06/10/13

Puisi dan Korupsi

Putu Setia

Dalam penalaran dualistik biner, di dunia ini hanya ada (orang) yang korupsi dan tidak korupsi. Pada kenyataannya, ada banyak yang tercecer di antara korupsi dan tidak korupsi, −bahkan terpanggil untuk memberantas korupsi. Si penegak hukum yang tidak korupsi tapi kemaruk menerima hasil korupsi, misalnya, bisa aktif mengatur dakwaan agar terperoleh vonis hukuman ringan atau penataan fasilitas penjara agar si koruptor nyaman.

Atau tak korupsi tapi menerima recehan dari si yang korupsi supaya diam tutup mulut. Celakanya, reka suap tutup mulut itu jadi kolusi resmi, yang membuat besaran dikorupsi Rp 1 miliar hanya dinikmati utuh Rp 600 juta, sekaligus setelah mengantongi Rp 600 juta si bersangkutan menerima Rp 25 juta-Rp 50 juta dari teman kerja yang berkorupsi pada pos lain.

Pemerataan hasil korupsi, yang nominalnya tergantung posisi dan jabatan, membuat si terbukti korupsi dan divonis korupsi hanya bisa disita sebagian kekayaannya −di bawah nominal kerugian negara.

Ruwet bin rumit. Bahkan pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi hanya mungkin dijadikan saksi, tak mungkin dipaksa mengembalikan keuntungan berkolusi. Sulit merampas receh hasil tutup mulut saat ada korupsi karena UU Pencucian

Uang sebagai alat pembuktian terbalik yang menelusuri asal-usul receh yang diperoleh jika diterapkan akan terlalu mahal. Dianggap saksi memberatkan yang nyaris whistle blower −meski aib menikmati hasil korupsi laku pasifnya itu diserahkan kepada Tuhan. Mungkin tanpa religiositas seperti China, baru bisa tegas menghukum mati.

Kondisi itu yang menyebabkan banyak pihak muak dan cenderung ingin ekstrem menghukum koruptor.
Tapi radikalisme itu ditanggapi si koruptor sebagai laku pihak yang tak punya akses sehingga tak kuasa menikmati hasil korupsi. Bahkan koruptor yang belum terbukti korupsi berani menuding media yang menyorotinya sebagai pencemaran nama baik.

Mungkin karena korupsi berdekatan, −bahkan identik, −dengan kekuasaan. Lantas dengan apa melawan kekuasaan yang koruptif?

Menulis korupsi

Awal 2013 ada kawan yang gelisah dan ingin membentuk komunitas untuk menormalkan keadaan lewat sugesti perlawanan. Semacam pengondisian untuk menolak laku aktif korupsi atau hanya menikmati hasil korupsi. Komunitas dibentuk tanpa aturan keanggotaan ketat dan upaya dimanifestasikan dalam ekspresi puisi.

Sederhananya, anggota komunitas diajak menulis, memublikasikan secara tertulis, dan membaca puisi bertema antikorupsi. Tendensi ini murni tak berideologi dan tak beragama.
Hanya tema antikorupsi yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman subyektif masing-masing.

Sebagai organisasi independen, dana yang terbatas diatasi dengan mengajak setiap penyair pengirim puisi, untuk ikut membiayai penerbitan jika puisinya memenuhi syarat dan lolos seleksi.

Untuk publikasi pertama− ada 85 penyair dan 332 puisi dalam buku 476 halaman,− ditentukan sawerannya Rp 250.000 per orang—meski banyak yang mengirim lebih. Besaran itu jadi hak atas buku tercetak, yang saat itu biaya cetaknya cuma Rp 25.000 per buku.

Karena itu, buku Puisi Menolak Korupsi tidak mungkin ditemukan di toko buku mana pun. Melulu hanya berada di khazanah si penyair yang berkontribusi− bisa dinegosiasi untuk memilikinya dengan rentangan harga Rp 0 sampai di atas Rp 25.000. Ini sebuah kesepahaman yang unik, sebuah manifestasi untuk mengekspresikan perjuangan yang konsekuen melawan korupsi.

Pada praktiknya, pembagian produksi hasil investasi saham penerbitan dilakukan pada titik tertentu, di mana ada pihak yang mau jadi tempat launching, lalu diikuti kegiatan baca puisi—meski ada yang tidak bisa datang.

Momen publikasi lisan ini diikuti banyak kontributor buku atau seniman seni pertunjukan setempat yang ikut mengekspresikan penolakan pada korupsi. Momen itu dilengkapi diskusi yang menggelora dan tak seorang pun yang dibayar.

Kegiatan

Ada kesepakatan tidak terucapkan untuk melawan korupsi, dengan ekspresi penolakan pada korupsi secara tekstual. Sampai awal Ramadhan, launching− yang diidentifikasi sebagai roadshow, telah dilakukan di Blitar (18-19/6), Tegal (1-2/6), dan Banjarbaru, Kalsel (28/6). Selain di Banjarbaru, di mana ada sumbangan dana Rp 2.725.000 lebih untuk tiket kapal Surabaya-Banjarmasin pergi-pulang, semua transportasi ditanggung sendiri dengan ditunjang akomodasi maesenas lokal.

Ada benang merah kesepakatan: korupsi harus dilawan meski hanya lirih lewat puisi, yang kegarangannya hanya hadir di panggung pertunjukan. Bahkan, ajakan emansipatorik ditolak karena kodrat penyair itu berpuisi, mencatat, serta mengingatkan, tidak pragmatik demo di jalanan, tidak juga dengan berpidato di DPR. Maka, roadshow berikut berlangsung di Agustus dan seterusnya. Bahkan, kini sudah ada 174 penyair yang berpartisipasi membiayai penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid II.

Orang sudah muak. Ada yang mengekspresikannya secara garang, ada yang lirih lewat puisi.

Putu Setia Pengarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar