Sumarsih
Ketika dunia luar menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, begitu pula ketika Indonesia terpilih menjadi Ketua Komisi HAM PBB, orang akan yakin bahwa penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia telah terwujud.
Terbitnya sejumlah undang-undang mengenai HAM dan pidato pejabat yang selalu berucap menjunjung tinggi HAM memang cukup signifikan membentuk opini internasional, tetapi kontradiktif dengan kondisi nyata. Pencitraan itu memperparah luka hati korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang selama ini menuntut penyelesaian kasus, tetapi tak mendapat perhatian negara.
Pelaku terlindung
Di mata korban dan keluarga korban, tulisan Abdul Hakim G Nusantara, ”RI dan Sidang Komite HAM PBB” (Kompas, 26/7), menguatkan perjuangan korban menuntut kebenaran dan keadilan, juga menumbuhkan harapan semoga Komite HAM PBB segera turun tangan melihat langsung kondisi nyata di Indonesia: banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dibiarkan menggantung.
Pertanyaan kritis Komite HAM PBB kepada delegasi Indonesia sebenarnya senapas dengan pesan lisan Presiden SBY kepada Menko Polhukam Djoko Suyanto, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, dan anggota Wantimpres Bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, pertanyaan itu terancukan oleh Laporan Indonesia dalam Sidang Komite HAM PBB yang datar-datar saja: hanya menyampaikan hal normatif dan tak mengungkapkan kenyataan sebenarnya.
Terbitnya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM bisa jadi salah satu alat bukti dalam memberitakan kepedulian negara terhadap masalah HAM. Bagaimana penerapannya? Berhasilkah? Yang jelas, UU itu telah diperdaya dengan dicari lubang-lubang kelemahannya sehingga akhirnya terlihat mandul dan pelaku menjadi terlindung. Padahal, UU itu dapat memberi harapan bagi korban dan keluarga korban, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bakal tertangani melalui jalur penyelesaian independen: pengadilan HAM ad hoc.
Upaya penegak hukum menghindar dari keberadaan UU No 26/2000 tampak dalam sikapnya atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Beberapa kasus yang diselidiki Komnas HAM dan terbukti terjadi adanya dugaan pelanggaran HAM berat adalah kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, penembakan mahasiswa Trisakti serta Semanggi I (November 1998) dan Semanggi II (September 1999), Talangsari (Lampung), kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa, Wasior-Wamena, penembakan misterius, serta kasus 1965.
Kejaksaan menghindar
Ternyata Kejaksaan Agung hanya menindaklanjuti berkas Komnas HAM ke tingkat penyidikan untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Kasus lain ditolak dengan beragam alasan dan menggantung hingga sekarang. Dalam banyak kasus, Kejaksaan Agung cenderung berusaha menghindar dari kewajiban menyidik. Kasus Trisakti dan Semanggi I-II serta penghilangan orang secara paksa menjadi bola panas yang dihindari.
Laporan Pansus DPR kepada paripurna Dewan tentang Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, yang dibentuk kurun 1999-2004, merekomendasikan meneruskan pengadilan umum/militer yang telah dan sedang berlaku. Kasus Trisakti memang pernah digelar di pengadilan militer sebanyak dua kali dan kasus Semanggi II satu kali digelar di pengadilan militer. Kasus Semanggi I belum diadili pengadilan apa pun dan kami orangtua korban memperjuangkan penyelesaian seturut UU No 26/ 2000: melalui pengadilan HAM ad hoc, bukan pengadilan militer.
Kajian Komisi III DPR 2004-2009 terhadap berkas penyelidikan Komnas HAM tentang kasus Trisakti dan Semanggi I-II juga menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat. Hanya saja, Badan Musyawarah DPR tak menyetujui dibawa ke sidang paripurna Dewan. Di sinilah terjadi politisasi terhadap kasus Trisakti dan Semanggi I-II.
Kejaksaan Agung juga menolak menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM mengenai penghilangan orang secara paksa, tetapi ditindaklanjuti DPR 2004-2009 yang, dalam rekomendasinya pada 29 September 2009, meminta presiden menerbitkan keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Presiden hingga kini tidak kunjung menerbitkan keppres itu.
Keberhasilan sebuah rezim dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM harus tidak diukur dengan keberhasilan melupakan, mengabaikan, mengingkari, menggantung, atau mengubur sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, tetapi sebaliknya: harus diukur dengan keberanian dan keberhasilan menuntaskannya.
Sumarsih Anggota Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar