Acep Iwan Saidi
BUNDA Putri adalah nama pleonastis. Bunda dan Putri merupakan dua deiksis yang menunjuk pada persona sama: perempuan.
Sebagai panggilan pleonastis, kata ini mengirim pesan semiotik. Terdapat sebuah kemewahan di sana, sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sapaan dekoratif sedemikian mengindikasikan sebuah relasi hierarkis kepentingan. Yang menyapa dimungkinkan menjadikan sapaan ”Bunda Putri” sebagai pesan itu sendiri, yakni pesan bahwa sebenarnya si pengirim pesan (sender) sekaligus ingin menjadi penerima (receiver). Jadi, yang menyapa adalah pengirim dan penerima sekaligus. Inilah model komunikasi feodalistik: aku memuja karena itu aku ”mendapat”. Hanya yang menyapa Bunda Putri yang akan meraih kesempatan. Apa pun kesempatan tersebut pastilah berujung pada sesuatu yang menguntungkan, tetapi dapat diraih dengan gampang.
Dalam komunikasi semacam itu, topik perbincangan sendiri sebenarnya tak terlalu penting. Hal ini berbeda dengan semiotika komunikasi Fiske (1992). Menurut Fiske, dalam semiotika komunikasi, topik perbincangan (teks) berada pada posisi sentral (ordinat), sedangkan pengirim dan penerima pesan bergeser ke pinggir (subordinat). Penerima dapat pesan dan makna dengan cara menafsir teks, ia bahkan bisa mengabaikan pengirim. Hal ini sejalan pandangan Barthes (1977). Kehadiran pembaca meniscayakan kematian pengarang (pengirim pesan), kata Barthes.
Penerima sendiri mendapatkan pesan dan makna setelah ia menegosiasikan teks dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Di sinilah kemudian terjadi keragaman tafsir dari berbagai penerima terhadap teks yang sama. Dalam semiotika komunikasi, kata Fiske, tak pernah ada kesalahan tafsir; yang ada adalah keberagaman interpretasi.
”Ultrateks”
Komunikasi di lingkaran para pelibat dalam kasus Bunda Putri tidaklah demikian. Di awal telah disinggung, sapaan Bunda Putri bernuansa semiotik. Nama Bunda Putri bukan alamat pengirim, apalagi penerima, melainkan makna dan pesan itu sendiri. Ia adalah teks, bahkan bisa dibilang ”ultrateks” karena bisa meruntuhkan posisi teks biasa dalam komunikasi.
Sebagai ultrateks inilah, kiranya yang menyebabkan tafsir atas Bunda Putri tak bisa menghasilkan keragaman makna sebagaimana terjadi atas teks biasa dalam semiotika. Bagi para pelibat di lingkaran kasus itu, makna Bunda Putri telah terberi (given). Dengan demikian, jika salah menempatkan atau ”menyebut” nama tersebut, para pemilik kepentingan dimungkinkan akan celaka. Ia bukan hanya akan kehilangan kesempatan dalam menempatkan ”kepentingannya”, melainkan bisa jadi terpental ke luar lingkaran.
Lantas, sebagai sosok, siapakah sebenarnya Bunda Putri yang ultrateks itu? Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menyebutnya sebagai sosok yang dekat dengan istana. Hal ini berarti bahwa Bunda Putri sering hadir di istana, baik fisik maupun nonfisik. Namun, dalam keterangannya, Presiden SBY mengatakan, ia tidak mengenal Bunda Putri. Jika begitu, Bunda Putri tidak terlihat di istana atau di lingkaran istana. Sebab, jika terlihat, mustahil SBY tidak mengenalnya.
Sebagai presiden, SBY adalah sosok yang diandaikan rakyat mengetahui semua lekuk tubuh negeri ini. Kiranya tidak masuk akal jika ia tidak mengetahui detail istana dan sekitarnya.
Kontradiksi keterangan LHI versus SBY itu jelas menggiring perkara Bunda Putri sebagai ihwal yang tidak masuk akal. Dengan demikian, Bunda Putri adalah sosok nirnalar, ”siluman” yang bisa jadi memang bergentayangan di dalam dan di luar istana. Sebagai siluman, ia hadir dalam wacana dan memiliki dampak yang luar biasa buruk, tetapi kita tidak melihatnya, bahkan, sekali lagi, Presiden SBY pun tidak. Inilah sosok Bunda Putri, diri yang disapa secara feodalistik itu adalah sosok misterius. Ia datang dari ”ruang gelap” kejahatan.
Enigma
Kalau kita kembali betot ke dalam analisis semiotika, ”yang misterius” adalah tanda yang meninggalkan debar, sebuah ”lubang hitam” yang menimbulkan pertanyaan sekaligus ketegangan secara terus-menerus. Ia adalah tanda yang enigmatik (teka-teki). Di dalam cerita, enigma selalu hadir dalam kisah detektif, genre sastra yang tergolong sebagai kitsch. Kitsch adalah fiksi populer, tiruan yang menimbulkan efek kesegeraan, yang menghibur sesaat. Salah satu mekanisme kitsch dalam menghibur adalah dengan menahan pembaca (publik) berada dalam kepenasaran terus- menerus.
Kitsch bersifat menunda atau menahan bukti sebagai simpul cerita untuk tetap berada di ruang gelap. Begitulah, dalam kasus Bunda Putri, publik pun hanya bisa menduga-duga: siapakah Bunda Putri? SBY atau LHI-kah yang 1.000 persen berbohong dan seterusnya.
Namun, di dalam kisah, enigma menuntut untuk dibongkar. Letak pesan positif kitsch, jika ada, justru terletak di dalam pembongkaran tersebut. Setidaknya, di ujung cerita, publik mendapat sebuah pesan. Hal itu misalnya publik diminta waspada sebab penjahat ternyata orang yang paling dekat. Penjahat bahkan bisa menjadi tokoh yang berpura-pura hendak membongkar kejahatan. Seperti dalam kisah Akil Mochtar, koruptor itu ternyata orang yang seolah-olah hendak melaporkan dan menangkap koruptor.
Lantas, siapakah yang harus membongkar enigma Bunda Putri? Puncak keterkejutan publik dalam kasus ini sesungguhnya dimulai ketika SBY menanggapi secara emosional tudingan LHI. Hal ini berarti keterangan SBY telah ”memasukkan dirinya sendiri” ke dalam kisah kelam lingkaran kejahatan tersebut secara pribadi. Berbeda, misalnya, jika yang menanggapi LHI adalah pihak istana sebagai institusi resmi negara. Oleh sebab itu, SBY-lah yang kini harus jadi ”detektif”, tokoh sentral sekaligus narator yang berkewajiban menerangjelaskan sosok Bunda Putri.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, mau tidak mau, suka tidak suka, SBY akan terpenjara selamanya dalam lingkaran kelam sedemikian. Dan istana jadi ruang gelap tempat seluruh peristiwa tersebut terjadi. Publik tentunya berharap ini bukan ujung dari kisah Bunda Putri. Penonton sebenarnya sudah tak sabar, sudah cukuplah rakyat, sebagai penonton, disuguhi berbagai tontonan menyebalkan.
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar