06/10/13

Kini “Judica-thieves” Juga

Budiarto Shambazy

Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar karena menerima sogok miliaran rupiah menimbulkan krisis konstitusional yang mungkin belum ada presedennya di mana pun. Ini krisis yang menimbulkan demoralisasi sekaligus merusak konstitusionalitas dan politik kita.

MK satu-satunya lembaga yang khusus dibentuk guna menyempurnakan dan mengawal proses amandemen UUD 1945 selama 11 tahun terakhir. Karena itu, ada pemeo yang berlaku universal, MK adalah ”wakil Tuhan di dunia”.

Apa lacur, MK kita kini berada di titik nadir setelah terungkapnya korupsi Akil Mochtar yang mind-boggling, dramatis, sensasional, dan justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Pertanyaan paling pokok adalah apakah solusi yang sedang dicari sesuai dengan aspirasi rakyat?

Kalau cuma sekadar merembukkan krisis ini di kalangan elite, seperti apa yang dilakukan Komite Etik MK, apakah itu mewakili aspirasi rakyat? Rakyat sudah jenuh dan apatis dengan solusi semacam ini karena biasanya bersifat basa-basi, ngalor-ngidul, dan sering transaksional.

Tak heran berkembang opini di berbagai kalangan, sebaiknya MK dibubarkan saja. Mengapa kita tidak hentikan saja proses amandemen konstitusi yang akan masuk tahap kelima? Lagi pula, yang namanya proses amandemen konstitusi tak perlu dilakukan sampai kiamat. Artinya, MK bukanlah lembaga permanen.

Lebih penting lagi adalah apakah betul kita mau menyerahkan tafsir atas konstitusi kepada hakim-hakim MK? Padahal, UUD 1945 disusun dengan tafsir yang sudah paripurna dan tetap relevan sampai kini oleh para pendiri bangsa.

Seperti kita ketahui, semakin banyak kritik dilontarkan ke proses amandemen konstitusi. Apa yang diubah mungkin lebih bagus di atas kertas, tetapi banyak yang tidak mematuhinya.

Jangan salah, amandemen konstitusi sama sekali tidak salah. Namun, kita makin hari makin melenceng dari apa yang ditulis dalam naskah asli UUD 1945 ataupun versi amandemen.

Lebih dari itu, dipertanyakan pula dengan delapan hakim konstitusi yang tersisa, sejauh mana efektivitas MK? Apalagi rakyat sudah kehilangan trust terhadap MK dan mulai mempertanyakan integritas delapan hakim lainnya.

Sementara ini, tugas keseharian MK tentu masih terus berjalan. Jika kita melihat korupsi yang dilakukan Akil Mochtar, masalah terbesar adalah bagaimana menyikapi perkara-perkara yang terkait dengan hasil pilkada-pilkada.

Seperti diketahui, setiap tahun ada ratusan pilkada. Data menunjukkan, lebih dari 90 persen hasil pilkada disengketakan di MK. Ternyata, hasil pilkada-pilkada itulah yang menjadi core business MK. Wajar saja jika hal itu menjadi bisnis yang menggiurkan karena melibatkan transaksi bernilai miliaran rupiah.

Lalu, bagaimana dengan sengketa-sengketa yang sudah diselesaikan MK? Kini mulai dipertanyakan pula keputusan MK atas hasil pilkada di beberapa provinsi besar belum lama ini, seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Krisis konstitusional yang dipicu korupsi Akil Mochtar ini otomatis memicu pula krisis legitimasi terhadap mereka yang memenangi pilkada. Tentu tak semua hasil pilkada yang disengketakan dan diputuskan MK melibatkan fenomena wani piro.

Namun, harap dimaklumi pula jika mereka yang kalah akan unjuk aksi. Kalau sebelumnya ada anggapan yang kalah pilkada biasanya tidak mau terima kekalahan, kini ada anggapan rupanya yang menang dengan meragukan (terutama petahana) punya jurus wani piro.

Celakanya lagi, keputusan-keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ya, mereka yang kalah terpaksa ”gigit jari” saja walau mereka cuma jadi korban siasat jahat pemenang dengan MK.

Tentu saja ini tidak fair karena keputusan-keputusan MK mengabaikan rasa keadilan. Bisa dibayangkan pengabaian ini menurunkan animo rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi kita yang masih baru.

Sekali lagi, masyarakat kini mengalami demoralisasi akibat korupsi Akil Mochtar ini. Terus terang, saya ragu elite penguasa merasakan demoralisasi yang serupa. Sudah bertahun-tahun nikmatnya kuasa dan duit serta rasa tamak telah mewabahi para pejabat publik yang kita pilih sendiri. Celakanya, korupsi yang sudah absurd itu masih saja ditoleransi rakyat.

Lebih celaka lagi, elite politik menganggap korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah ”permainan”. Mereka cuma fokus pada bagaimana caranya mengutak-atik sekaligus membagi-bagikan anggaran untuk ditilepsampai-sampai mereka alpa bekerja untuk rakyat.

”Permainan” itu tampaknya akan makin berlangsung seru menjelang tahun politik 2014. Kini muncul pertanyaan yang tak kalah penting, apakah MK masih layak dipercaya jika terjadi sengketa atas hasil Pemilu dan Pilpres 2014?

Karena itulah muncul desakan dari beberapa kalangan aktivis agar delapan hakim konstitusi sebaiknya mengundurkan diri saja. Namun, pertanyaannya, apakah mereka bersedia?

Sekali lagi, rakyat sedang mengalami demoralisasi yang belum ada presedennya dalam sejarah kita. Pertanyaannya, apakah masih ada tokoh atau institusi yang memiliki wibawa untuk menemukan solusi yang memuaskan rakyat?

By the way, hampir dua tahun lalu saya dikirimi surat protes dari MK. Isinya, mereka keberatan dengan apa yang saya tulis di rubrik ini bahwa kita kini menganut ”Trias Corruptica”, bukan ”Trias Politica” sebagaimana lazimnya. Tiga cabang kekuasaan kita adalah ”legisla-thieves”, ”execu-thieves”, dan ”judica-thieves”. Semuanya ”thieves” alias pencuri.

Saya minta MK menulis hak jawab, tetapi mereka enggan sebab waktu itu ada ”oknum” karyawan MK yang divonis karena korupsi keputusan sengketa pilkada. Kini, yang jadi tersangka korupsi sang ketua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar