Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia amat berkepentingan dengan isu kelautan. Apalagi, negeri dengan sejarah besar di bidang maritim ini justru semakin asing dengan alam baharinya.
Saat ini kontribusi sektor kelautan Indonesia hanya 22 persen dari produk domestik bruto. Ini tergolong kecil dibandingkan dengan negara APEC lainnya, seperti Vietnam, Korea, dan Jepang.
Kelautan juga salah satu medan di mana tangan pengawasan dan pengelolaan pemerintah lemah, terlihat dari maraknya pencurian ikan di wilayah Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan kerugian Indonesia akibat pencurian ikan rata-rata Rp 30 triliun per tahun.
Bukti lain, maraknya penyelundupan. Di Selat Malaka sampai hari ini penyelundupan terus terjadi. Barangnya beragam. Yang masuk antara lain peralatan elektronik, pakaian bekas, dan narkoba. Barang yang keluar antara lain solar, kayu, dan pupuk.
Sejauh ini laut juga belum bisa mengangkat derajat nelayan Indonesia karena mereka masih kelompok masyarakat termiskin. Sementara itu, nelayan Indonesia masih menggunakan perahu tradisional sehingga jangkauannya minim; kapal asing legal maupun ilegal menguras isi lautan Nusantara.
Mulai 1990
Isu kelautan mulai mendapat perhatian APEC pada 1990. Saat itu APEC membentuk Kelompok Kerja Konservasi Sumber Daya Maritim di bawah Kelompok Kerja Perikanan. Pada 2011 kedua kelompok kerja itu disatukan menjadi Kelompok Kerja Kelautan dan Perikanan (KKKP).
Isu kelautan pun meluas ke sejumlah forum dunia, di antaranya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan atau Rio+20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada 2012. Saat itu ide ekonomi biru muncul. Idenya mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial dari sektor kelautan dengan cara-cara berbeda, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pada forum Rio+20 menekankan arti pentingnya sektor kelautan. Ada dua pendekatan yang disampaikan: ekonomi dan lingkungan.
Di sisi ekonomi, sektor kelautan adalah tempat berbagai sumber daya ekonomi. Menjadi kian penting nilainya ketika kelautan diletakkan dalam konteks ketahanan pangan dunia.
Pada 2045 populasi manusia diproyeksikan meningkat menjadi sembilan miliar jiwa. Populasi sebanyak ini, menurut FAO, memerlukan peningkatan produksi pangan sampai 70 persen dari kapasitas sekarang.
Dengan demikian, pemanfaatan sektor kelautan yang optimal dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan menjadi keharusan. Keseimbangan antara aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan pada sektor kelautan menjadi mutlak.
”Bersama, kita butuh meyakinkan bahwa sumber daya maritim kita berkelanjutan. Dan demi ketahanan pangan, kita perlu meyakinkan kesehatan laut-laut kita. Itu sebabnya, kita butuh melindungi laut dari eksploitasi ikan berlebihan. Kita butuh masyarakat komunitas pantai yang berdaya. Dan kita mesti menyediakan insentif lebih untuk sektor perikanan yang berkelanjutan,” kata presiden dalam pidatonya.
Dari sisi lingkungan, kelautan bisa berperan besar memitigasi pemanasan global. Lautan menyerap sekitar 80 persen panas. Lautan yang mencakup 72 persen dari muka Bumi juga menghasilkan separuh dari oksigen yang dihirup manusia.
Dalam forum APEC, Indonesia mulai aktif mengangkat isu kelautan sejak 2005. Isu kelautan terus diusung dalam persiapan pertemuan APEC di Bali, yakni pertemuan tingkat menteri APEC di Jakarta, Februari
2013.
Salah satu isu yang disepakati adalah pengarusutamaan isu kelautan dan hal terkait lainnya. Ini diharapkan tidak sebatas mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tetapi juga pertumbuhan inklusif serta menciptakan lapangan kerja dan menggenjot pendapatan.
Pemerintah Indonesia mengajukan rencana kerja yang terbagi ke dalam tiga isu. Pertama, penguatan ketahanan pangan dan jaminan kesehatan makanan mengingat enam dari 10 eksportir ikan terbesar dunia adalah negara APEC dan 65 persen ikan tangkapan dilakukan negara APEC.
Namun, pada saat yang sama, ada persoalan eksploitasi perikanan berlebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut, dan keterbatasan sumber daya perikanan.
Isu kedua, menjaga kesehatan lautan dan melindungi lingkungan maritim. Lebih dari setengah miliar penduduk negara-negara APEC menggantungkan langsung kehidupannya dari lautan. Di sisi lain, ada ancaman polusi, eksploitasi hasil laut secara berlebihan, dan dampak perubahan iklim seperti peningkatan permukaan air laut dan badai.
Isu ketiga, menghubungkan negara-negara APEC melalui jalur laut melalui konektivitas fisik, seperti pelabuhan dan kapal, dan institusi berupa kebijakan dan peraturan untuk memperlancar arus bebas barang, jasa, perdagangan, dan investasi.
Tema-tema besar
Forum APEC dan pertemuan tingkat internasional lainnya memang selalu membahas tema-tema besar. Tidak akan dibahas dalam pertemuan ini, misalnya, nasib nelayan Kepulauan Riau yang hanya menonton kapal asing mencuri dan mengeruk ikan di wilayah Indonesia.
Di sinilah kecermatan pemerintah akan menentukan seberapa jauh tema besar kelautan efektif menunjang kepentingan nasional. Ukuran keberhasilan pemerintah yang paling otentik adalah jika nelayan Nusantara semakin mulia. Jika sebaliknya, berarti pemerintah justru menjual lautan Nusantara.
Redaksi Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar