Reza Syawawi
MAHKAMAH Konstitusi sedang dinakhodai oleh sekumpulan politisi yang ditahbiskan Presiden melalui corong eksekutif dan DPR menjadi hakim konstitusi. Kali ini, giliran Presiden memilih dan menetapkan Dr Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi menggantikan Achmad Sodiki.
Pemilihan ini mengundang kontroversi karena rekam jejak (track record) Patrialis dari sisi pemberantasan korupsi memprihatinkan.
Semasa menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang bersangkutan banyak memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan membangun sel khusus bagi koruptor, termasuk skandal sel mewah Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu (Kompas, 31/7).
Penilaian buruk atas kredibilitas dan integritas yang bersangkutan sebetulnya tidak hanya dari kalangan masyarakat, tetapi juga ditunjukkan oleh Presiden yang melepaskannya dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua.
Pencopotan ini tentu merupakan hasil evaluasi kinerja di jajaran kabinet. Maka, menjadi sangat mengherankan jika kemudian yang bersangkutan dipilih kembali untuk menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi.
Cacat hukum
Selintas jamak dipahami bahwa pemilihan hakim konstitusi memang menjadi salah satu ranah kewenangan Presiden. Undang-Undang Dasar 1945 pasca-perubahan ketiga pada Pasal 24C Ayat (3) menyebutkan bahwa ”Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden”.
Pasal ini kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pemilihan hakim konstitusi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Baik dalam UUD 1945 maupun UU tentang MK setidaknya ditempatkan empat syarat utama dalam memilih dan menetapkan seorang hakim konstitusi.
Pertama, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Kedua, hakim konstitusi wajib memiliki sikap adil. Ketiga, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dan, keempat, pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Berdasarkan persyaratan tersebut di atas, ditemukan beberapa kejanggalan baik dari sisi substansial (syarat-syarat) maupun dalam hal prosedur penetapannya.
Secara substansial, rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi adalah penjelmaan dari buruknya integritas seorang hakim. Bagaimana mungkin orang yang memiliki integritas buruk dipercaya untuk menegakkan hukum dan konstitusi secara adil?
Negarawan bukanlah sekadar diterjemahkan sebagai orang yang pernah menduduki jabatan sebagai pejabat negara, bahkan dalam jabatan setingkat menteri sekalipun. Integritas yang buruk sudah pasti bukanlah penjelmaan dari sikap seorang negarawan sejati.
Terpilihnya hakim konstitusi semacam ini adalah imbas dari proses yang juga cacat secara hukum. Pemilihan yang seyogianya dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik tak dihiraukan oleh Presiden (Pasal 19 UU MK).
Tafsir minimum atas proses yang terbuka dan partisipatif tersebut bisa terlihat jelas dan tegas dalam penjelasan Pasal 19 UU MK. Ada kewajiban bagi Presiden, DPR, dan MA untuk memublikasikan calon hakim konstitusi di media massa cetak dan elektronik sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
Maka, ranah kewenangan lembaga-lembaga negara (DPR, Presiden, MA) dalam pemilihan hakim konstitusi bukanlah sebuah proses yang tertutup dan minus keterlibatan publik. Ada kewajiban untuk menegakkan prosedur yang dijamin oleh undang-undang.
Berangkat dari proses tersebut, terlihat jelas bahwa Presiden telah nyata-nyata melakukan pelanggaran serius karena telah membatasi hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Artinya, ada asas dasar yang dilanggar secara nyata oleh Presiden.
Menghasilkan seorang hakim konstitusi yang berintegritas tinggi, tidak tercela, adil, dan negarawan tidaklah mungkin bisa dilakukan jika prosesnya dilakukan secara tertutup. Di samping itu, penghilangan hak masyarakat untuk berpartisipasi tentu saja bukanlah proses yang obyektif dan akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.
Peruntuh konstitusi
Presiden sebagai pengemban amanat konstitusi untuk memilih dan menetapkan hakim konstitusi sudah sepatutnya meninjau ulang keputusan ini. Ada hak publik yang dirampas oleh negara sehingga sudah sepatutnya hak tersebut dipulihkan.
Kuatnya penolakan publik atas hadirnya politisi sebagai hakim dikarenakan buruknya wajah partai politik dan politisinya dewasa ini.
Kasus korupsi yang melibatkan partai politik dan para petingginya adalah ancaman yang patut diwaspadai, terutama ketika masuknya politisi dengan rekam jejak buruk dalam jajaran hakim, benteng terakhir bagi pencari keadilan.
Di lain pihak terlihat adanya upaya untuk ”menyandera” MK dengan memperbanyak unsur atau bekas politisi dalam jajaran hakim konstitusi.
Tak mungkin ”lumbung” penghasil mayoritas koruptor akan menjadi penegak konstitusi. Yang akan tampak justru menjadi sang peruntuh konstitusi.
DPR di bentuk dari rakyat untuk rakyat, tetapi sekarang DPR dari Partai untuk partai mengapa itu terjadi
BalasHapuskalau begitu dprnya titipan zionist
BalasHapus