapai 88,7 persen merupakan potensi yang sangat besar dalam peran yang dapat dilakukan, khususnya dalam perdamaian dan penyebaran Islam yang berkultur Indonesia, sebuah gagasan tentang Islam yang ramah, toleran, dan tak gampang marah sebagai Islam pascanegara-bangsa.

Itu sebabnya, Islam seperti kita pahami sudah seharusnya dihadirkan untuk umat manusia, bukan agama untuk Tuhan. Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela, apalagi disodori dengan segala macam pembelaan yang tak jarang menohok umat Islam sendiri karena cara-cara dan perilaku yang mendistorsi, bertentangan dengan misi profetik agama-agama.

Islam harus dihadirkan untuk menjawab problem kemanusiaan yang riil. Problem kemanusiaan adalah musuh utama misi agama-agama. Islam jangan sampai dikonstruksikan sebagai agama ”preman berjubah” yang sangat mengerikan dalam tindakan di masyarakat. Islam harus dihadirkan dengan santun, ramah, dan kasih sayang sebab Islam memang memiliki makna keselamatan dan keramahan, bukan konflik kekerasan.

Tatkala berhadapan dengan rezim yang zalim, otoriter, dan tak adil, para nabi menyebarkan ajaran tentang kesalehan sosial sekaligus kesalehan struktural. Nabi melawan kemungkaran dengan segala metode agar ketidakadilan lenyap di muka bumi. Otoritarianisme dilawan dengan toleransi dan tabayun (islah) mencari kebaikan dengan konsultasi, bukan menang sendiri. Dalam kisah, para nabi selalu bertentangan dengan penguasa yang zalim, otoriter, dan tidak adil.

Di situlah peran Islam Indonesia saat ini diharapkan dengan sangat nyata. Kehadiran Islam dengan misi profetik harus dihadirkan sebagai bagian dari perlawanan atas perilaku tidak manusiawi.  Kita berharap bahwa keislaman dapat menyapa mereka yang mustadafin, secara ekonomi, politik, kultur, dan ilmu pengetahuan sehingga keislaman kita sekurang-kurangnya akan menuju pada keislaman yang rahmatan lil alamin.

Kita harus yakin akan janji Tuhan bahwa yang akan menjadi pertimbangan umat beragama (termasuk umat Islam) adalah amal saleh yang kita kerjakan, sebagai amal yang akan menyelamatkan, termasuk amal jariah kita. Segala kejahatan akan menuntun kita sebagai umat beragama pada jurang kenistaan.

Apakah kita akan masuk surga dengan amal soleh yang kita kerjakan, itu adalah otoritas Tuhan atas pengadilan yang nanti dilakukan saat Hari Kebangkitan. Karena itu, doktrin fastabiqul khairat sejatinya mengajarkan kepada umat Islam hanya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kejahatan.

Berlomba-lomba dalam kebajikan tentu saja dengan cara yang bajik pula, santun, ramah dan tidak melakukan pengadilan atas pihak lain. Perilaku kebajikan akan terdistorsi ketika dikerjakan dengan cara-cara kejahatan.

Tidak dikotomis

Kita tahu bahwa di negeri ini orang menjalankan perintah Islam tidak ada larangan sekalipun negara ini tidak berdasarkan Islam. Tak perlu mendikotomikan secara tajam antara negara Islam dan negara sekuler sebab ini keliru dan tak perlu. Dalam kasus Islam Indonesia, Islam sesungguhnya tidak dipinggirkan dalam percaturan politik, ekonomi, atau budaya. Kita dapat saksikan betapa Islam mendapat ruang dalam politik (kebolehan partai Islam berdiri tak pernah ditolak/ dilarang oleh rezim politik) yang tidak berdasarkan Islam.

Demikian pula dengan percaturan ekonomi nasional, berdirinya usaha ekonomi perbankan bahkan telah secara resmi dengan nama bank syariah (Syariah Mandiri, Syariah BNI, Shar-E PT Pos Indonesia, dan tentu saja Bank Muamalat Indonesia). Kita juga mudah mendapatkan Islam Indonesia penuh dengan kultur keislaman, misalnya penyelenggaraan Festival Kesenian Islam, Musabaqah Tilawatil Quran, didirikannya Museum Al Quran, dan peringatan hari besar Islam, merupakan bukti bahwa kultur Islam telah mewarnai Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Konsep sekularisasi di Indonesia adalah gagasan perlunya pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam dalam negara sehingga umat Islam mampu memberikan sumbangan maksimal dalam percaturan politik, ekonomi, dan budaya dengan mengadopsi prinsip syariah, bukan formalisasi syariah untuk pembuatan kebijakan publik di Indonesia.

Mengikuti Abdullahi Ahmed An Naim, sebenarnya negara Islam bukanlah gagasan yang tepat untuk Indonesia sebab sering kali prinsip negara Islam hanyalah representasi elite politik, bukan representasi jemaah. Apalagi jelas bahwa di Indonesia tak dengan tegas ditolak prinsip etika Islam masuk dalam konstitusi dan bagian dari perimbangan serta pertimbangan dalam pengambilan kebijakan publik.

Karena itu, dengan tegas dapat dikatakan di Indonesia, untuk merespons perubahan besar karena globalisasi tidak dengan menghadirkan formalisasi syariah (negara Islam) sebagai alternatif, tetapi menghadirkan Islam dalam domain etika Islam yang universal (An Naim, 2007).

Apakah kita akan mengikuti saran An Naim dalam bernegara: melakukan negosiasi antara syariah dan negara, yakni antara doktrin, hukum Islam, dan prinsip negara modern yang dianut sistem demokrasi; ataukah kita umat Islam akan paksakan agar Indonesia berganti negara menjadi negara Islam dimulai dengan perda-perda syariah yang telah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia? Mari kita renungkan kembali dengan cermat!

Yang lebih penting dilakukan agaknya merumuskan bagaimana teologi Islam untuk sebuah negara sekuler atau negara bukan berdasarkan agama tertentu sebab jika kita berkutat pada dogma teologi, kita tak akan mendapat secara jelas tentang posisi negara dalam Islam sebagai bentuk formalisasi. Kita harus berani merumuskan karakteristik Islam yang khas Indonesia sebagai Islam pascanegara-bangsa: toleran, ramah, bijak memperhatikan demokrasi di ruang publik.

Zuly Qodir, Sosiolog Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Peneliti Senior Maarif Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar