05/10/13

APEC 2013 dan Prioritas Indonesia

Dinna Wisnu

Satu lagi perhelatan akbar diadakan di Pulau Dewata: APEC. Pertemuan wakil- wakil negara dan pebisnis besar dari 21 negara di Asia Pasifik ini mengangkat tema ”Resilient Asia-Pacific, Engine for Growth”.

Acara ini digadang-gadang karena kawasan ini adalah konsentrasi pusat pertumbuhan ekonomi dunia, salah satu kawasan yang anggotanya masih tumbuh di tengah resesi global, dan arena lebih dari 55 persen kegiatan ekonomi terjadi di kawasan ini.

Namun, sebenarnya tidak ada yang berubah dari APEC. Inilah forum sukarela bagi negara-negara kawasan yang ingin dapat kemudahan masuk ke pasar negara lain, memarkir uang dengan harapan jaminan keuntungan sebesar-besarnya. Juga kesempatan bagi pakar dan praktisi mereka membuka ladang pekerjaan di negara-negara yang daya belinya bertumbuh. Wajar bahwa jargon growth alias pertumbuhan diulang-ulang dalam forum ini. Sebab, tanpa kerelaan negara-negara anggota membuka segala kemudahan itu, indikator pertumbuhan ekonomi mereka sulit tumbuh karena pasar domestiknya terbatas atau sedang lesu.
Perlu diwaspadai


Hal yang perlu diwaspadai adalah—karena dalam mencari pertumbuhan tadi—negara-negara anggota APEC mengedepankan penurunan hambatan tarif secepat-cepatnya dan sampai sekecil-kecilnya. Padahal rata-rata dari mereka menerapkan hambatan nontarif dan mencari peluang menghidupkan perekonomiannya sendiri, seperti dengan menjual teknologi dan jasanya.

Ambil contoh Rusia. Alasan mereka masuk APEC adalah menjamin kelancaran pasokan pangan dan mendukung konsep blue economy. Padahal, mereka menerapkan syarat standar mutu dan keamanan makanan sambil menawarkan teknologinya, termasuk untuk pengawasan kelautan seperti radar dan sistem navigasi.

AS mengaku ingin menurunkan tarif barang masuk ke AS, tetapi kalaupun tarif mereka direndahkan, daya beli masyarakat AS sedang rendah, standar mutu untuk produk asing sangat tinggi, dan mereka mendesakkan teknologi konservasi lingkungan untuk ”membantu” produk kita.

Negara kota seperti Hongkong, Singapura, juga Taiwan dan Brunei pun getol minta penurunan tarif karena mereka memang hidup dari berdagang dan menyediakan jasa, termasuk layanan logistik. Tak dimungkiri, negara-negara kecil tersebut pandai bersilat lidah dan kebijakan supaya ekspor dari negara-negara besar mampir dulu ke mereka sebelum diteruskan ke negara lain. Tujuannya jelas: pencatatan devisa masuk juga ke buku perdagangan mereka.

Secara prinsip, keterlibatan di APEC tak bisa dihindari karena Indonesia perlu menekan negara-negara lain untuk menurunkan segala bentuk hambatan kerja sama ekonomi. Akan tetapi, keuntungan hanya bisa diraup jika pemerintah lebih siap menghadapi tekanan kala negosiasi, industri di Indonesia hidup dan terorganisasi dengan baik, para investor kita mau agresif masuk mencari peluang ke negara-negara lain, dan para konsumen di Indonesia jeli. Kombinasi ini semua yang lemah.

Adapun yang kita hadapi saat ini adalah AS, sekutunya, serta negara-negara kota yang kompak mendesakkan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) yang intinya tak jauh dari Trans Pacific Partnership. Mereka ingin garansi agar perusahaan asing dijamin keuntungannya oleh pemerintah dan bahwa tak ada sektor yang dikecualikan untuk diturunkan tarifnya. Di sisi lain, negara-negara APEC adalah penyumbang 60 persen produk ramah lingkungan, meskipun kita tahu bahwa spesialis produk jenis ini baru terbatas pada AS, China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, dan Meksiko.

Kepentingan utama Indonesia adalah memastikan kesepakatan informal dengan APEC ini tidak menyudutkan produk-produk ekspor andalan Indonesia, membantu investor Indonesia mendapat kemudahan berbisnis di negara anggota APEC, dan memperkuat kinerja industri mikro, kecil, dan menengah dalam persaingan yang mengedepankan standar mutu dan produksi massal demi harga murah. Harus disadari, prinsip standardisasi produk, peningkatan skala ekonomi, dan pemberian hak paten adalah hal utama yang harus dikejar untuk produk UKM. Selama ini tidak ada pembinaan pemerintah yang berarti untuk memformalisasi kegiatan ekonomi UKM: rata-rata UKM pakai sistem gali lubang tutup lubang dan tak punya keahlian produksi massal karena kurang modal.

Selain itu, kita perlu waspadai konsekuensi negosiasi pada sektor industri minyak sawit dan karet. Sektor ini diminta pemerintah untuk diakui sebagai sudah berstandar ramah lingkungan, padahal kenyataannya separuh dari produsen di sektor ini adalah petani rakyat dengan skala produksi dan modal yang kecil. Jangankan pencatatan pemenuhan mutu, untuk pestisida dan alat-alat pertanian pun masih seadanya. Secara realistis sulit kita minta pengakuan ramah lingkungan yang menyeluruh untuk dua produk tersebut, kecuali lembaga sertifikasi kita menjamin jangkauannya sampai ke petani terkecil sekalipun.

Negosiator harus jeli

Selain itu, perlu diperhatikan implikasi negosiasi APEC pada daya saing produk gas alam, batubara, logistik (termasuk jasa pelabuhan, penerbangan, dan konektivitas antarpulau dan antar-kawasan), teknologi informasi, pendidikan, jasa kesehatan, industri kreatif, industri makanan dan minuman, properti, perbankan, pariwisata, semen, dan petrokimia. Inilah sektor yang cukup diandalkan di Indonesia, tapi belum kuat untuk bersaing bebas.

Pengembangan teknologi informasi, pendidikan, dan logistik belum terpadu dengan perkembangan industri besar. Birokrat kita belum bisa membangun sistem terpadu yang serba tercatat secara online dan rutin memanfaatkan hasil penelitian lembaga pendidikan. Sementara itu, daya beli konsumen yang meningkat justru sudah dimanfaatkan oleh investor dan operator asing.

Artinya, para negosiator APEC harus lebih jeli karena beban kita adalah banyaknya pekerjaan rumah kementerian yang tidak dikerjakan dengan baik. Padahal swasta Indonesia masih sangat bergantung pada arahan dan subsidi pemerintah. Melepas swasta kita kepada mekanisme pasar yang diminta APEC sama saja bunuh diri, apalagi birokrat yang mendampingi tidak menguasai medan. Paling yang bisa diperjuangkan adalah bahwa negara-negara yang mau mengimpor barang dan jasa dari Indonesia akan menerima insentif pengaturan logistik yang murah dan efisien. Biarkan ini menjadi pecut bagi BUMN dan kementerian terkait untuk merapikan sistem logistik dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.

Dinna Wisnu, Direktur dan Co-Founder Paramadina Graduate School of Diplomacy, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar