28/09/13

Penunggang Bebas Popularitas

Gun Gun Heryanto 

Banyak cara membangun pencitraan. Mulai dari tampil di sejumlah media, turun ke basis-basis pemilih, hingga membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye.

Seantero bumi pertiwi nyaris seragam: disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan. Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis ataupun pelanggaran aturan kerap kali disamarkan dengan beragam modus.

Modus pencitraan

UU No 8/2012 Pasal 83 memang memberi peluang kampanye pemilu legislatif sejak 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014. Setelah itu akan ada agenda kampanye untuk pemilihan presiden/wakil presiden. Wajar, jika partai politik sudah memanaskan mesin pemenangannya. Salah satu metodenya melalui pemasaran politik para caleg dan capres.

Yang patut disikapi secara kritis adalah sejumlah perilaku pencitraan yang jelas-jelas menerabas kepatutan dan melanggar aturan. Idealnya kampanye jadi bagian pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Realitasnya, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi sejumlah modus pencitraan yang menjengkelkan.

Pertama, konsep publisitas politik pejabat publik yang kian hari kian intensif. Di sepanjang jalan utama di banyak kota, terpampang baliho dan reklame besar-besaran mengatasnamakan program kementerian. Misalnya narasi untuk mencintai produk Indonesia. Sekilas tak ada masalah, tapi kian hari intensitas iklan jenis ini kian marak di berbagai saluran komunikasi.

Bisa saja sang menteri berkilah, tak ada aturan yang dilanggar karena modusnya memakai pendekatan publisitas politik, bukan kampanye pemilu yang lazimnya mengumbar visi/misi, program, dan mengajak orang untuk memilih. Tapi jika diraba lebih dalam, ada konflik kepentingan dalam publisitas politik tersebut, yakni soal kepatutan sang menteri yang menjadi penunggang bebas popularitas.

Jika iklan kementerian tersebut membutuhkan endorser yang bisa memalingkan perhatian publik pada isi pesan, sesungguhnya bisa menggunakan publik figur lain yang tidak tumpang tindih dengan kepentingan politik partisan. Hal seperti ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa menteri SBY, juga pimpinan DPR, DPRD, dan kepala daerah yang jadi petahana.

Kedua, modus pemanfaatan akses teknologi simulasi realitas. Ini terkait dengan media yang banyak ditunggangi secara serampangan oleh para pemiliknya. Memang sejak lama para pengkaji menilai, media sebagai ”medan pertempuran” banyak hal. Jhon Sinclair dkk (New Patterns in Global Television: Peripheral Vision, 1996) menyebutkan, televisi sebagai medium cangkokan yang megah.

Lebih umum lagi, media massa dalam tulisan Michael Schudson (The Power of News, 1995), dipandang sebagai ”sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur. Karakteristik media seperti ini, biasa dibaca secara ganda, sebagai sumber daya ekonomi sekaligus politik. Saat media mengalami konsentrasi kepemilikan di grup besar yang dikendalikan oleh pengusaha-politisi, maka sempurnalah media-media tersebut menjadi jejaring pencitraan, bahkan manipulasi.

Jangan heran jika beragam momentum yang disediakan media-media yang bergabung di grup media milik politisi pengusaha tersebut bagi lingkaran elite utama partainya.

Gurita media sang pengusaha politisi mampu menggilas aturan main yang sesungguhnya sudah ada.
Misalnya, pada Pasal 96 UU No 8/2012, diatur soal larangan menjual blocking segment dan blocking time. Pada Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik, untuk radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik per hari.

Pun demikian di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1 Tahun 2013 yang sudah direvisi menjadi PKPU No 15/2013, di mana pedoman pelaksanaan kampanye sudah jelas. Namun, aturan tinggal aturan: anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Terlebih KPU, Bawaslu, KPI, Dewan Pers pun kerap kali hanya bersikap normatif sehingga akhirnya pelanggaran pun menjadi hal lumrah dan dianggap biasa saja.

Mekanisme kampanye

Satu hal lagi yang sepatutnya mendapat perhatian publik, yaitu penunggang bebas popularitas selama perhelatan konvensi milik Demokrat. Selama delapan bulan ke depan, Partai Demokrat tentu akan memanfaatkan konvensi ini sebagai etalase citra politiknya. Partai yang dipimpin SBY ini akan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya melalui konvensi yang dikampanyekan mereka sebagai mekanisme demokratis dalam pencarian capres.

Kekhawatiran publik soal penunggang bebas mulai terkonfirmasi dengan munculnya kontroversi siaran tunda konvensi oleh TVRI. Tindakan TVRI tersebut dianggap membahayakan eksistensinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik, sebagaimana diamanatkan UU No 32/2002. Bukan semata soal pelanggaran etika, melainkan ditabraknya sejumlah regulasi siaran.

Harus ada kejelasan yang mengatur mekanisme kampanye para kontestan di luar jadwal komite konvensi. Jika tak diatur, akan berpotensi besar berbenturan dengan aturan kampanye yang ada saat ini.
Semua peserta konvensi harusnya memelopori transparansi anggaran kampanye. Siapa saja pihak ketiga penyumbang dana kampanye mereka. Jika tidak transparan, sangat mungkin muncul ”investor hitam” dan ”penunggang gelap” di konvensi Demokrat. Pencitraan politik boleh-boleh saja dilakukan, tetapi tidak dengan melanggar aturan dan mencederai kepatutan.

Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar