Beni Sindhunata
Produktivitas dan berhemat adalah kata kunci mengatasi krisis ekonomi saat ini, demikian M Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, di Kompas (23/9).
Berangkat dari sikap dan semangat itu, penulis mengkajinya dari aspek defisit neraca perdagangan dan tata kelola hasil kerja berupa devisa ekspor. Produktivitas industri tidak banyak berarti jika hasil kerjanya, berupa devisa ekspor, tak bisa maksimal dikelola otoritas moneter selaku pengelola devisa.
Itulah salah satu titik lemah yang berdampak luas bagi perekonomian domestik, yang mendorong otoritas moneter selalu fokus pada dinamika Federal Open Market Committee (FOMC) dengan paket stimulusnya—dikurangi atau ditambah— laksana obat kuat sementara waktu.
Dari Januari ke Agustus 2013 cadangan devisa kita menyusut 16 miliar dollar AS, sedangkan devisa hasil ekspor (DHE) sebelum dikurangi impor: 87,5 miliar dollar AS. Jika seluruh DHE itu wajib ditahan atau disimpan di bank devisa dalam negeri selama jangka waktu tertentu, di atas kertas cadangan devisa bisa menjadi 179 miliar dollar AS, menghadapi utang luar negeri yang 259,5 miliar dollar AS.
Peraturan Bank Indonesia No 13/20/PBI/2011 tentang Peneri- maan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagai turunan UU No 24/1999 tentang Devisa tak mewajibkan DHE harus disimpan dan ditahan sementara waktu. Kecuali hanya wajib lapor dan catat di bank devisa de- ngan toleransi waktu maksimal Desember 2012. Itu pun tak semuanya melapor, maksimal baru sekitar 85 persen.
Tak heran jika dana korporasi Indonesia (devisa ekspor) dan WNI kelas superkaya di Singapura diperkirakan 140 miliar dollar AS. Sementara ini, mereka parkirkan uang itu di bank asing luar negeri dan baru pulang kampung setelah kondisi keuangan kondusif, aman, dan menarik.
Tak ada yang bisa memastikan dan menjamin para eksportir itu melaporkan seluruh transaksi ekspornya karena sebagian disimpan di bank luar negeri untuk transaksi impor, di samping keperluan lindung nilai yang sekarang baru seperlima terlindung. Karena pentingnya devisa mendukung gerak mesin perekonomian nasional, perlu penyesuaian tata kelola devisa. Dengan mewajibkan eksportir menyimpan dan menahan sementara waktu DHE di bank domestik dengan merevisi Peraturan BI No 13/20/PBI/2011, kemudian dilanjutkan revisi UU No 24/1999 agar punya payung hukum lebih kuat, serangkaian UU berjiwa liberal yang lahir pada era Reformasi di bawah bayangan IMF dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan 15 tahun terakhir.
Segera selesai
Oleh sebab itu, beda pendapat antara DPR (Komisi XI) dan BI soal strategi tata kelola lalu lintas devisa dapat segera selesai menu- ju kesepakatan. Silang pendapat yang berlarut dan terbuka mubazir. Legislatif minta UU No 24/1999 direvisi, sementara BI berpendapat tidak ada pemikiran merevisi UU Devisa atau mengontrol devisa karena dianggap tak lazim. Semakin panjang dan lebar silang pendapat ini, semakin untung spekulan di pasar uang dan pasar modal.
Bahwa investor asing akan lari atau keluar dari Indonesia sehingga membahayakan neraca pembayaran tak selamanya berlaku atau harus jadi acuan dasar. Ancaman pelarian modal (capital outflow) bisa terjadi setiap saat, sebaliknya jangan berharap terlalu besar dilanjutkannya stimulus oleh The Fed bisa berdampak signifikan terhadap capital inflow. Apalagi kini berlangsung persaingan merebut dana global dari sesama negara maju, negara berkembang, sampai negara-negara mini yang porsinya kian laris manis sebagai tempat favorit sekaligus sumber penting FDI.
Merevisi UU Lalu Lintas Devisa atau revisi Peraturan BI soal DHE akan memberi kepastian hukum bagi tata kelola devisa agar otoritas moneter bisa maksimal mengaturnya bagi perekonomian nasional. Perlu diwajibkan menahan dan menyimpan selama waktu tertentu. Jika tidak, devisa hanya mampir sebentar dan kemudian keluar lagi, menyisakan sebagian untuk negara yang telah mendorong dan menumbuhkembangkan usaha.
Untuk menggiring DHE agar pulang kampung, memang perlu insentif, misalnya suku bunga yang menarik. Ini kalkulasi bisnis (jangan dilihat dari kacamata nasionalisme). Perlu jaminan dan fleksibilitas penggunaannya oleh eksportir dan aman karena standarnya berkiblat ke Singapura.
Kebijakan menjaga status sebagai negara yang sopan dan disenangi di pentas global tidak menjamin kantong dan perut 250 juta WNI penuh, aman, dan kenyang. Hanya pemerintah sebagai penggerak dan pelindung yang harus menjamin dan mengusahakannya. Sudah bangga dengan citra negara demokrat, liberal, dan surga bagi investor asing? Dunia usaha juga diminta berkorban demi kepentingan nasional dengan mengikuti aturan tata kelola devisa yang lebih baik. Tipisnya cadangan devisa akan berdampak pada depresiasi rupiah yang saling menyeret dunia usaha.
Beni Sindhunata Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency
Tidak ada komentar:
Posting Komentar