Indonesia menjadi tuan rumah APEC 1994. Pertemuan di Bogor menghasilkan kesepakatan yang menjadi awal arah pertemuan APEC selanjutnya. Kesepakatan Bogor Goals berinti komitmen anggota APEC untuk mencapai perdagangan dan investasi bebas dan terbuka pada tahun 2010 untuk anggota ekonomi maju dan tahun 2020 untuk ekonomi berkembang. Para anggota sepakat mengurangi hambatan perdagangan dan investasi barang, jasa, dan modal.
Dalam pertemuan tahun ini, Indonesia sebagai tuan rumah ingin menjadikan APEC sebagai forum yang dapat meningkatkan kemaslahatan orang banyak, mengeluarkan kesepakatan yang membumi.
Indonesia mengajukan 19 gagasan utama di bawah tiga prioritas. Prioritas pertama, mencapai Bogor Goals. Indonesia mendukung empat gagasan, yaitu sistem perdagangan multilateral melalui pertemuan para menteri perdagangan anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), peningkatan perdagangan jasa dan rekomendasi tindak lanjutnya di APEC, dan menyusun rekomendasi tata cara liberalisasi perdagangan sesuai Bogor Goals untuk mendapat manfaat bersama.
Dalam prioritas kedua, yaitu pertumbuhan berkesinambungan yang adil, Indonesia mengajukan sembilan gagasan. Penguatan daya saing usaha kecil dan menengah serta pemberdayaan UKM perempuan. Juga diusulkan memberdayakan perempuan melalui kewirausahaan, akses internet/teknologi dan reformasi struktural yang terkait dengan perempuan.
Pada bidang pertanian, Indonesia mengusulkan ada penguatan ketahanan pangan dengan melibatkan swasta dan pemberdayaan petani. Pada bidang keuangan, memperluas akses keuangan bagi rakyat sebagai salah satu tema pada pertemuan tingkat menteri keuangan. Selain itu, Indonesia juga mengajukan isu kelautan dan inklusi keuangan untuk mendorong pelaku usaha memanfaatkan akses pembiayaan karena hanya 10 persen dari jumlah penduduk yang sudah mempunyai rekening di bank.
Indonesia juga mendukung pemajuan ilmu dan teknologi, pengembangan energi bersih dan terbarukan, pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta obat tradisional sebagai alternatif pengobatan dan merekomendasikan mengenai model sistem kesehatan yang berkesinambungan.
Berdasarkan data riset, penggunaan obat tradisional di kawasan Pasifik sangat tinggi. Penggunaan obat tradisional di Australia mencapai 48,50 persen, China 90 persen, Hongkong 60 persen, Jepang 49 persen, Nauru 60 persen, Republik Korea 69 persen, Filipina 57,30 persen, Singapura 45 persen, dan Vietnam 50 persen. Sementara di Indonesia, berdasarkan data 15 tahun terakhir, sekitar 50 persen penduduk mengonsumsi jamu.
Beberapa negara anggota APEC telah memulai pengembangan obat tradisional, seperti China yang mengintegrasikan pengobatan konvensional dengan tradisional. Jepang dan Korea juga menggunakan penggunaan obat herbal pada layanan kesehatan formal. Indonesia memulai dengan mengembangkan keilmuan jamu dan standardisasi obat herbal serta fitofarmaka.
Di bawah prioritas ketiga, yaitu meningkatkan konektivitas, Indonesia mengajukan lima usul. Kementerian Luar Negeri bertanggung jawab pada pengembangan kerangka kerja konektivitas sebagai visi jangka panjang Asia Pasifik. Selain itu, menyusun rencana tahun jamak untuk mendorong pembangunan dan investasi infrastruktur melalui sinergi di dalam APEC.
Beberapa kementerian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana bertanggung jawab menyusun rencana kerja memfasilitasi mobilitas personel tanggap bencana di Asia Pasifik. Selain itu, diusulkan pula pengembangan rencana kerja untuk meningkatkan kemudahan mobilitas siswa, peneliti dan penyedia jasa pendidikan, serta mobilitas pelancong.
Belum disepakati
Pada 9 September 2012 para pemimpin APEC sepakat menyusun daftar barang ramah lingkungan. Selaras dengan kesepakatan tahun 2011, terhadap barang ramah lingkungan dikenai pemotongan tarif 5 persen atau kurang hingga tahun 2015. Ini merupakan kesepakatan dagang pertama yang berhasil membentuk pemangkasan tarif barang ramah lingkungan.
Saat ini ada 54 jenis barang termasuk di dalam daftar, antara lain barang inti. Barang inti adalah barang yang mengandung teknologi terbarukan dan ramah lingkungan, seperti panel surya serta turbin gas dan angin. Tarif barang jenis tersebut saat ini sekitar 35 persen. Adapun teknologi pengolahan air limbah seperti filter dan perlengkapan ultraviolet bertarif 21 persen.
Dari semua usulan yang diajukan Indonesia, ada satu usulan yang belum mencapai titik temu. Indonesia ingin agar minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan karet alam masuk dalam APEC Environmental Goods List (EG) 2012. Anggota yang mendukung usulan Indonesia secara lisan adalah Papua Niugini. Selebihnya, sulit ditebak apakah mendukung atau menolak.
Indonesia siap menggunakan pendekatan lain, yaitu meminta APEC Policy Support Unit melakukan kajian subyektif di mana liberalisasi dapat dilakukan secara terbatas pada produk yang menyumbang terhadap pertumbuhan berkesinambungan, pembangunan pedesaan dan pengentasan orang dari kemiskinan. Indonesia akan meminta hasil kajian dibahas dalam Trade Policy Dialogue (TPD). Mekanisme ini biasa dilakukan anggota lain, seperti AS, untuk memasukkan ide-idenya. Sangat diharapkan, hasil kajian itu dapat memagari pembahasan perluasan EG di masa yang akan datang. Dengan demikian, barang-barang yang dinominasikan Indonesia, seperti karet, kelapa sawit, dan produk kehutanan lainnya, dapat masuk ke dalam EG.
Pada pertemuan tingkat pejabat tinggi nanti, Indonesia masih memiliki kesempatan membuat anggota APEC lain mencapai kesepakatan melaksanakan studi dan dialog kebijakan perdagangan.
Redaksi Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar