13/12/13

Figur Tanpa Pencitraan

M Subhan SD

NELSON Mandela membuat Afrika berduka. Dunia juga berduka. Hampir 100 tokoh dan pemimpin negara hadir saat tokoh Afrika Selatan itu dilepas ke peristirahatan terakhir. Bahkan, pemimpin negara yang bermusuhan pun, seperti Amerika Serikat dan Kuba, sejenak melupakan perbedaan politik mereka. Inilah warisan Mandela: mengajarkan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, mengalahkan syahwat politik dan kekuasaan. Begitulah layaknya figur seorang pemimpin.

Namun, terkadang seorang pemimpin diukur dari kemampuan berbicara atau menuangkan ide-idenya. Kemampuan itu terkadang dianggap sebagai ciri-ciri hakiki demokrasi. Di Inggris, sejak abad ke-19, seorang pemimpin haruslah orator ulung. Perdana Menteri (PM) Inggris William Gladstone punya ”sihir” kuat saat berpidato. Ia memimpin kabinet sampai empat kali, yaitu 1868-1874, 1880-1885, 1886 (Februari-Juli), dan 1892-1894.

Di Perancis, Georges Clemenceau menjadi PM dua periode, yakni pada 1906-1909 dan 1917-1920. Clemenceau yang berprofesi wartawan itu punya garis politik radikal. Filsuf dan sejarawan Thomas Carlyle (1795-1881) bilang, tidak seorang Inggris pun akan dapat menjadi seorang pemimpin sampai ia membuktikan dirinya mempunyai kemampuan berbicara.

Para politisi berkeyakinan kemahiran berpidato menjadi jimat untuk menapaki jenjang karier mereka. Sampai-sampai sekelompok mahasiswa sosialis di Ruskin College, Oxford, menggelar aksi mogok pada Maret 1909 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kampus. Dalam kurikulum, sosiologi dan ilmu logika dianggap lebih penting ketimbang berpidato. Padahal, sejak kuliah mereka sudah mengincar panggung politik. Terbayang Soekarno atau HOS Tjokroaminoto, sedikit contoh ”singa podium” dari negeri ini. Pada masa revolusi, massa terbuai dengan kata-kata agitatif dan provokatif. Figur menjadi mesin perubahan politik.

Politik hari ini juga panggung ”figur”. Politik menjadi etalase besar membangun pencitraan. Namun, kata-kata berapi-api dan bombastis mungkin bukan lagi zamannya ketika revolusi berakhir dan demokrasi tersemai. Rakyat akan terpikat dengan kata-kata politisi yang berbahasa baik, kata-kata yang berbunga-bunga, berintonasi sedemikian teratur, piawai mengontrol emosi, dan mungkin diselingi kelakar.

Ramai-ramai politisi mencitrakan diri sebagai figur baik, ideal, penyayang keluarga, humanis, populis, dan religius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika berbicara selalu terukur dan terkontrol. Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, dan Gita Wirjawan juga muncul di mana-mana. Pemimpin yang menjaga citra, banyak bergerilya di tataran wacana.

Sebaliknya, pemimpin yang bekerja di tengah-tengah rakyat tapi jauh dari pencitraan justru kurang diapresiasi. Demokrasi kita terlalu sesak pencitraan. Memang, kata Harold Lasswell (1902-1978), kemampuan seorang pemimpin politik adalah meyakinkan (persuasion) dan memanipulasi (manipulation). Tak heran, banyak politisi lebih senang memermak diri, ber-make up tebal, bertopeng. Soal isi pidatonya, siapa yang mau hirau. Perang gagasan tidak lagi tersemai konstruktif karena transaksional lebih ”bermakna” dan ”bergizi”. Maka, hasilnya politisi busuk dan korup yang sekarang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Padahal, suksesi tak lama lagi. Pemilu 2014 menjadi pertanda berakhirnya euforia reformasi jika setiap perubahan politik terpola dalam dua dekade. Tahun 2019 benar-benar menjadi babak baru bangsa ini. Maka, Pemilu 2014 semestinya menghasilkan pemimpin yang bisa membangun babak baru itu. Tak bisa dicegah ketika gaya pemimpin yang lebih orisinil justru menjadi magnet baru. Figur bergaya cuek menjadi antitesa bagi figur yang suka pencitraan.

Prabowo kerap dianggap antitesa dari kepemimpinan SBY. Prabowo dipersepsikan tegas dan keras, yang dipercaya pas untuk menjawab kondisi sekarang ketika banyak konflik komunal atau intoleransi. Dia juga dianggap bisa mengangkat bangsa di depan bangsa-bangsa lain, seperti dalam kasus-kasus sengketa dengan negara tetangga atau persoalan TKI.

Namun, Joko Widodo (Jokowi) menumbangkan semua analisis politik. Popularitas dan elektabilitas Jokowi selalu meroket, mengalahkan tokoh-tokoh nasional yang lama malang melintang di politik. Banyak kawan terperanjat, di setiap survei, mengapa Jokowi selalu teratas? Mungkin saja ia adalah ”pesan sejarah” dan sintesa dari gaya pencitraan. Pencitraan dalam dirinya adalah prestasi kerja yang dilakukannya dalam senyap sejak menjadi wali kota di Solo.
Dia tak peduli pencitraan, tetap blusukan, dan ora mikir untuk bursa calon presiden.

Banyak tokoh berhasrat ingin jadi presiden. Ada Wiranto, Endriartono Sutarto, Marzuki Alie, Irman Gusman, Pramono Edhie Wibowo, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Rhoma Irama, Suryadharma Ali, mungkin Megawati. Namun, jangan lupakan tokoh daerah yang mungkin bisa dikader. Misalnya Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang memilih bekerja daripada berwacana untuk pencitraan.

Dalam suksesi 2014, peran parpol sangat strategis. Tetap memaksakan kader atau menemukan tokoh terbaik di luar parpol? Figur pencitraan sudah tamat. Tafsir baru figur adalah mereka yang bekerja walau dalam sepi. Kita tak ingin politik terus-menerus gelap, yang kata Peter Merkl (kelahiran 1932) hanya akan menjadi rebutan kuasa, takhta, dan harta demi kepentingan sendiri (a selfish grab for power, glory, and riches). Tak sulit bagi parpol mendengarkan suara rakyat mengenai figur pemimpin masa depan mereka. Parpol yang menutup telinga, mata, pikiran, dan hati, sesungguhnya mereka adalah pengkhianat rakyat.

M Subhan SD, Wartawan KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar